Santri Cendekia
Home » Surat-Surat Cinta (Seri Feminisme I)

Surat-Surat Cinta (Seri Feminisme I)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Duhai pelangi yang terbit di mataku 
malam-malam saat ku pahat kata-kata ini, ada ribuan bintang bertabur di altar langit, kerlap kerlipcahayanya meriah, adakah kau memandangnya juga?.
terkadang yang banyak itu membosankan, melihat hal yang tumpah, bertaburan banyak membuat kita susah berkonsentrasi pada objek, pandangan mengambang, susah menentukan titik mana yang akan kita nikmati. Tapi tidak untuk bintang-bintang yang ditabur tuhan ketika malam hanya menyisahkan beberapa awan membiru gelap dan bulan yang cahayanya berpendar hingga celah jendela kamarmu, menerobos horden putihmu, dan membekas berkas, mengecap di bibir delima mu. Seakan bintang-bintang itu memiliki jarak yang anggun membuat tiap kerlip selalu istimewa di pandangan. Seperti putih aliransungai di lembah yang gelap. Aliran tenang, menyembulkan berderet titik-titik mutiara yang mengembang, lembah yang berubah ungu, dengan cahaya berpendar putih berloncatan, dalam satu arus sungai yang mempesona. Bukankah tuhan pelukis yang sempurna bukan? Jika manusia melukis sesuatu karena hasil majinasi mereka dari inspirasi atas apa yang mereka lihat di sekelilingnya,maka tuhan yang menciptakan inspirasi-inspirasi itu. Seperti Ia menciptkan mu sebagai inspirasiku.. yangg. Yang… ah.. bahkan aku tidak tahu, adakah kata indah bisa mewakili betapa dirimu sesempurna sajak-sajak puisi orang yang jatuh hati?
Pelangiku… semoga malam ini tak iri dengan keindahanmu.
***
Dan lagi, ini surat yang kesekian kalinya ku terima. Pagi saat aku hendak beregas menerjang hari,bersama seliweran orang yang menggantungkan hidupnya di jalan, ku dapati surat-surat itu di depan pintu rumah ku. Siapa dia? Orang yang memahat kata-kata indah buatku, berpagi-pagi memasukkannya dari kolong pintu rumah,membuatku tersenyum suka untuk ungkapan-ungkapan pujian, mana ada wanita yang tahan dengan pujian, ah… dia telah membuatku jatuh cinta.
Hingga setiap hariku tidak terlepas dari duga-duga, kira siapa orangnya yang telah membuatku terpesona dengan surat-surat ini?. Mungkin cinta monyet ku ketika sma, tapi bukankah dia sudah menikah? Atau teman kerja ku saat ini? Ah.. aku tidak terlalu akrab dengan mereka? Oh.. bisa jadi teman kuliahku, atau teman kkn ku si anak yang pintar main gitar itu, atau teman di komunitas menulisku, atau penyuka tulisan ku diblog.. akhh.. duga-duga ini tidak membantu sama sekali, sedetik pun bayangnya tak terlintas di kepala, yah.. mungkin karena aku tidak berharap siapa-siapa,aku hanya berharap dia yang bisa saja belum pernah ku temui, sama sekali.
Dan lagi, hari ini semua kegiatan yang ku jalani tak berarti sama sekali, hanya ada kau yang tak pernah terbayang, dan surat-surat cinta ini.
***  
Duhai pelangi yang berpijak dihatiku
Aku selalu bertanya-tanya tentang kebebasan yang telah diberikan tuhan kepada manusia. Dalam bentuk apa pastinya kebebasan itu? Apakah dengan melakukan segalanya kita bisa disebu tbebas,? Tapi bukankah dengan begitu kita mengganggu kebebasan orang lain? seperti misalnya, orang yang menuntut menikah beda agama, dengan alasan bebas mencintai? Bagaimana pendapatmu? Apakah ini bisa disebut kebebasan? Bukankah kebebasan seperti ini pada dasarnya telah melampaui batas yang telah ditentukan agama? ataukah agama itu sendiri yang tidak menghargai kebebasan? Hemm,setujukah kau, ketika aku bersaksi dihadapanmu untuk setia mencintaimu, lalu pada saatnya aku mengatakan itu pada perempuan lain dengan dalih itu kebebasanku?
Aku tidak tahu pastinya, ini hanya pendapatku. yang jelas tentunya kau sangat marah jika kulakukan hal itu padamu. Mungkin seperti  itulah tuhan ketika larangan agama dilakukan. Dengan bersaksi bahwa kita percaya dan mengimaninya, dengan bukti bahwa kita akan patuh menjalankan agamanya. Tapi suatu ketika kita melanggarnya karena ada cinta lain, lalu dengan enaknya kita mengatakan bahwa itu kebebasan kita, lalu kita melanggar ikrar cinta kita yang dahulu.
Kita tentu tidak akan pernah tahu, apakah tuhan marah atau tidak, yang kita tahu agama adalah seperangkat aturan tuhan yang jelas. Jika undang-undang negara, kita langgar, pasti kita dihukum dan dimarai, meskipun kita tidak pernah bertanya, “bagaimana anda bisa tahu, kalo saya melanggar hal ini, tuan presiden akan marah pada saya?”
Ah… otakku memang penuh dengan analogi, aku hanya takut orang yang merasa bebas ternyata hanya menukar kebebasan itu dengan kebencian sesamanya atau bahkan kebencian tuhan kepadanya.
Dan aku juga takut, kalau mencintaimu adalah sesuatu yang salah, sesuatu –yang jika aku datang dihadapanmu dan mengakuinya- kau tidak menerimanya dan mulai membenci ku dan surat-surat ku. karena itu, aku hingga kini tak pernah menggunakan “kebebasanku” untuk mengaku cinta padamu, karena takut kau akan “bebas” membenciku.
Maafkan aku yang memilih bersembunyi, karena dengan itu, aku merasa selalu “bebas” mencintaimu.
***
“rin… menurutmu, orang yang nikah beda agama itu gimana?”
Mendengar pertanyaan ku, rini menghentikan ketikannya, menatapku heran, seperti ada yang salah di wajah ku
“ko langsung tanya gituan”
Aku pun menyadari keanehanku, tapi bukankah itu sudah biasa bukan, seorang yang pendiam, tiba-tiba bertanya hal yang aneh. Akhh.. ini salah mu karena membahas itu di surat terakhirmu..aku sampai memikirannya hingga sekarang
“ya.. mau tau aja.. kan lagi marak di berita, hehe..”
“hemm… gak tau juga sih.. aku cuma pernah dengar seorang ustad ceramah, kalau perempuan muslim itu dilarang menikah dengan laki-laki non muslim, karena dikhawatirkan, jika bukan istrinya yang masuk agama suaminya, maka anak-anaknya akan ikut agama suaminya. Terus si ustad bilang, bahkan ada ulama yang mengharamkan baik laki-laki maupun perempuan muslim gak boleh menikah sama yang non muslim, ada ayat al-Qur’annya. Kalo gak salah artinya, dan janganlah kamu menikahi perempuan musrik sampai dia beriman, dan sungguh, perempuan budak yang beriman lebih baik untuk kau nikahi dari pada perempuan merdeka tapi musyrik, dan sebaliknya…” sori lupa surah sama ayatnya..
“hemm.. gitu yah..”
“ya.. itu yang saya dengar..nanya ustad aja langsung hahaha”
Aku hanya tersenyum lalu meleburkan kembali pandanganku pada berkas-berkas yang menumpuk, membaca satu dua paraghraf di dalamnya, lalu kembali melamunkanmu
“mudah-mudahan kita tidak bedaagama”
Batinku. 
(bersambung, seri feminisme II 
Baca juga:  Respon Ulama Terhadap Penyakit Skeptisisme-Relativisme

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar