Santri Cendekia
Home » Kritis Iblis

Kritis Iblis

Mengapa aku harus sujud padanya? aku lebih baik darinya. Kau ciptakan dia dari tanah,sedang aku kau ciptakan dari nyala api?”

Begitulah alur logika iblis, sujud pada Adam adalah sebuah perbuatan yang aneh, mengapa ia harus sujud pada seonggok tanah liat bernyawa? Iblis tidak sadar bahwa kategori-kategorinya tentang “kemuliaan api di atas tanah” adalah pemikiran yang ia buat sendiri. Siapa yang memutuskan api selalu lebih mulia dari tanah? Keputusan tentang siapa yang mulia ada di tangan Allah, bukan kategori rekaanmu. Tapi Iblis sudah terlanjur mabuk dengan sesat-pikirnya sendiri. Dialah pelopor kebodohan yang angkuh. Tidak hanya angkuh, ia memaksakan pemikiran lugunya sebagai basis melawan Tuhan.

Lihatlah Malaikat, makhluk yang bahkan dicipta dari cahaya itu.  Apakah mereka sujud patuh karena mereka memang telah diinstal untuk patuh? Ah tidak juga, sejak awal malaikat malah ‘mempertanyakan’ eksistensi manusia. Bagi Malaikat, jika tujuan Adam dicipta adalah untuk menyembah, bukankah mereka sudah melakukannya dengan ketekunan tak tertandingi? Lagipula, mereka takut makhluk baru ini hanya akan merusak bumi. Simaklah, argumentasi ini jauh lebih radikal dan mendasar dari logika dangkalnya iblis.

Namun toh Malaikat akhirnya patuh. Semua itu karena ia mengakui keistimewaan Adam, kemampuan makhluk baru ini untuk memperoleh ilmu dari Allah. Ketika diadakan kompetisi menyebut semua nama lalu manusia terbukti memiliki ilmu yang jauh lebih dalam dan luas, malaikatpun bersujud, karena bagi malaikat, Adam bukan hanya seonggok tanah liat bernyawa, tapi makhluk yang mulia dengan ilmunya.

Sikap Malaikat itu menunjukan pengakuan atas otoritas yang lebih berilmu. Inilah adab ; kemampuan mengenali diri, mengenali yang lain dan meletakannyasesuai proporsinya. Iblis telah gagal mengenali manusia karena dangkalnya penalaran, pendeknya pemikiran, pemikiran iblis sangat ‘kulit’ tapi dengan modal itu dia mengkritisi perintah Allah, bahkan membantahnya.

Allah pun melarang manusia mengikuti langkah Iblis yang salah langkah. Namun ketika diuji dengan dibiarkannya Iblis menularkan virus kritis butanya kepada manusia,manusia justru mengikutinya. Iblis mengajukan logika yang sangat kulit, logika yang tidak mempedulika otoritas dari pihak yang memang pantas memilikinya.  Maka tanpa peduli pada pengetahuan Allah, pada kebijaksanaan Allah, manusia ternyata termakan juga daya krtisi iblis ; mengapa kau harus menghindari pohon ini? Bukankah ia sama saja dengan pohon surga yang lain? Atau malah ada rahasia dibaliknya? Apa mingkin pohon ini begitu istimewa?

Baca juga:  Seri Fallacy : Survivorship Bias

Kita semua tahu, itulah perilaku tidak beradab pertama yang dilakukan manusia. Ia gagal mengenali dirinya, sekelilingnya dan Tuhannya. Akibatnya fatal, ia tidak mampu menempatkan semuanya –termasuk dirnya- pada kedudukannya yang pantas. Kegagalan itu juga membuatnya enggan memainkan peran sesuai dengan kedudukannya.

Pada akhirnya, drama kosmos kejatuhan Adam AS hendaknya dipahami sebagai pelajaran bukannya disesali sebagai tragedy. Karena toh sejak awal Allah ta’ala memang menetapkan ia dan keturunanya sebagai penghuni bumi. Proses pembelajran Adam tidak berakhir di level kognitif saja ketika ia diajari (‘ta’lim) nama-nama seluruh ciptaan, pelajaran paling penting justru terjadi setelah itu, ketika ia dan istrinya diperlihatkan tabiat Iblis, sosok arketipe makhluk tak beradab. Ya, drama perintah sujud pada Adam dapat kita lihat sebagai bentuk penanaman adab (ta’dib) pada Adam. Pada akhirnya, Adam dan istrinya tergoda dan ikut-ikutan kritis ala Iblis. Meski begitu, kejatuhan ini pun harus dilihat sebagai pelajaran yang lain, bagi Adam dan anak cucunya, tentang akibat mengikuti tipu daya Iblis.

Namun ternyata tabiat ini masih tetap ada bahkan ketika Nabi Penyempurna masih ada di muka bumi. Berjuta masa berikutnya, pada masa nabi yang diutus untuk menyempurnakan risalah petunjuk pulang anak Adam ke Tuhan mereka, terjadilah sebuah peristiwa yang menjadi benih kekurangan adab. Benih bencana yang memang telah diramalkan oleh Sang Nabi.

Ketika itu, sebuah peperangan baru saja usai, Rasulullah membagi-bagikan ghanimah. Di antara shabat yang hadir adalah Bilal, seorang Etopia berkulit hitam yang dibebaskan oleh Abu Bakar lalu diberi kehormatan sebagai muazin Rasulullah. Di dalam peperangan itu, Bilal memperoleh harta berupa perak, Rasulullah mengambil perak itu dari Bilal lalu membagi-bagikannya.

Baca juga:  Membumikan Jus in Bello Islam

Sekilas, perbuatan Rasul itu sungguh tidak adil, lihatlah itu, seorang penguasa berkebangsaan Arab mengambil harta dari prajurit negronya untuk dibagika ke prajurit Arab lainnya, padahal si negro memperolehnya ditengah kecamuk perang nan kejam. Meski demikian, semua yang hadir termasuk Bilal sendiri ridha dengan perbuatan Rasulullah, mereka mengenal diri mereka,mereka tahu persis posisi yang pantas bagi Rasulullah dan diri mereka.

Ya,semuanya ridah dan rela kecuali seorang lelaki bernama Dzul Khuwaisirahat-Tamimi. Sedari tadi ia memandang dengan gelisah. Lelaki berhati keras itu tidak bisa menerima ketidakadilan yang menurutnya telah berlangsung dihadapannya. Kekritisannya mendorong dirinya untuk maju lalu berseru “Bersikap adillah wahai Muhammad!” Rasulullah hanya menjawabnya bahwa siapa lagi yang bisa berlaku adil jika Ia yang telah dipilih oleh Allah sebagai Rasul tidak bisa berlaku adil.

Namun penjelasan itu tidak bisa diterima Dzul Khuwaisirah. Baginya ketidakadilan telah terjadi. Lelaki itu telah gagal mengenali posisi Rasulnya, ia melihat Muhammad sebagai manusia biasa sama seperti dirinya. Ia tidak mau peduli pada jaminan ma’shum Muhammad saw. Bahkan jika ia tidak ma’shum pun,Nabi Muhammad tetaplah salah satu negarawan paling cemerlang ketika itu. Ia juga tidak peduli pada kenyataan bahwa semua orang bisa mengerti dan menerima pembagian Rasulullah.

Melihat tingkah Dzul Khuwaisirah itu, Rasulullah lalu memberikan peringatan dini; kelak akan muncul para biadab yang menyebar kerusakan di muka bumi di bawah panji-panji Islam yang mereka bajak. Selain ibadah yang luar biasa, retorika mereka sungguh mulia, mereka mengadvokasi hukum-hukum Allah. Terhadap retorika mereka, Imam Ali memperingatkan, ucapan-ucapan biadab itu adalah “Kalimat benar yang dimanipulasi untuk tujuan batil”

Sekilas ibadah orang-orang itu akan sangat mengagumkan, tapi tiada bekas pada jiwa mereka.  Teringatlah kita pada Iblis, sesosok jin yang berada di kalangan Malaikat sebab tekun ibadahnya. Seperti Iblis yang memilih membangkang pada Allah ketimbang melakukan hal yang menurut logika rapuhnya sebuah kesalahan, keturunan ideologis Dzul Khuwaisirah pun tega menghabisi nyawa siapapun demi menegakan visi palsu mereka tentang keadilan. Keduanya tiada mau mendengarkan penjelasan dari pemilik ilmu yang sesungguhnya.

Baca juga:  Khalifah Umar bin Khattab dan Penanggalan Islam

Cukupkah sejarah menjadi pelajaran? Ternyata tidak, penyakit kritis iblis kini telah ada dimana-mana. Ia termanifestasi dalam berbagai macam “ijtihad” yang jauh dari kaidah-kaidah yang benar. Semua bentuk penlaran baru pada agama yang tujuannya semata-mata untuk membenarkan hasrat mereka saja. Maka kita melihat orang-orang yang dengan gampanya mencela otoritas keilmuan, pada ulama, sebagai terlalu kompormistis atau penjilat penguasa jika ulama itu melarang mereka membuka pintu fitnah pertumpahan darah. Di sisi ekstrim yang lain, ada pula yang gemar mencemooh ulama sebagai kolot, penopang ketidakadilan, jika ulama-ulama itu tidak sudi tunduk pada kehendak mereka yang didikte nafsu berkedok kebebasan dan hak azasi.

Fenomena semacam ini, oleh Syed Naquib al-Attas disebut kekurangan adab. Ketidak mampuan mengenali  dirinya, orang lain, semesta ciptaan yang berakibat kegagalan menempatkan diri padaposisi yang pantas. Mereka berpatokan pada prinsip bahwa semua manusia itu sama. Memang semua manusia itu setara, tapi bukan berarti yang menjadi patokan kesetaraan itu adalah diri kita sendiri.

Sikap seperti itu menjadikan banyakorang tidak lagi menghormati otoritas keilmuan para ulama otoritatif. Bagaiman mungkin kita sangat menghormati tesis sosiolog misalnya (dengan anggapan bahwa mereka telah melakukan penelitian ilmiyah) tapi ketika sampai di diskursus keagamaan kita tidak mau sedikit saja menghargai pendapat para ulama. Seolah-olah para ulama itu menjadi ulama karena klaim saja, bukan lewat studi berahun-tahundengan sungguh-sungguh di bidangnya seperti yang dilakukan semua ahli padabidang mereka. Bagaiaman mungkin kita lebih mengharagai (bahkan memuja) pendapat seorang lulusan teknik di Rusia mengenai batasan aurat danmengesampingkan begitu saja pendapat ulama-ulama mu’tabar? Menurut saya, itulah krits iblis. Dan kritis iblis inilah salah satu sebab kehancuran kita, kehancuran yang dijamin sendiri oleh Rasulullah ; jika suatu perkara dibrikan kepadayang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.  Dan semua itu terjadi sebab kita mengikuti sesat pikir ala Iblis.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar