Santri Cendekia
Home » Struktur Hierarki Mujtahid dalam Mazhab Syafi’i (Bagian 1)

Struktur Hierarki Mujtahid dalam Mazhab Syafi’i (Bagian 1)

PENDAHULUAN

Keberadaan Nabi Muhammad saw. merupakan pertanda lahirnya dua sumber pokok dan paling utama dalam syariat Islam. Selama periode kenabian hampir tidak ditemui permasalahan yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam ketika itu. Setiap problem yang hinggap dalam tubuh masyarakat dapat segera langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Perbedaan pendapat muncul setelah umat Islam ditinggal Rasulullah lantaran menemui persoalan yang tidak memiliki presedennya di era kenabian. Karena itulah, dua abad setelah Rasul wafat, tanggung jawab mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) ada pada pundak para ulama yang biasa dikenal dengan ijtihad.

Arti penting ijtihad diungkapkan oleh Ibnu Rusyd di dalam muqaddimah kitab Bidayat al-Mujtahid, beliau mengatakan bahwa teks al-Quran dan al-Sunah sifatnya terbatas (mutanahiyat), sementara realitas konkret itu tidak terbatas (ghair mutanahiyat).[1] Sehingga dengan keyakinan seperti ini umat Islam memerlukan adanya ijtihad. Aktivitas ijtihad ini untuk kemudian melahirkan istilah fiqh (dibaca: fikih). Dalam Takwinu al-‘Aql al-‘Arabi Abid al-Jabiri mengatakan bahwa sejarah peradaban Islam sebetulnya lebih banyak membicarakan tentang peradaban fikih, sebagaimana peradaban Yunani kuno yang identik dengan filsafat.[2]

Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dimulai pada awal abad kedua sampai dengan pertengahan abad keempat hijriyah (abad ke-7 sampai awal abad ke-9 Masehi) begitu cepat dan subur. Masa ini merupakan masa keemasan hukum Islam dimana kebebasan berpikir dalam melakukan ijtihad begitu akrab didengungkan. Maka tidak heran pada periode ini bermunculan ulama-ulama besar seperti Abu Hanifah di Irak, al-Auza’i di Syam, Malik Ibn Anas di Madinah, al-Syafi’i di Mesir dan ulama-ulama lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Islam pada saat itu.

Kehadiran imam mazhab ini mengakibatkan munculnya ragam model dalam istinbath hukum yang kemudian memicu lahirnya formasi aliran mazhab. Ada beberapa metode yang membedakan antara ulama fikih yang satu dengan yang lainnya, yang membuat nama mereka identik dengan hal tersebut, misalnya: metode istihsan Abu Hanifah, metode istishab al-Syafi’I, dan metode istishlah Imam Malik bin Anas. Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah kelompok-kelompok fikih yang pada mulanya terdiri dari murid-murid para imam mujtahid.

Para imam mazhab tersebut membuat karya-karya monumental, mereka mendapatkan penghormatan yang berlebih dari para pengikutnya. Secara negatif, lahirnya kodifikasi kitab-kitab fikih para ulama mazhab ini mengakibatkan lesunya generasi post-mazhabic[3] dalam melakukan ijtihad. Hal tersebut timbul karena beranggapan bahwa posisi al-Syafi‘I sebagai ikon mazhab tentu tidak akan bisa disamai oleh mujtahid setelahnya, sebagaimana posisi Abu Hanifah, Malik  bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal.

Ada rasa wagu untuk melakukan manuver-manuver ijtihad karena merasa belum layak dan pantas melakukan istinbath hukum yang langsung digali dari al-Quran dan al-Sunah. Akibatnya, secara tidak langsung para ulama post-mazhabic ini memproklamirkan bahwa ijtihad telah tertutup. Dari paparan ini setidaknya memunculkan dua pertanyaan pokok: pertama, bagaimana sebetulnya struktur hierarkis mujtahid dalam mazhab?; kedua, bagaimana tanggapan para ulama merespon struktur hierarkis mujtahid ini?; ketiga, apa solusi dari permasalahan ini?

Baca juga:  Perlu Dibaca ! "The Tao of Islam" Kitab Relasi Gender dalam Islam

STRUKTUR HIERARKIS MUJTAHID DALAM MAZHAB SYAFI’I

Pada pembahasan ini saya tidak akan membahas seluruh struktur hierarkis semua mazhab, tetapi akan membatasi struktur tersebut hanya dalam mazhab Syafi’I yang bersumber kitab Adab al-Mufti wa al-Mustafti. Kitab yang berjumlah 214 halaman ini berisi tentang kajian ushul fikih yang membincangkan seputar etika seorang mufti dan mustafti.

Kitab yang menjadi rujukan para ulama Syafi’iyyah ini adalah sebuah karya al-Imam al-Hafiz Taqiyyuddin Abu ‘Amr Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa al-Kurdi al-Syaharazuri, yang lebih terkenal dengan nama pena Ibn al-Shalah (577-643H). Seorang ulama besar yang pakar dalam bidang hadis dan fikih mazhab Syafi’i. Dalam kitabnya tersebut, Ibn Shalah membagi seorang mufti dalam dua kategori: mujtahid independen (mustaqil), dan mujtahid dependen (ghayr mustaqil).[4]

Mujtahid Mustaqil

Dalam kategori pertama, yaitu mujtahid mustaqil (kadang Ibn Shalah menggunakan istilah mujtahid muthlaq). Menurut Ibn Shalah hukum keberadaan mujtahid mustaqil adalah fard kifayat.[5] Dengan demikian kelahiran Imam al-Syafi’I dalam pandangan Ibn Shalah merupakan penggugur kewajiban bagi segenap muslim.[6]

Dalam kitab Adab al-Mufti wal-Mustafti, Ibn Shalah kemudian menjelaskan tentang syarat-syarat menjadi seorang mujtahid mustaqil yaitu meliputi: menguasai ilmu ushul fikih, ilmu al-Quran, ilmu hadis, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gramatikal arab, dan Bahasa Arab. Mereka juga harus pandai menguasai ilmu dialektika para ulama (ikhtilaf), tahu apa yang menjadi kesepakatan para ulama, dan memiliki kemampuan menggali hukum langsung dari sumbernya.[7] Ibn Shalah mengatakan bahwa posisi yang menempati tingkatan mujtahid mustaqil ini adalah pendiri mazhab, yaitu Imam al-Syafi’i.

Menurut Ibn Shalah, pengetahuan yang dipegang oleh mujtahid mustaqil haruslah komprehensif, tidak boleh ahli dalam satu bidang tapi lemah dalam bidang lain. Dia harus menguasai ilmu waris, begitu juga ilmu manasik. Jika ada seorang mujtahid yang piawai dalam menggunakan qiyas, tapi tidak paham ilmu hadis, maka dia tidak bisa masuk dalam kategori mustaqil. Menurut Ibn Shalah kalau tahu tentang ilmu mawaris, maka dia juga harus tahu tentang ilmu nikah. Karena itulah, seorang mujtahid mustaqil harus ahli dalam segala bidang ilmu, menjadi core of the core.

Mujtahid Ghayr Mustaqil

Sementara itu, kategori yang kedua yaitu mujtahid ghayr mustaqil (tapi kemudian Ibn Shalah menggunakan istilah mujtahid muntasib) adalah para ulama yang mengikuti metode dan system pendiri mazhab.[8] Dalam kategori mujtahid muntasib ini, Ibn Shalah membaginya menjadi empat tipe: (1) Pertama, jenis mujtahid ini memenuhi setiap detail pra-syarat dan kualifikasi sebagai mujtahid mustaqil namun dirinya telah memilih untuk berafiliasi dengan mengikuti metode ijtihad, dan tidak membangun mazhab atasnama dirinya.

Menurut Ibn Shalah, dalam konteks ini, dirinya mengutip Abu Ishaq al-Isfara’ni yang mengatakan bahwa persoalan ini adalah kasus dengan sejumlah mujtahid yang berafiliasi dengan pendiri mazhab bukan karena taqlid tetapi karena mereka menemukan metode yang paling meyakinkan atau setidaknya tidak meragukan.[9] Pada tipe pertama dari mujtahid muntasib ini mereka mengadopsi metode ijtihad para pendiri mazhab sambil mengandaikan adanya kualitas yang memungkinkannya untuk menentukan bahwa metodologi imam mutlak adalah yang paling baik sehingga mereka terpapar dari taqlid.

Sementara itu, tipe (2) kedua dari muntasib ini adalah mujtahid muqayyad, yaitu mereka memenuhi syarat untuk mengkonfirmasi dan meningkatkan doktrin dari mujtahid mustaqil.[10] Mujtahid level ini tidak terjerumus dalam taqlid karena mereka memiliki pengetahuan dasar ushul fikih seperti teori qiyas, metode takhrij, teknik istinbath hukum dan lain-lain. Akan tetapi  bagaimanapun, mereka tidak memungkinkan bisa melangkah keluar dari prinsip dan metode yang ditetapkan oleh imam dari mazhabnya. Walau pun mereka tahu hukum, teori hukum, dan metode terperinci dari penalaran hukum dan analisis linguistik. Mereka juga merupakan pakar dalam takhrij dan dalam menyimpulkan hukum dari sumbernya. Akan tetapi mereka tidak diperbolehkan keluar dari prinsip-prinsip dasar mazhab yang mereka anut.

Baca juga:  Alasan Para Ulama Berbeda Pendapat Menurut Ibnu Rusyd

Menurut Ibnu Shalah, kehadiran mujtahid muqayyad ini penting dalam formasi mazhab karena mereka bertanggung jawab untuk menentukan hukum dalam kasus-kasus konkret yang belum pernah terjadi sebelumnya sesuai dengan prinsip-prinsip imamnya dan mazhab tempat mereka berafiliasi. Terlepas dari kemampuannya untuk melakukan ijtihad, menurut Ibn Shalah kualifikasi-kualifikasi tipe kedua dari mujtahid muntasib ini dirusak oleh kelemahan mereka dalam hal-hal tertentu, seperti dalam pengetahuannya tentang hadits atau dalam penguasaannya terhadap bahasa Arab.[11]

Tipe (3) ketiga dari muntasib adalah para mujtahid yang memiliki kemampuan menghafal pandangan para imam mazhab lengkap dengan argumentasi yang dibangun. Mereka mampu melakukan konfirmasi, dapat mengklasifikasi, paham dengan metode tarjih (mencari pandangan yang paling kuat), bisa menggambarkan pandangan mazhab, akan tetapi menurut Ibn Shalah peringkat mereka tidak sampai menyentuh level “ashhab al-wujuh wa al-turuq” yang diperbolehkan melakukan ijtihad terhadap kasus yang belum pernah ditemui mujtahid mustaqil. Akan tetapi terkadang mujtahid level ketiga dari muntasib ini melakukan ijtihad dengan menggunakan prinsip-prinsip imam mazhab.[12]

Menurut Ibn Shalah, level ini diduduki oleh kebanyakan generasi al-Muta’akhkhiruna, yaitu generasi yang hidup di akhir abad kelima Hijriyah. Ibn Shalah sendiri dan kebanyakan penulis kitab-kitab Syafi’iyyah masuk dalam ulama tipe ketiga dari mujtahid muntasib. Walau pun generasi ini tidak sampai level “ashhab al-wujuh wa al-turuq”, tapi kontribusi mereka dalam menjelaskan problem baru yang tidak ditemui presedennya di generasi mujtahid mustaqil dan muntasib tipe pertama begitu besar yang patut diapresiasi. Kekuatan mereka bukan pada membangun teorisasi hukum Islam, tapi produktivitas dalam menggambarkan, mengkonfirmasi, menguatkan doktrin mazhab Syafi’i dalam jumlah kitab yang begitu banyak. Barangkali di sinilah awal mula klaim bahwa Imam Syafi’i disebut-sebut sebagai pendiri Ushul Fikih.

Tipe (4) keempat dalam struktur hierarkis mujtahid dalam formasi mazhab Syafi’i adalah para pengutip dan penghafal doktrin mazhab yang dibangun. Menurut Ibn Shalah, kemampuan mereka hanya sebatas paham apa yang menjadi persoalan dan bagaimana jawabannya. Tingkat intelegensi mereka berada di paling bawah dalam formasi mazhab Syafi’i yang tidak memiliki kemampuan seperti mujtahid yang berada di atasnya. Artinya mereka tidak paham bagaimana argumentasi yang dibangun para mujtahid dalam menyelesaikan sebuah persoalan, dan mereka juga tidak memiliki kemampuan dalam menggunakan qiyas.[13]

Baca juga:  Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (2)

Karena itulah tugas utama mereka hanya menyampaikan fatwa-fatwa yang telah disusun oleh ulama-ulama mazhab. Menjadi “tukang share” apa yang telah menjadi doktrin mapan mazhab Syafi’i. Kalau pun terpaksa harus menjawab fatwa terhadap kasus yang belum ditemui sebelumnya, mereka hanya diperbolehkan menjawab persoalan yang sederhana dengan tetap menggunakan prinsip-prinsip dasar mazhab Syafi’i. Sementara jika menemui persoalan yang sangat sofistik dan ruwet, yang membutuhkan penalaran mendalam, dengan tegas Ibn Shalah menyatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan memberikan fatwa.[14]

Walau pun dalam kitab Adab al-Mufti wal-Mustafti Ibn Shalah menyebut ada empat tipe mujtahid muntasib, tapi sebetulnya ada satu tipe lagi yang beliau bicarakan yaitu golongan (5) kelima adalah muqallid (orang yang bertaqlid). Secara vertikal, mujtahid yang berada pada level muqallid merupakan golongan akar rumput. Mereka hanya diperbolehkan berfatwa dengan menisbatkannya pada sang Imam, misalnya: “Imam al-Syafi’i berkata demikian, demikian, demikian.”[15]

Menurut Wael B. Hallaq, taqlid menjadi semacam penjamin yang memungkinkan terpeliharanya pandangan mazhab hingga saat ini. Karena itulah kontribusi muqallid dalam Tarikh Tasyri’ secara tidak langsung adalah membentuk struktur otoritas dalam mengambil keputusan hukum. Oleh kaum modernis, posisi muqallid sering dipandang sebelah mata karena mereka dianggap sebagai biang keladi kampanye ijtihad telah tertutup.

Baca uraian selanjutnya tentang Kritik Terhadap Struktur Hierarki Mujtahid.

[1] Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Ghazali, 1996/1416), hlm. 31. Lihat juga Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim bin Abu Bakr Ahmad al-Syahrastana, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 200.

[2] Abid Al-Jabiri, Takwinu al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah, 1970), hlm. 97.

[3] Hehehe istilah buatan saya yang berarti ulama-ulama yang hidup setelah era formasi mazhab sebelum datangnya era para pembaharu. Semoga istilah ini viral, yak.

[4] Ibn Shalah, Adab al-Mufti wal-Mustafti, (Beirut: Alam al-Kutub, 1407/1986), hlm. 86.

[5] Ibid., 87.

[6] Di sini Ibn Shalah tidak menjelaskan lebih detail dan terperinci apakah keberadaan mujtahid mustaqil harus hadir secara periodik, atau harus ada di setiap tempat? Artinya, apakah di setiap masa, atau di setiap makan harus ada mujtahid mustaqil? Apakah cukup dengan kehadiran Imam al-Syafi’I sebagai mujtahid mustaqil sepanjang masa dan setiap tempat?

[7] Ibid., 86-87.

[8] Ibid., 91.

[9] Ibid., 92

[10] Tipe kedua dari mujtahid muntasib ini oleh Ibn Shalah selain disebut mujtahid muqayyad kadang juga dinamai dengan ashhabu al-wujuh wa al-thuruq. Ibid., 94-95.

[11] Ibid., 96.

[12] Ibid., 98.

[13] Ibid., 99.

[14] Ibid., 99-100.

[15] Ibid., 103.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar