Santri Cendekia
Home » Stratifikasi Ulama dalam Masyarakat Mandailing

Stratifikasi Ulama dalam Masyarakat Mandailing

Dalam perkembangannya istilah keulamaan di Mandailing mengalami perkembangan makna.

Mandailing adalah salah satu suku di propinsi Sumatera Utara. Suku Mandailing sekarang mendiami wilayah yang dikenal Kabupaten Mandailing Natal. Terdiri dari 23 kecamatan, 27 kelurahan dan 377 desa. Dahulu wilayah ini dikenal sebagai bagian dari Keresidenan Tapanuli. Menurut Erawadi, Islam masuk ke Mandailing melalui tiga periode. Periode pertama, periode pra-Paderi, penyebaran Islam dilakukan oleh para juru dakwah dan guru tarekat dengan cara damai (Harahap: 2007). Kedua, masa Paderi (1816-1938) dibawa oleh Tuanku Tambusai dari Rokan dengan pendekatan fikih dan perang (Parlindungan: 1964).  Periode ketiga, pasca Paderi (1938-sekarang). Kabupaten ini memiliki 23 pondok pesantren, sering disebut sebagai Serambi Mekkahnya Sumatera Utara, karna salah satu kabupaten pemilik terbanyak pondok pesantren.

Ulama dikenal sebagai pengembang agama Islam. Istilah ulama muncul dari Al Quran untuk menerangkan orang yang berpengetahuan dan lebih takut perasaannya kepada Allah SWT (Qs.35:28). Ulama di Mandailing mendapatkan ilmu agamanya melalui guru yang terkenal menguasai cabang ilmu Islam tertentu dikampungnya atau dari tempat lain. Kedua, melalui belajar di Madrasah atau Pondok Pesantren. Lembaga pendidikan Islam pada masa awal di Mandailing dikenal dengan istilah Sikola Arob.

Dalam perkembangannya istilah keulamaan di Mandailing mengalami perkembangan makna. Keulamaan seseorang dianggap karna keluasan ilmu dan atas kesepakatan masyarakatnya. Strata keilmuan seorang Ulama di Mandailing dibagi kepada dua fase. Pertama, Fase sebelum kemerdekaan (tahun 1945). Dikenal dengan istilah: Panjago Masojid, Tukang Bahang, Malim, Kari, Lobe, Baleo, Tuan Syekh. Kedua, Fase sesudah kemerdekaan, bertambah penambahan istilah seperti Tuan Syekh Na Tobang, Tuan Syekh Na Poso, Buya, Gurui dan Ustad.

Adapun strata keilmua Ulama itu sebagai berikut:

Pertama, Panjago Masojid: adalah orang tukang bersih Masjid dalam suatu kampung, tugas paling pokok membersihkan masjid menjelang Sholat Jumat. Panjago Masojid ditunjuk atas penunjukan Takmir Masjid. Ketika masa panen di Taon Godang (masa panen padi besar), berangkatlah Panjago Masojid mengambil padi dari tiap-tiap rumah satu tabung per kepala keluarga.

Baca juga:  Prof. Dr. Rasjidi, Sang Ulama Negarawan

Kedua,Tukang Bahang, yaitu panggilan bagi seorang Muazzin, istilah panggilan bagi mereka untuk muazzin adalah Tukang Bahang.

Ketiga, Malim: berasal dari bahasa Arab, “Muallim” orang yang berilmu. Tugas mereka adalah imam dan khatib di Masjid. Kalau ada acara biasanya menjadi pemimpin doa. Baik dalam acara siriaon (kegembiraaan) atau “siluluton” (kematian). Khusus di desa Hutapadang, Kec.Ulu Pungkut ada namanya (alm) Malim Sobar, (alm) Malim Muhammad, (alm) Malim  Suleman. Didesa lain seperti desa Sabadolok, Kec.Kotanopan di kenal dengan nama (alm) Malim Barohim. Sebelum masa kemerdekaan dan masa orde baru, istilah ini masih familiar. Tahun 2000 keatas mulailah istilah ini hilang. Sebagai pelanjut nama tersebut, panggilan Malim itu diteruskan oleh anak atau cucunya yg mengikuti jalur keulamaan.

Keempat, Kari: berasal dari bahasa Arab, yaitu Qori’, panggilan untuk pengajar Al Quran, biasanya menguasai Ilmu Qiroaat Al Quran. Mereka yg diakui keilmuannya akan ditambahkan nama Kari di namanya. Di Simpang Banyak, Kec.Ulupungkut terkenal dengan nama (alm) Kari Ismail. Salah satu pendiri Ranting Muhammadiyah didesa ini.

Kelima, Gurui: panggilan kepada para muballigh. Biasanya orang yang mengisi pengajian diluar desanya. Karna diakui kemampuannya menyampaikan “kaji” atau ceramah tentang agama. Kadang dinisbatkan orang kepada nama tempat tinggalnya, seperti Guru Amirhan (alm)  sian Hutagodang Muda, Guru Abdul Hamid (alm) sian Hutagodang Muda, Gurui sian Purba, Gurui sian Muara Mais.

Keenam, Lobe: diambil dari simbol penutup kepala dari Makkah. Biasanya orang yang pulang haji memakai “lobe” untuk penutup kepalanya, sebagai penanda pernah naik haji ke Makkah. Karna orang yang belum pernah naik haji biasanya hanya memaki peci, di Mandailing disebut Kupiah Malim atau Kupiah Sukarno. Lobe juga bermakna sebagai orang yang mengetahui agama atau bertarekat. Di desa Hutapadang, Kec. Ulupungkut dikenal Lobe Janurasan dan Lobe Mahlil.

Baca juga:  Gua Kahfi, Bilangan Tahun, dan Kesesuaian Gerak Matahari

Ketujuh, Baleo: istilah  ini berasal dari kata beliau. Artinya orang yang dituakan sebutan namanya dan penisbatan asal tempat kelahirannya. Terkenal di mandailing adalah Baleo Natal artinya beliau yang dari Natal. Baleo Natal nama aslinya Syekh Abdul Fattah (Harahap:2004). Natal suatu nama kota di Mandailing termasuk daerah pesisir Pantai Barat Sumatera.

Kedelapan, Tuan Syekh: ada dua aliran, pertama Tuan Syekh karna memiliki Pondok Pesantren dan menguasai ilmu dasar Islam yang enam dan kitab kuning, Seperti, ilmu Aqidah/Tauhid, ulumul qur’an, ulumul hadis, ilmu lughot (nahwu & sharaf), ulumul ushul fiqih/fiqih, ilmu akhlak/tasawwuf. Dan biasanya beliau terkenal diantara enam cabang ilmu itu, semisal ulama tersebut terkenal menguasai Kitab Ihya Ulumuddin, atau Ilmu Nahwu Alfiyah Ibnu Malik, Kitab Sabilil Muhtadin, dll. Seperti Syekh Abdul Hamid Hutapungkut sering dipanggil murid-muridnya dengan sebutan Syekh Sabilil, karna beliau mengajar kitab Sabilil Muhtadin (Pelly: 2015). Pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru dipanggil orang beliau dengan sebutan Tuan Syekh Purba. Beliau guru mazhab Syafii di Tapanuli. Kedua, Tuan Syekh dalam tarekat, biasanya di Tapanuli yang terkenal adalah Naqsabandiyah Khalidiyah seperti Syekh Sulaiman Al Kholidi di Hutapungkut.

Kesembilan, Kulipah. Berasal dari bahasa arab khalifah artinya pengganti. Istilah kulipah ini adalah strata kedua sesudah Tuan Syekh di jenjang Tarekat. Artinya murid dari Tuan Syekh tarekat tersebut. Contoh: seperti Kulipah dari Simpang Banyak. Kulipah dari Simpang Banyak namanya Lobe Bokar. Besar kemungkinan beliau mengambil tarekat dari Hutapungkut pada masa itu.

Kesepuluh, Buya: panggilan orang kepada pendiri Pondok Pesantren seperti di Muara Sipongi dan Muara Mais. Seperti, Buya Munir Mawardi Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum Muara Mais.

Baca juga:  Bahaya Ulama Instan

Kesebelas, Ustad; adalah sebutan untuk para dai dan muballig pada masa sekarang baik di desa maupun di kota.

Kedua belas, Ayah. Sebutan ini panggilan untuk guru laki-laki di Pondok Pesantren Salafiyah di Mandailing. Yang mengajar kitab kuning. Seperti ulama yang wafat kemarin, terkenal beliau dipanggil Ayah Mukmin Hasibuan sebagai guru Ilmu tauhid di Mustahfawiyah Purba Baru.

Ketiga Belas, Tuan Syekh Na Poso dan Tuan Syekh Na Tobang. Tuan Syekh Na Tobang adalah ayah atau bapak mertua dari Tuan Syekh Na Poso. Tuan Syekh Na Poso adalah anak atau menantu yang keilmuannya sama atau setaraf dengan ayah atau mertuanya. Kalau ayahnya sudah tua diberikan orang gelar Tuan Na Tobang. Istilah inipun di Minangkabau dikenal Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Nan Mudo. Gelar untuk Tuan Syekh Na Poso diberikan pada umur 40 tahun keatas mengikuti Nabi Muhammad SAW ketika diangkat menjadi nabi dan rasul umur 40 tahun. Sedangkan Tuan Syekh Na Tobang biasanya sudah berumur diatas 60 tahun. Tuan Syekh Na Poso dan Tuan Syekh Na Tobang dalam sanad keilmuan ilmu Tarekat dan persulukan istilah inipun dipakai.

Jadi jalur tingkat keilmuan ulama di Mandailing itu sebagai berikut: Malim/ustad, naik menjadi > Gurui atau Ayah, naik menjadi > Tuan Syekh. Sesudah masa keemasan tarekat meredup, Tuan Syekh lebih identik kepada yang sudah memiliki Pondok Pesantren dan diakui keilmuannya dalam  penguasaan kitab kuning dan terkenal ahli dalam salah satu cabang keilmuan Islam.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar