Santri Cendekia
Home » SETETES PEMIKIRAN POLITIK BUYA NATSIR

SETETES PEMIKIRAN POLITIK BUYA NATSIR

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Buya Natsir, waktu muda
Judul ini bukan hendak sok puistis, atau sebuah pernyataan retoris, tapi bisa dianggap sebagai peringatan bahwa yang sanggup penulis tuangkan di sini hanyalah setetes dari lautan Buya Mohammad Natsir, baik perjalanan hidupnya apalagi pemikirannya. Mengapa setetes?, bukan segelas misalnya?. Sekali lagi bukannya hendak berpuisi ria, siapapun tahu bahwa yang namanya air setetes tidak akan sanggup memuaskan dahaga tetapi jika a adalah setetes dari minuman yang rasanya nikmat, maka setets itu justru menambah haus dan penasaran.  Lagipula siapa yang sanggup meringkas Natsir dalam satu dua halaman ?. beliau adalah pejuang sekaligus pemikir, seorang Sparta sekaligus Athena, perjuangannya sepanjang hayat pemikirannya sangat luas melampaui zamannya sendiri. Jika memabca nasehatnya kepada pemerintahan kolonial di tahun 1937 kita merasa sedang membaca kritikan yang ditujukan kepada pemerintahan Republik Indonesia yang konon berdaulat di tahun 2012 ini.  Bacalah artikelnya yang berjudul “Berbenteng di Hati Rakjat” yang dimuat di dalam Capita Selecta, insya Allah, anda  akan setuju dengan kalimat saya sebelumnya.
Berbicara tentang buku Capita Selecta, karena keterbatasan literatur maka untuk mengenal pemikiran Buya Natsir, Capita Selecta menjadi satu-satunya referensi utama di sini, dalam artian tulisan Buya Natsir sendiri, selebihnya adalah analisa penulis lain terhadap pemikiran beliau. Namun demikian saya berharap dengan bermodal buku lawas yang menampung 64 buah pena Buya Natsir ini saya bisa mencicipi lalu membagi pemikiran beliau khususnya tentang wawasan kebangsaan. Tulisan seputar topik itu bisa kita lihat di bab V Capita Selecta yang berisi tangkisan beliau atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno dalam masalah relasi agama dan politik.
Pendirian Natsir seputar hubungan politis Islam dan negara dapat kita abaca terutama dalam  tulisan-tulisannya ketika membantah Ir. Soekarno dalam polemic di majalah Pandji Islam pada tahun 1938/40-an serta argument-argumennya dalam sidang Konstituante sebelum lembaga itu dimentahkan Soekarno lewat Dekrit 5 Juli. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama  pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan periode konstituante. 
Pada periode pertama Natsir selalu teguh bahwa dasar negara bagi negara Indonesia yang berdaulat kelak haruslah Islam, pendapat inilah yang dipertahankannya dari kritikan atau bisa dikatakan bantahan Ir. Soekarno. Pasca kemerdekaan, sebagai bagian dari founding father Republik yang baru lahir dan telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara, beliau berkeyakinan bahwa Pancasila bagaimanapun masih bernafaskan Islam. Namun ketika dibuka debat-debat untuk menentukan dasar negara di siding Konstituante, beliau kembali menyuarakan ideology yang ia pegangi dengan kukuh ketika muda dulu ; Islam adalah dasar negara yang paling tepat.
Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan  suatu negara.  Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara  makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem  peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna. , seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah  urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan  tiap-tiap  orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah  dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal  keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama.
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi  masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis  untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui  pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi  Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem  pemerintahan negara Islam. Menurut Natsir bentuk Negara apapun bisa diterapkan asal bernafaskan Islam dan bertujuan untuk mewujudkan apa yang ia bahasakan sebagai “kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan peri kehidupan manusia secara pribadi ataupun sebagai anggota masyarakat”[1].
Ia mengkritik orang-orang yang berpikiran picik bahwa pemerintahan yang Islami adalah pemerintahan yang pemimpinnya disebut Khalifah. Bagi Natsit, apapun sebutan pemimpin suatu negara Islam terserah saja, asalakan ia mampu menjadi amirul mukminin, ulil amri yang mengurusi kehidupan negara dan mengarahkannya kepada tujuan dimaksud[2]. Dan karena Indonesia adalah negara mayoritas Muslim maka sangat wajar jika pemimpinnya pun harus seorang Muslim.  
Ketika berpolemik dengna Soekarno, salah satu isu yang dilemparkan oleh sang ketua PNI adalah pendapat Abdurrazik bahwa Rasulullah tidak pernah mendirikan negara. Natsir enteng saja menanggapi hal itu dan menegaskan bahwa pernyataan itu tidak menggigit sama sekali. Memang Rasulullah tidak memerintahkan mendirikan negara, tetapi apakah beliau hanya memerintahkan untuk shalat, puasa, haji dan segenap ibadah mahdah saja?. Apakah Rasulullah tidak pernah memerintahkan ummatnya untuk mengatur masyarakat?, menegakkan hudud?. Tidak perlu berpendidikan terlalu tinggi untuk menjawabnya, dan siapapun yang mau berfikir akan sampai pada kesimpulan bahwa dengan negaralah semua itu bisa diwujudkan.
Demikianlah setets dari lautan Buya Natsir ini, saya sangat yakin siapapun yang kebetulan membacanya tidak akan puas dan masih samar seputar Buya Natsir. Yah bukankah memang sudah saya peringatkan sejak awal bahwa para murid TK ABA pun tahu, air setetes tidak bisa menghapus dahaga, tetapi malah menerbitkan penasaran.
  

Baca juga:  Dialog Ayu Utami dan Naquib al-Attas Tentang Sekulerime dan Kerusakan Alam

[1] Mohammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta : Bulan Bintang, 1955, hal 442.
[2] ibid

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

1 komentar

Tinggalkan komentar