Santri Cendekia
Home » Shalawatan Penjamin Rezeki: Relasi Kausalitas atau Bukan?

Shalawatan Penjamin Rezeki: Relasi Kausalitas atau Bukan?

Popularitas shalawat selama beberapa tahun terakhir ini menjalar tanpa bendungan, bagaimana tidak, shalawat muncul sebagai trendsetter religi yang berhasil menyentuh segala lapisan masyarakat melalui iming-iming alat bertawassul untuk mewujudkan keinginan-keinginan seorang muslim, tidak tanggung-tanggung salah satu penyemaraknya merupakan ustadz kondang tanah air Yusuf Mansur rahimahullah dan terdiseminasi pesat melalui platform-platform digital. Sejak saat itulah kemudian publik semakin latah dengan shalawat. Faktanya, permasalahan lain kemudian muncul di benak kaum muslimin, bahwa reliabilitas shalawat yang notabenenya adalah bagian dari amal shaleh selalu diukur dengan nikmat Allah yang telah didapatkan.

Kini amal shaleh menjadi parameter kebergantungan mutlak dalam setiap anugrah kehidupan atau sekedar panjatan keinginan. Apabila keinginannya tidak kunjung terkabul maka yang harus diperbaiki adalah kuantitas shalawat yang dilantunkan atau amal shaleh yang dikerjakan, dengan harapan Tuhan akan malu jika mengabaikannya. Ironis bukan main,  hubungan hamba dan Tuhannya hanya seperti penjual dan pembeli, menghamba kepada Allah karena keterpaksaan dan untuk memenuhi kebutuhan normatif saja.

Sejauh mana sesungguhnya amal shaleh merasuk dalam konsepsi syariah Islam? Dan bagaimana sistematika prosesnya? Apakah setiap amal sholeh akan berbalas? Dalam bentuk apa amal shaleh akan dibalas Allah? Bisakah manusia mematisasi pengerjaannya?

AMAL SHALEH DALAM KONSEPSI SYARIAH

Secara sederhana frasa amal berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti pekerjaan, kumpulan perbuatan, seorang melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan selainnya, mempergunakannya, memperkerjakan seseorang.[1] Apabila pengertian secara leksikal ini ditarik secara terminologi maka menjadi suatu kata yang dengan segala derivasinya tetap menunjukkan makna yang sama, yaitu semua pekerjaan yang dilakukan, tanpa melihat tujuan dan bentuk dari pekerjaan itu sendiri.[2]

Sedangkan kata shaleh dalam kamus Lisanul Arab memiliki makna baik, kumpulan kebaikan, bagus, sesuatu yang baik dalam kelompoknya, perbuatan yang dinilai baik dan disandarkan pada perilaku atau pekerjaannya, kebalikan dari sesuatu dan makna lain yang sejenis.[3] Amal secara komprehensif dipahami sebagai sesuatu hal yang baik, dan tentunya berujung pada kebaikan yang lawan dari kerusakan, sehingga ia akan dipandang baik menurut agama dan manusia.[4] Lebih pintas lagi, Syeikh Muhammad al-Ghazali memaknai amal shaleh secara subjektif dengan setiap usaha keras yang dikorbankan untuk berkhidmat dalam beragama.[5]

Pengertian kebahasaan amal shaleh di atas menjadi selaras dengan konsepsi amal dalam perspektif hadits, yakni meliputi (1) aqidah (2) syariah dan (3) akhlak.[6] Dimensi amal shaleh bukan hanya mewakili konsepsi syariah, di mana Allah dan Rasulullah memerintahkan amal shaleh kepada umat Islam. Juga bukan hanya mewakili konsepsi akhlak yang kaitannya pada etika sosial beragama semata. Dindin Moh Saepudin dalam jurnalnya bahkan membentuk sebuah circle keimanan dan segala ketercakupannya melalui studi semantiknya kepada al-Qur’an yang menjelaskan bahwa hakikat keimanan itu mencakup hal-hal berikut: (1) Allah (2) Ihsan (3) Islam (4) Amal Shaleh (5) Taqwa (6) Ghaib (7) Maut (8)Tasdiq (10) Syukur (11) Meninggalkan kekafiran (12) Meninggalkan ‘Isyan (13) Meninggalkan takdzib.[7]

Amal shaleh dalam bingkai Islam adalah bentuk manifestasi iman tertinggi, hal ini senada dengan QS. An-Nahl (16): 97 dan Ghafir (40): 40. Sehingga dalam beramal shaleh, seseorang dituntut untuk melandasinya dengan keimanan. Secara diakronik, tidaklah eksistensi amal shaleh baru muncul setelah Islam datang di muka bumi, melainkan sejak sebelum masehi, maka jika begitu perbedaan amal shaleh di masa Islam dengan masa-masa sebelumnya terletak pada basis keimanan individual, yang kemudian secara spiral ke bawah juga tentang syariat dan akhlak seseorang.

Baca juga:  Kejahatan Seksual; Refleksi Bagi Aktivis Muslim

Polemik selanjutnya muncul dalam tatanan skema proses balasan Allah terhadap amal shaleh yang dilakukan hambaNya, apakah balasan Allah secepat manusia menemukan jawaban dari 1+1 = 2?, mengingat firman Allah dalam surat an-Nahl di atas dan lebih khusus lagi dalam surat al-Zalzalah yang menyatakan bahwa setiap manusia akan melihat balasan dari apa yang telah ia kerjakan sebelumnya,

Barangsiapa berbuat kebaikan sebesar zaroh pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sebasar zaroh pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS al-Zalzalah [99]: 7-8).

Ibnu Katsir menafsirkan QS an-Nahl [16]: 97 pada kalimat حَيَاةً طَيِّبَةً yakni balasan Allah terhadap amal shaleh yang dikerjakan dengan rizki yang halal dan baik, ia mendasarkan pada perkataan Ibnu Abbas. Sedangkan Ali memaknainya dengan sifat qana’ah (sikap menerima/cukup) dan pendapat ini jugalah yang diambil oleh mufassir Imam al-Qurthubi. Lebih mengerucut lagi, Hasan dan Mujahid memaknainya dengan kehidupan di akhirat karena tidak ada satu kehidupanpun yang baik selain di akhirat.[8]

Masih senada dengan tafsiran QS an-Nahl [16]: 97 sebelumnya, QS al-Zalzalah [99]: 7-8 ini justru dinilai secara mutlak oleh para mufassir sebagai balasan yang akan diterima oleh seorang manusia pada hari perhitungan tiba.

Hadits Rasulullah juga banyak membahas mengenai balasan amal shaleh, di antaranya:

Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada Malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan (HR. Muslim: 7105)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)

Dua hadits di atas seakan menguatkan konsep balasan amal shaleh adalah sesuai dengan apa yang seorang hamba inginkan dan rencanakan, namun hadits lain merincikan lebih lanjut tentang hal itu dan bahkan senada dengan bunyi firman Allah QS 10: 26:

Apabila penghuni surga telah memasuki surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu, (dengan itu) Aku menambah (nikmat) kalian?” Mereka menjawab: “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam jannah dan menyelamatkan kami dari neraka?” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka tabir penutup. Tidaklah mereka menerima kenikmatan yang lebih mereka sukai dibandingkan nikmat melihat Rabb mereka. (HR. Muslim: 467)

Baca juga:  Tidak ada Bagian Akhirat untuk mu (Al-Baqarah 200-202 part 1)

Lagi-lagi Allah dan Rasulullah menegaskan bahwa sifat keberadaan balasan bagi tiap amal shaleh adalah mutlak, namun perwujudannya adalah hak prerogratif Allah dan memiliki spektrum maksimal berupa balasan surgaNya.

Melalui penjelasan amal shaleh dalam sumber-sumber tekstual dan paratekstual tersebut menggambarkan bahwa amal shaleh dalam Islam tidak terbalut oleh konsep kausalitas ilmu alam yang mutlak melainkan belief, balasan dari Allah adalah sebuah kepastian namun bagaimana konkretnya hanya Allah yang mengetahui penempatan dan perwujudannya.

PRINSIP HUKUM KAUSALITAS DAN HUKUM KEKEKALAN ENERGI

Kausalitas berbicara tentang hukum yang terambil dari fenomena alam mengenai sebab yang efisien dapat melahirkan sebuah akibat yang presisi.[9] Dalam praktisnya, terjadi banyak anomali ide kausalitas dengan menyamakannya pada ide korelasi. Bradford Hill criteria, bahkan membentuk metode khusus untuk menganalisis kekausalitasan sebuah objek secara efisien, cara ini pada akhirnya lebih dikenal dengan ilmu epidemologi, dengan rincian: (1) Strength-Kekuatan Dampak (2) Consistency-Konsistensi (3) Specificity-Spesifikasi (4) Temporality-Temporalitas (5) Biological gradient-Gradien Biologis (6) Plausibility-Kelogisan (7) Coherence-Keterpaduan (8) Experiment-Percobaan (9) Analogy-Persamaan

Lebih simple lagi, Krikorian membentuk 3 metode khusus untuk mengidentifikasi keberadaan kausalitas yakni dengan (1) Non-anthropomorphic-Bebas dari antropomorfisme (2) Exhibits uniformity-Terjadi Keseragaman (3) deterministic-Kepastian.[10]

Dari pada mengatakan amal shaleh dan ganjarannya terhubung melalui relasi kausalitas, adalah lebih tepat keduanya dihubungkan oleh relasi kekekalan energi. Hakikat energi itu adalah tetap, ia tidak dapat musnah ataupun diciptakan, namun satu energi dapat diubah menjadi satu energi yang lain.[11] satu teori hukum ini tidak berdiri secara parsial melainkan dengan rentetan hukum-hukum lain yang kemudian terpadu dalam konsep termodinamika. Hukum termodinamika sendiri muncul sebagai reaktif dari perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak dalam kehidupan sehari-hari khususnya perihal usaha mengubah kalor, yang kemudian direkayasa sedemikian rupa agar menjadi sebuah mekanisme yang dapat membantu manusia.[12]

Usaha konversi energi ini terhimpun dalam suatu mekanisme, atau yang lebih dikenal dengan energi mekanik. Energi mekanik adalah sebuah himpunan mekanisme yang terjadi antara energi potensial dan kinetis. Sehingga secara umum, energi mekanik dapat dituliskan dalam persamaan matematis sebagai berikut:

Hukum kekekalan energi mengharuskan 3 formula penting dalam susunannya, yakni (1) massa (m), massa berbeda dengan berat benda, di mana massa benda akan tetap di manapun ia berada, sedangkan berat benda dapat berubah-ubah sesuai dengan besaran gaya gravitasi yang diperolehnya. (2) Kecepatan (v), yakni satuan yang menunjukkan seberapa cepat sebuah benda berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. (3) Percepatan Gravitasi (g), percepatan yang diperoleh dari perubahan kecepatan benda akibat adanya gaya gravitasi atau gaya tarik menarik antara benda-benda yang memiliki massa. (3) Ketinggian (h), adalah posisi benda dari permukaan.[13]

Derivasi dari persamaan di atas membentuk rumus utama kekekalan energi dengan formula:

Formula di atas menunjukkan adanya energi mekanik 1 dan 2, namun bukan berarti bermaksud terwujudnya 2 benda. Adanya dua energi mekanik tersebut merupakan petunjuk bahwa satu benda memiliki energi mekanik yang berbeda dengan didasarkan pada posisi benda yang berbeda. Besarannya akan selalu konstan dan konservatif. Dengan kata lain, dari satu energi sebuah benda dapat berubah apabila menerima perubahan posisi namun dengan besaran yang masih sama. Rumus konservasi energi ini secara masif ingin membuktikan sebuah eksistensi energi itu tidak ada batasnya, dan tidak memiliki titik kompromi. Keadaan bisa saja merubah sebuah energi menjadi wujud energi yang lain namun dengan inti materi yang satu.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 1)

Secara prematur, bisa dikatakan bahwa prinsip hukum kausalitas dan hukum kekekalan energi memliki persamaan, yakni pada titik adanya peralihan suatu variabel A menuju variabel B. Namun ternyata di antara keduanya ditemukan perbedaan yang cukup signifikan, yakni sebagai berikut:

WELTANSCHUUNG

Interkoneksi keilmuan memang bukan hal baru dalam proses menelaah syariat Islam. Bahkan seringkali, menjadi jalan pintas untuk menerangkan pada kalangan lintas keahlian. Dan hal ini akan selalu dibutuhkan hingga ke depannya guna menjadi pelapis-pelapis media dakwah dalam mensyiarkan bunyi syariat Islam.

Membaca bunyi narasi amal shaleh dalam al-Qur’an, hadits dan penjelasan dari para Ulama, tidak ditemukan bukti yang dapat dirunut bahwa dengan amalan shaleh baik shalawat, dzikir dan lain sebagainya dapat menjadi alat penjamin dan peta kendali balasan apa yang akan didapatkan dari Allah SWT.

Stratifikasi anugrah-anugrah Allah yang diberikan kepada hambaNya memang didukung oleh amalan-amalan shaleh tapi hanya sebatas sampai di situ, selebihnya bukan lagi ranah adami yang menalar. Allah secara independen menentukan macam pemberian apa yang akan diberikan, waktu pemberian dan hal lain yang akal kita terbatas untuk menembusnya. Bahwa Allah akan selalu menghitung satuan amal shaleh kita adalah mutlak benar adanya, namun pendiktean matematis atas hal itu merupakan sikap arogan yang bersembunyi dibalik agama.

Konsepsi amal shaleh dalam Islam nyatanya memiliki kesamaan dengan prinsip hukum kekekalan energi yang menekankan pada immortalitas energi dengan berbagai macam bentuknya dan akan selalu saling terkait dan bukan bersifat kausalitas seperti halnya data pada diagram fishbone yang menuntut sebuah kepastian dan konsistensi. Amal shaleh ketika dilaksanakan sejatinya tidak berubah dan hilang, namun sebaliknya ia akan selalu kembali dan menjadi milik kita dengan bentuk yang berbeda-beda tergantung pada keputusan Allah.

Maka dari itu, landasan amal shaleh yang lahir dari tiap umat Islam harus dikembalikan pada fitrahnya secara utuh, bukan menjadi sebuah diskrit-diskrit manipulatif hingga menghilangkan romantisme vertikal antara Allah dengan hamba-hambaNya.

[1] Muhammad Fu‘ad „Abd al-Baqi, Al-Mu‟jam AlMufahras, 410-412.

[2] Abi Husain Ahmad ibn  Faris ibn Zakarya,  Mu’jam Maqayis al-Lughah  (Mesir :Dar al-Kutb al-‘Alamiyah, t.t), 1-17.

[3] Ibn Manzur,  Lisan al-Arab, 2479

[4] Abi Husain Ahmad ibn  Faris ibn Zakarya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, 1-17.

[5]

[6] Amin Syukur, Tasawwuf Sosial… hlm, 12

[7] Dindin Moh Saepudin dalam jurnal Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 1, 2 (Juni 2017): 10-20,judul IMAN DAN AMAL SALEH DALAM ALQURAN (STUDI KAJIAN SEMANTIK) halaman 15

[8] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Vol. 2, (Mesir: Dar al-Hadits, 2011), hlm. 729-730

[9] Y. H. Krikorian, Philosophy, Vol. 9, No. 35, (London: Cambridge University Press), p. 319.

[10] Y. H. Krikorian, Philosophy, Vol. 9, No. 35, (London: Cambridge University Press), p. 319.

[11] Brown, T. L., LeMay, JR. H. E. and Bursten, B. E. (2000). Chemistry: The central science. Eighth edition, Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. P. 781.

[12] Erdal Tatar dan Münir Oktay, “Students’ Misunderstandings about the Energy Conservation Principle: A General View to Studies in Literature”, International Journal of Environmental and Science Education Vol. 2 No. 3, 2017, p.79

[13] D.G. Simpson, Ph.D., General Physics I: Classical Mechanics, (Largo: Department of Physical Sciences and Engineering Prince George’s Community College), p. 111.

Aabidah Ummu Aziizah

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan FAI UMY

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar