Santri Cendekia
Home » Siapa Bilang Wanita Haid Tidak Boleh Puasa?

Siapa Bilang Wanita Haid Tidak Boleh Puasa?

Dalam Islam terdapat batasan-batasan ibadah untuk perempuan baligh. Indikasi perempuan dianggap telah baligh adalah mengeluarkan darah menstruasi atau haid. Sejak haid pertama, perempuan dianggap mukalaf dan hukum Islam berlaku kepadanya. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah periode haid dianggap dalam keadaan berhadas sehingga ia dilarang melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti salat dan puasa.

Menurut Wahbah Zuhaili, bahasan soal ini telah menjadi konsensus ulama (ijma’), di mana wanita haid dan nifas tidak sah puasanya. Bukan saja tidak sah, tetapi juga haram dilaksanakan. Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid maka wajib mengganti puasa di luar bulan Ramadan. Karenanya, pengecualian perempuan haid dari kewajiban puasa bukan opsional melainkan obligasional.

Namun beberapa waktu belakangan muncul wacana perempuan haid boleh menjalankan ibadah puasa. Alasannya tidak ada larangan syariat yang secara zahir melarang puasa bagi perempuan haid. Sependek pembacaan, pendapat ini bukan saja tidak masyhur, tapi memang tidak pernah ada yang berpendapat seperti ini sebelumnya. Sehingga kesan yang kita dapatkan bukan argumentasi syari, melainkan opini yang memaksa.

Perempuan Haid dalam Pandangan Islam

Dalam tradisi Yahudi, perempuan haid dianggap sebagai perempuan kotor yang bisa mendatangkan bencana. Sehingga mereka harus diangsing dari masyarakat, diisolasi ke tempat karantina, dan tidak diajak makan bersama. Bagi orang Yahudi, adanya bawaan biologis alamiah dalam diri perempuan seperti haid ini dianggap memiliki hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Padahal secara fisiologis, haid menandakan telah terbuangnya sel telur yang sudah matang. Tidak ada hubungannya dengan kesialan hidup seseorang.

Pandangan Yahudi di atas menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim menjadi sebab turunnya QS. Al Baqarah ayat 222 yang isinya agar menjauhi tempat keluarnya darah haid. Kemudian Nabi Saw menambahkan dengan bersabda, “berbuatlah apa saja kecuali berhubungan seks.” Perempuan haid tetap bisa berkumpul, makan bersama keluarga, tidur satu selimut bersama suaminya. Karenanya, dalam Islam yang dianggap kotor adalah darahnya, dan bukan si perempuan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan kaedah umum kedokteran yang menempatkan darah haid sebagai zat kotor yang harus dibuang.

Baca juga:  Dari Nakba hingga Perlawanan Gaza: Kebesaran Hati Para Syuhada

Ulama-ulama fikih juga memberikan perhatian luarbiasa tentang persoalan haid ini. Di antara kitab yang mampu menghasilkan satu jilid besar tentang masalah haid (bersama dengan nifas dan istihadhah) adalah Imam Haramain dan Abu al-Faraj ad-Darimi. Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fikih tentang perempuan haid tidak memposisikan mereka sebagai kelompok manusia yang perlu diisolasi dari masyarakat. Fikih memandang status mereka sama dengan orang yang sedang mengalami hadas.

Dalam fikih, haid dipandang sebagai hadas besar sehingga menuntut seseorang untuk mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu. Sedangkan orang yang telah buang air kecil tergolong hadas kecil sehingga hanya dengan wudhu untuk membuatnya suci kembali. Apabila dalam kondisi darurat air maka diperbolehkan menggunakan debu untuk tayamum. Dalam Islam, hadas merupakan sesuatu kondisi alamiah, temporer, dan aksidental yang dialami oleh setiap manusia. Hadas sama sekali bukan hal yang dipandang negatif, termasuk dengan haid.

Larangan Puasa Bagi Perempuan Haid

Dalam QS. Al Baqarah ayat 184-185 disebutkan orang-orang diperkenankan tidak menjalani ibadah puasa yaitu orang sakit (marid) atau dalam perjalanan (musafir) dan wajib menggantinya di hari yang lain, sedangkan orang-orang yang wajib membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) diperuntukkan bagi mereka yang dalam kondisi sangat berat (yutiqunahu), misalnya, lanjut usia, wanita hamil atau menyusui.

Dalam QS Al Baqarah 184-185 memang tidak disebutkan secara eksplisit larangan puasa bagi perempuan haid. Namun pembacaan terhadap suatu dalil harus dengan cara istiqra’ ma’nawi (integralistik). Dalam kitab Sahih Muslim dan Bukhari terdapat sebuah hadis yang isinya dialog antara Rasulullah Saw dengan seorang perempuan yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” Kemudian Rasul menjawab, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”

Baca juga:  Islamic Brotherhood Atas Dasar Takwa

Respon Rasulullah kepada perempuan di atas merupakan kalimat tanya yang tidak membutuhkan jawaban. Jenis kalimat ini biasanya disebut dengan kalimat retoris, sehingga sekalipun bersifat tanya namun maksudnya pernyataan yang mengandung penegasan. Karenanya, sepenggal hadis tersebut sejatinya telah menunjukkan bahwa perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan wajib mengqadha’ di luar bulan Ramadan.

Ada pun maksud perempuan kurang agamanya karena mereka diperbolehkan meninggalkan puasa dan salat saat sedang haid. Namun kekurangan ini tidak lantas membuat mereka berdosa dan tercela, karena memang aturan ini murni datang dari agama. Justru apabila memaksa melaksanakan salat dan menunaikan puasa padahal dalam keadaan haid, maka akan mendapat dosa lantaran tidak taat dengan aturan Allah Swt. Islam tidak mengajarkan ketaatan yang keras kepala dan berlebih-lebihan.

Selain hadis di atas, ada pula hadis maukuf yang datang dari Aisyah Ra menyatakan bahwa “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ salat’.” Hadis maukuf ini dapat ditemui dalam Sahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

Pertanyaan yang mungkin bisa diajukan adalah apakah hadis maukuf dapat dijadikan hujjah? Dalam kaidah hadis disebutkan bahwa hadis maukuf murni (ucapan sahabat yang tidak memiliki hubungannya dengan ketetapan Rasulullah), maka tidak dapat dijadikan hujjah. Misalnya salat tarawih 23 rakaat yang dikerjakan Sahabat Nabi, tidak dapat dijadikan hujjah. Syarat hadis maukuf dapat dijadikan hujjah apabila termasuk ke dalam kategori marfu‘. Dengan kata lain, apabila hadis maukuf tersebut terdapat karinah-karinah yang dapat dipahami kemarfu‘annya kepada Rasulullah saw, maka boleh berhujjah dengan hadis tersebut.

Contohnya pernyataan Aisyah di atas merupakan hadis maukuf atau qaul sahabat, namun dapat dijadikan hujjah sebab terdapat karinah yang ditunjukkan dari kata pasif “diperintahkan”. Meskipun frasa ‘diperintahkan’ tidak langsung menyebut Rasulullah, namun kita semua paham bahwa maksud ‘Aisyah adalah perintah Rasulullah Saw. Karenanya, sejak zaman kenabian hingga sahabat, perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan diwajibkan menggantinya di luar bulan Ramadan.

Baca juga:  Metafora al-Quran Dalam Melukiskan Makna Kehidupan Bagi Manusia

Dengan demikian, hukum dalam Islam ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan. Artinya, sejak kedatangan Nabi Saw, Islam telah melakukan koreksi besar-besaran terhadap situasi haid yang awalnya menghina perempuan menjadi memanusiakan perempuan. Diperbolehkannya tidak menjalankan puasa saat haid merupakan bentuk rahmat dari Allah kepada manusia (QS. Al Anbiya: 107) dan berusaha tidak mempersulit orang beriman (QS. Al Hajj: 78).

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar