Abstrak
Tulisan ini membahas pemikiran Syamsul Anwar dalam bidang ilmu falak, terutama dalam bidang hisab-rukyat. Di tengah minimnya ahli falak di Indonesia, terlebih di lingkungan Muhammadiyah, nama Syamsul Anwar terasa masih sangat asing di telinga kebanyakan orang. Akan tetapi jika kita melihat lebih seksama sesungguhnya dari tangan Syamsul Anwar-lah banyak pemikiran-pemikiran cemerlang tentang hisab-rukyat lahir dan sangat terasa kontribusinya bagi Muhammadiyah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tulisan ini memfokuskan pada beberapa pemikiran Syamsul Anwar dalam bidang hisab-rukyat, yaitu mengenai kontekstualisasi pemahaman hadis-hadis tentang rukyat, hisab hakiki sebagai metode penentuan awal bulan dan interkoneksi studi hadis dan astronomi.
Pendahuluan
Syafiq Mughni sebagaimana dikutip Azyumardi Azra mengatakan, “pada masa sekarang ini, ilmu falak atau hisab telah menjadi langka dan literatur-literatur yang berbahasa Indonesia sangat sulit didapatkan. Padahal, sesungguhnya ilmu ini sangat penting bukan saja karena dalam beberapa hal tetap diperlukan tetapi juga lebih dari itu memiliki makna yang sangat penting dalam mengapresiasi peradaban Islam.”[1]
Apa yang dikatakan Syafiq Mughni di atas barangkali mewakili pendapat sebagian orang Indonesia yang sadar akan pentingnya ilmu astronomi, terutama ilmu falak syar’i[2]yang menjadi bagian dari ilmu astronomi itu sendiri. Dalam konteks keindonesian, di mana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, ilmu falak syar’i benar-benar menjadi ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari setiap gerak langkah umat Islam. Dikatakan demikian karena ilmu ini sangat berkaitan erat dengan ibadah yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, baik ibadah yang sifatnya harian, mingguan, bulanan dan juga tahunan. Namun sangat disayangkan karena pada kenyataannya urgensi ilmu ini tidak diimbangi oleh semangat umat Islam untuk mendalaminya.
Hal ini secara sekilas dapat dibuktikan dari prodi pada universitas-universitas Islam di Indonesia, baik negeri maupun swasta, yang seakan tidak memberikan porsi proposional kepada para mahasiswa dan siapa saja yang berminat untuk mempelajari dan mengembangkan keilmuan ini.[3]Padahal seperti diisyaratkan Syafiq Mughni di atas, ilmu ini tidak sebatas diperlukan dalam ranah praksis ibadah an sich, tapi juga sangat penting dalam mengapresiasi peradaban Islam. Sayangnya, terkait peradaban Islam ini kita harus mengakui bahwa sampai sekarang umat Islam masih belum mampu memiliki suatu sistem tata waktu (kalender) yang baik, reliabel dan bersifat global, yang dapat dijadikan sebagai identitas peradaban. Akibatnya, banyak problem yang timbul karena ketiadaan sistem tata waktu tersebut.[4]Pada titik ini tampak jelas bahwa kelahiran Observatorium Ilmu Falak di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) merupakan kabar yang sangat menggembirakan dan sangat layak mendapat penghargaan serta apresiasi. Oleh karenanya sebelum memulai tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan selamat dan sukses kepada OIF UMSU yang telah mengawali usaha untuk mewujudkan peradaban Islam.
Kembali kepada tema besar dalam judul tulisan ini. Apabila dibandingkan antara jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah ahli falak yang ada di negera ini, maka jumlah ahli falak kita tidak bisa dikatakan melimpah, terlebih di lingkungan Muhammadiyah. Hanya ada beberapa nama yang sering disebut bila mendiskusikan ahli falak Muhammadiyah – meskipun sesungguhnya tidak sedikit ahli falak Muhammadiyah di daerah-daerah yang mulai bermunculan dan memberikan kontribusi. Di antara nama-nama ahli falak Muhammadiyah tersebut ada satu nama yang sesungguhnya banyak memberikan sumbangsih pemikiran akan tetapi namanya kurang begitu popular di lingkungan Muhammadiyah, terlebih di luar perserikatan itu. Beliau adalah Syamsul Anwar, seorang Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sekaligus menjadi ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Meski spesialisasi keilmuan Syamsul Anwar adalah hukum Islam (usul fikih), tapi kepakarannya dalam bidang ilmu falak , khususnya yang terkait dengan hisab-rukyat, tidak dapat dipandang sebelah mata. Terbukti banyak pemikiran cemerlang tentang hisab-rukyat yang ia lontarkan yang sangat kontributif. Tulisan ini akan memfokuskan pada beberapa saja dari pemikiran Syamsul Anwar dalam bidang hisab-rukyat, yaitu mengenai kontekstualisasi hadis-hadis tentang rukyat, hisab hakiki sebagai metode penentuan awal bulan dan interkoneksi studi hadis dan astronomi.
Biografi Syamsul Anwar
Kampung Halaman dan Keluarga. Syamsul Anwar berasal dari sebuah kampung di sebuah pulau kecil bernama Midai yang sekarang merupakan sebuah kecamatan di dalam Kabupaten Natuna, Propinsi Kepulauan Riau. Syamsul Anwar pada masa kecilnya lebih akrab disapa dengan nama Syamsu oleh orang-orang di kampungnya.[5]
Kehidupan sosial masyarakat di pulau Midai ditandai dengan hadirnya dua sub suku Melayu di pulau ini, yaitu Melayu Kepulauan dan Melayu Daratan. Di sini digunakan dua dialek bahasa Melayu: bahasa Melayu Riau Daratan yang dominan dan bahasa Melayu Riau Kepulauan. Keadaan ini berbeda dengan keadaan di daerah lain di Natuna di mana bahasa Melayu Kepulauan sebagai satu-satunya bahasa komunikasi yang digunakan masyarakat. Selain suku Melayu, di Midai dan Natuna pada umumnya terdapat juga beberapa etnik Tionghoa yang umumnya hidup dari perdagangan. Ada juga suku Bugis, namun mereka ini telah terserap dan terasimilasi menjadi orang Melayu karena mereka telah berabad-abad tinggal di Natuna. Pada diri mereka sudah tidak ada lagi jejak budaya dan tradisi Bugis. Apa yang tersisa hanyalah nama dan kenangan mitis mereka mengenai asal usul nenek moyang mereka. Penduduk asli pulau Midai dan Natuna secara umum adalah orang Pesuku atau disebut Orang Laut. Di masa lalu mereka ini hidup di laut di dalam perahu-perahu yang bertutupkan kajang dan mempunyai kepercayaan animistik. Di bawah kajang dalam perahu, mereka membawa keluarga dan harta benda mereka dengan suatu tatanan kehidupan yang keras. Anggota keluarga yang tidak dapat membantu atau mengalami cacat dibunuh.[6]
Pada masa kini, Orang Pesuku atau Orang Laut ini sudah tidak begitu dikenali lagi. Akibat kebijakan kependudukan Pemerintah Belanda di zamannya, mereka ini banyak yang dimukimkan di darat. Kemudian dengan pengaruh agama Islam dan akibat asimilasi, sebagian melalui perkawainan dengan orang Melayu, mereka kini sudah hampir tidak dikenali lagi dan menyatu dengan orang Melayu.[7]
Kehidupan agama di pulau Midai cukup semarak dan di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Riau dahulu, masyarakat pulau ini dikenal sangat santri. Tradisi keagamaan yang umum berlaku adalah faham modernis yang diusung oleh Muhammadiyah. Organisasi ini telah masuk ke pulau ini sejak zaman Belanda di sekitar akhir dasawarsa keempat abad yang lalu. Dapat dikatakan bahwa disinilah konsentrasi besar dan kuat dari Muhammadiyah di Kepulauan Riau.[8]
Syamsul Anwar adalah anak kedua dari tujuh bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki. Kedua orang tua Syamsul Anwar adalah orang Melayu dari Riau Daratan dan mereka dengan demikian adalah perantau di pulau Midai, yang biasanya disebut “orang dagang.” Tidak diketahui dengan persis kapan kakek Syamsul Anwar dari pihak ibu datang ke Natuna. Mungkin sekali pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Ibu Syamsul Anwar sendiri, Hj. Maryam, lahir di Midai, akan tetapi ia tidak tahu tahun kelahirannya. Setelah ibunya meniggal ketika ia masih kecil, ia dibawa oleh bibinya ke kampung halaman ayahnya di Cerenti, Inderagiri dan di sanalah ia menjalani pendidikan dasarnya di Madrasah. Pada tahun 1937 ia melanjutkan sekolah ke Samratul Azhar yang didirikan oleh Tuan Guru Haji Musa, alumni al-Azhar di Kairo, yang karena itu sekolahnya dinamakan Samratul Azhar (Buah al-Azhar). Menurutnya ketika itu ia berusia 12 atau 13 tahun, yang berarti ia dilahirkan sekitar tahun 1925. Ia belajar di sekolah tersebut selama enam tahun, namun ia tidak sempat menamatkannya karena sekolah tersebut terpaksa bubar akibat kekuasaan Jepang yang semakin mengganas sehingga para gurunya banyak yang tidak dapat mengajar. Tuan Guru Haji Musa sendiri pergi ke Kuala Lumpur dan meninggal dunia di sana. Ibu Syamsul Anwar bercerita bahwa ketika sekolah di Samratul Azhar ia selalu mendapat juara dan nilai terbaik kecuali satu kali ketika ia sakit karena ujung jarinya putus kena parang sehingga ia tidak mengikuti pelajaran beerapa waktu lamanya. Sebab ia selalu mendapat nilai terbaik adalah karena penguasaan bahasa Arab-nya yang relatif baik dan ketika ujian ia selalu menjawab dengan bahasa Arab.[9]
Pada tahun 1951 ibu Syamsul Anwar pulang ke Midai, Natuna untuk kembali bersama orang tuanya dan anggota keluarga yang lain. Sekembalinya ke Midai, ibu Syamsul Anwar aktif dalam kegiatan Muhammadiyah bagian Aisyiyah dan untuk beberapa lama menjadi Ketua Aisyiyah Cabang Midai. Di Midai, sampai usianya yang amat lanjut pun, ia tetap aktif memberikan pengajian untuk Aisyiyah dan masyarakat pada umumnya.[10]Tahun 1977, bersama ayah Syamsul Anwar ia menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekah, sebagai jamaah haji dari Kabupaten Jepara (Jateng) karena oleh abang sepupu Syamsul Anwar yang bekerja sebagai anggota Angkatan Laut di Jepara ia didaftarkan untuk menjadi jamaah haji dari kota tersebut.[11]Sekarang ibu Syamsul Anwar tinggal dan menikmati usia senjanya di Yogyakarta.[12]
Ayah Syamsul Anwar, seperti ibunya, juga berasal dari Inderagiri, Riau Daratan. Menurutnya ia lahir pada tahun 1918. Tahun 1920 ia dibawa ayahnya (kakek Syamsul Anwar) ke Kelang, Malaysia. Pada tahun 1925 ayahnya naik haji dan ia dibawa pulang ke Inderagiri. Ia datang ke Midai pada permulaan tahun lima puluhan abad yang lalu. Pendidikannya setelah sekolah dasar menlanjutkan ke Samratul Azhar, namun lebih belakangan dari ibu Syamsul Anwar. Ia juga tidak sempat menamatkannya karena sekolah tersebut bubar pada zaman Jepang. Di Midai ia mewarisi dan melanjutkan pekerjaan kakek Syamsul Anwar dari sebelah ibu sebagai petani kelapa dan kemudian juga cengkeh. Sang ayah inilah yang kuat kehendaknya untuk menyekolahkan Syamsul Anwar pada jalur pendidikan agama.[13]Kini ayahandanya telah tiada. Beliau meninggal pada 08 Februari 2013 dan dimakamkan di Yogyakarta.[14]
Syamsul Anwar sendiri menikah pada tahun 1989 dengan seorang gadis asal Belinyu, Bangka, Dra. Suryani. Pasangan ini kini dikarunia dua orang buah hati; Fitri Prawitasari dan Jamal Fajri.[15]
Masa Kecil. Syamsul Anwar lahir pada tanggal 17 Rajab 1375 H pada hari Kamis sore pukul 17.30 yang bertepatan dengan 30 Maret 1956.[16]Masa kecil sejak lahir hingga usia 12 tahun dijalani Syamsul Anwar di kampung halaman bersama orang tuanya. Pada usia 5 tahun sebelum masuk sekolah dasar Syamsul Anwar kecil dibawa oleh orang tuanya mengunjungi kampung halaman leluhurnya di Inderagiri, Riau Daratan. Melalui kedua orang tuanya ini Syamsul Anwar sejak kecil mendapat bimbingan keagamaan dan dididik dalam suasana semangat religius yang dimiliki kedua orang tuanya dan lingkungan kampungnya.[17]
Pendidikan. Pendidikan pertama yang dijalani Syamsul Anwar adalah belajar membaca al-Qur’an kepada orang tuanya sendiri di rumah sebelum memasuki pendidikan formal. Ketika berusia tujuh tahun, tepatnya pada tahun 1963, Syamsul Anwar dimasukkan oleh orang tuanya ke Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) di kampung halamannya Midai, dan tamat dari sekolah tersebut tahun 1968. Di sekolah Syamsul Anwar tidak terlalu tertinggal dalam pelajaran dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Syamsul Anwar termasuk salah seorang murid yang dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan karena itu pula selalu mendapat nilai yang baik.
Setelah duduk di kelas lima, pada tahun 1967 Syamul Anwar masuk Madrasah Muhammadiyah yang diselenggarakan sore hari sehingga sekolahnya dua kali, sekolah pagi di MII dan sekolah sore di Madrasah Muhammadiyah. Di madrasah sore inilah Syamul Anwar mulai belajar pengetahuan agama secara lebih intensif kepada beberapa guru yang sebagiannya lulusan dari Mekah dan sebagian lain dari Thawalib Padang Panjang. Mata pelajaran meliputi bahasa Arab, fikih, hadis, tafsir, tarikh dan tulisan Melayu (tulisan bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Arab).[18]
Tamat dari MII pada tahun 1968, Syamsul Anwar pada tahun 1969 meneruskan pelajaran ke Sekolah Menegah Pertama Negeri (SMPN) di kampung halamannya. Namun Syamsul Anwar hanya beberapa bulan saja belajar di sekolah tersebut. Syamsul Anwar kemdudian meninggalkan kampung halaman dan berangkat ke Tanjung Pinang di mana ia masuk Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Di sekolah ini ia belajar selama enam tahun sampai tamat kelas enam pada tahun 1974.[19]
Selama belajar di Tanjung Pinang, Syamsul Anwar banyak memanfaatkan waktunya untuk menambah pelajaran di luar sekolah formal. Antara lain ia mengikuti pelajaran privat bahasa Arab kepada beberapa guru dan ustaz. Di antara yang paling banyak kontribusinya adalah Ustaz Abu Bakar Ali (w. 1981). Syamsul Anwar mengunjungi ustaz ini setiap minggu secara rutin, dan karena ketekunan serta kesungguhan yang diperlihatkan Syamsul Anwar dalam belajar bahasa Arab, sang ustaz merasa amat senang dan memberikan fasilitas pelajaran apa saja terutama meminjaminya buku-buku bacaan berbahasa Arab untuk menunjang pelajaran dan mempercepat pengembangan kosakata. Sang ustaz tidak memberikan pelajaran kepada Syamsul Anwar di rumahnya, melainkan di sebuah surau kecil miliknya di Kampung Bakar Batu, tidak jauh dari rumahnya. Ustaz ini selain berprofesi sebagai dai yang banyak berdakwah di tengah masyarakat, ia pada waktu itu juga adalah Ketua Pengadilan Agama Tanjung Pinang. Ia belajar di sekolah Arab di Singapura dan Malaysia serta sangat lancara berbahasa Arab. Ia memberi pelajaran bahasa Arab kepada Syamsul Anwar secara privat dengan menggunakan bahasa Arab dengan metode yang sangat efektif. Bahkan di luar pelajaran pun sang ustaz berbicara dalam bahasa Arab kepada Syamsul Anwar sekalipun di depan tamu-tamu penting. Dengan demikian, ketika tamat PGAN 6 Tahun Tanjung Pinang Syamsul Anwar telah mampu berbahasa Arab[20]dan membaca kita Arab.[21]
Syamsul Anwar juga aktif mengikuti kegiatan sekolah terutama di bidang olahraga. Ia adalah salah seorang anggota tim pemain sepak bola sekolah yang kerap ikut serta dalam pertandingan pada berbagai event, juga dalam pertandingan persahabatan dengan berbagai klub sepakbola seperti persatuan olahraga PN Aneka Tambang, persatuan sepak bola Angkatan Laut dan lain-lain. Syamsul Anwar juga tidak ketinggalan dalam aktifitas dakwah. Melalui pelajaran ekstra kurikuler dan keaktifan dalam Seksi Ubudiyah dalam organisasi intra sekolah, Syamsul Anwar berkesempatan belajar cara-cara berpidato dan khutbah. Sejak kelas 5 (PGAN 6 Tahun) ia telah sering melakukan kegiatan tablig dalam bentuk ceramah, pengajian dan khutbah.[22]
Setelah enam tahun tinggal di Tanjung Pinang dan meninmba pengetahuan menengah di kota tersebut, Syamsul Anwar pada akhir tahun 1974 berangkat menuju Yogyakarta untuk meneruskan kuliahnya di kota Gudeg ini. Pilihannya dijatuhkan ke kota Yogyakarta sebagai tempat melanjutkan pelajaran tidak lepas dari saran beberapa gurunya ketika di PGAN Tanjung Pinang yang sebagian adalah tamatan Yogyakarta. Atas dorongan guru bahasa Arabnya Ustaz Abu Bakar Ali, Syamsul Anwar masuk Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga pada awal tahun 1975. Pada tahun 1978 ia memperoleh gelar Sarjana Muda. Kemudian pada tahun itu juga ia melanjutkan studi pada tingkat doktoral dengan mengambil Jurusan Pidana dan Perdata Islam dan lulus pada tahun 1981 dengan skripsi berjudul “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Islam.”[23]
Selain dari mengikuti kuliah di kampus, Syamsul Anwar juga mengikuti berbagai pelajaran tambahan di luar kampus. Sejak pertama kali sampai di Yogyakarta ia mengikuti kursus pendidikan kader yang diselenggarakan oleh Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS) pada tahun 1975. Tahun berikutnya ia ikut serta menjadi pengurus PKMS sebagai Ketua Seksi Bahasa Arab. Selain itu Syamsul Anwar masih mengikuti pelajaran bahasa Arab privat kepada salah seorang dosen IAIN Sunan Kalijaga yang mahir berbahasa Arab, yaitu Ali Abu Bakar Basalamah (w. 1997). Ia secara rutin mendatangi rumah sang guru setiap minggu. Sedangkan pelajaran tambahan bahasa Inggris diikuti pada beberapa tempat kursus di Yogyakarta. Ia juga pernah mengikuti kursus bahasa Perancis di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta.[24]
Pendidikan Strata 2 (S-2) diselesaikan Syamsul Anwar di Jurusan Akidah dan Filsafat Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1991 dengan menulis tesis berjudul “Konsep Negara dalam Dunia Melayu: Kajian terhadap Pemikiran Ali Haji,” dibawah bimbingan Prof. Dr. H. A. Mukti Ali. Selain kuliah di S-2 IAIN Sunan Kalijaga, Syamsul Anwar juga mendapat beasiswa bersama sejumlah 13 orang dosen IAIN se-Indonesia lainnya untuk belajar di Universitas Leiden tahun 1989-1990. Untuk itu Syamsul Anwar harus belajar bahasa Belanda secara super intensif di Pusat Kebudayaan Belanda “Erasmus Huis” Keduataan Besar Belanda di Jakarta selama satu semester. Setelah itu berangkat ke Belanda untuk uliah di Universitas Negeri Leiden. Namun untuk memperlancar bahasa Inggris oleh Universitas Leiden dikirim ke School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas London di London selama dua bulan (Juli-Agustus 1989).[25]
Di Leiden Syamsul Anwar mengikuti kuliah dalam bidang Islamic Studies yang diberikan oleh sejumlah spesialis Islamic Studies di kota tersebut. Antara lain Prof. Dr. C. Van Dijk, Dr. Johannes den Heijer, Dr. Nico Kaptein. Selain itu juga ada kuliah-kuliah dari dosen tamu seperti Dr. G.H.A Juynboll, Dr. P.S. ban Koningsveld, serta para ahli dari negeri-negeri muslim sendiri. Selain mengikuti kuliah Syamsul Anwar juga melakukan penelitian untuk tesis masternya di IAIN. Oleh INIS selaku sponsor, untuk penelitian guna penyusunan tesis di Leiden ini ditunjuk Prof. Dr. C. Van Dijk selaku supervisor.[26]
Pendidikan S-3 diselesaikan pada tahun 2001 di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dalam bidang hukum Islam dengan disertasi berjudul “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustaṣfā Karya al-Gazzalī.” Disertasi ini sebagian ditulis di Hartford, Connecticut, pada tahun 1997 di mana Syamsul Anwar pada tahun itu mendapat kesempatan mengikuti Sandwich Program dalam rangka studi agama-agama di Hartford Seminary. Kesempatan ini digunakannya untuk mengumpulkan bahan dan menulis disertasi. Sebagian lagi ditulis di Jakarta karena Syamsul Anwar secara sengaja beruzlah selama delapan bulan ke IAIN Jakarta pada tahun 1998 untuk menyelesaikan penulisan disertasi. Penulisan disertasi ini berada di abwah bimbingan Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika dan Dr. H. Satria Effendi M. Zein.[27]
Pekerjaan. Setelah menyelesaikan kuliah Sarjana Lengkap, Syamsul Anwar diterima sebagai dosen di Fakultas Syariah tempatnya belajar sebelumnya. Pekerjaan ini sesuai dengan minatnya yang menyenangi pekerjaan dalam pengembangan ilmu dan kegiatan pendidikan. Minat ini telah tertanam pada dirinya sejak bersekolah di PGAN Tanjung Pinang. Ia diangkat pertama kali pada tanggal 1 Maret 1983 sebagai Asisten Ahli Madya. Semula ia berkeinginan untuk menjadi dosen di IAIN Susqa Pekanbaru. Akan tetapi ketika sedang memproses lamarannya, ia menerima panggilan dari almamaternya untuk menjadi tenaga pengajar di sana. Ia memilih untuk ke Yogyakarta dengan alasan kota ini adalah kota budaya dan pendidikan sehingga dengan demikian minatnya dalam pengembangan ilmu dan mengabdikannya melalui pendidikan dapat direalisasikan dengan baik.[28]
Sebagai dosen Syamsul Anwar mengambil spesialisasi dalam ilmu usul fikih. Namun ia juga memberi perhatian besar dalam bidang fikih, khususnya muamalat dengan beberapa cabangnya. Ia berpandangan bahwa penguasaan ilmu usul fikih, sebagai teori dan metodologi hukum Islam, akan tidak banyak berguna apabila tidak diikuti dengan penguasaan salah satu cabang hukum substantif Islam sebagai arena penerapan teori dan metodologi usul fikih.[29]
Karir sebagai tenaga edukatif dijalani oleh Syamsul Anwar dengan tekun hingga akhirnya ia mencapai jenjang kepangkatan akademik tertinggi dalam pekerjaan tersebut, yaitu sebagai guru besar terhitung sejak 1 Oktober 2004. Untuk pengukuhan guru besarnya, pada tanggal 26 September 2005 Syamsul Anwar menyampaikan pidato ilmiah berjudul “Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syariah dengan Pendekatan Usul Fikih.”[30]
Sebagai dosen Syamsul Anwar tidak hanya mengajarkan ilmu yang dimilikinya di Fakultas Syariah tempat ia menjalankan tugas pokoknya. Menurutnya, mengajar di luar perguruan tinggi tempat tugas pokok dijalankan akan memberi tambahan wawasan melalui kontak dengan para mahasiswa dan sivitas akademika dari tradisi perguruan tinggi yang berbeda. Oleh karena itu, di samping memberikan kuliah di fakultasnya sendiri, ia juga memberikan kuliah di sejumlah perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.[31]Di samping menjalankan tugas pokok sebagai tenaga edukatif Syamsul Anwar juga pernah melaksanakan tugas-tugas tambahan (administratif) di lingkungan UIN Sunan Kalijaga, di mana salah satunya ialah menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, terhitung sejak 1 September 1999 s/d 31 Agustus 2003.[32]
Pengalaman. Syamsul Anwar di samping sibuk dengan kegiatan mengajar sebagai tugas pokok, juga sibuk dengan kegiatan-kegiatan ilmiah dan sosial. Ia banyak mengikuti seimnar, simposium, lokakarya atau sejeninsnya pada tingkat lokal, nasional atau internasional, baik sebagai perserta maupun sebagai pemateri. Ia juga menjadi salah seorang Project Leaders (bersama Prof. C. Van Dijk) untuk sub project ‘The Traditional Religious Authority: Ulama and Fatwa’ dari Program “Islam in Indonesia: Dissemination of Religious Authority in the 20th century” yang merupakan program penelitian bilateral dan salah satu dari lima priority programme yang dijalankan [1 Januari 2001 – 31 Desember 2005] dalam rangka Scientific Programme Indonesia-Netherlands (SPIN) di bawah tangggung jawab Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (KNAW). Selain itu Syamsul Anwar juga merupakan salah seorang pakar Majelis Bahasa Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia (MABBIM) yang aktif mengikuti kegiatan institusi tersebut.[33]
Kegiatan sosial juga merupakan bagian dari kesibukan Syamsul Anwar. Pengalaman yang berkesan baginya dalam kaitan ini adalah mengikuti kegiatan dialog dan amal bakti pemuda agama se-dunia pada bulan Juli dan Agustus 1988 di Spanyol. Diberi nama Religious Youth Service (RYS), kegiatan ini disponsori oleh International Religious Fondation yang berkedudukan di New York. Program ini diselenggarakan pada musim panas setiap tahun.[34]
Dengan melibatkan 150 pemuda dari 40 negara yang mwakili 13 agama dan dengan latar belakang yang amat beragam, program Religious Youth Service yang diikuti Syamsul Anwar ini menyediakan suatu forum bagi pemuda-pemuda agama untuk melakukan interaksi dan mencari titik temu di dalam keragaman kultur dan perbedaan agama yang mereka miliki. Program dalam kegiatan ini meliputi kuliah dan diskusi tentang agama-agama dan tentang kebudayaan Spanyol tempat acara diselenggarakan, bakti sosial dan rekreasi. Bakti sosial dan rekreasi ini dimaksudkan sebagai forum dialog non-verbal yang langsung dalam bentuk aksi. Dari situ diharapkan bagaimana para peserta dapat membinan kerja sama yang baik sekalipun berbeda latar belakang agama dan budaya, bagaimana bertenggang rasa terhadap orang lain yang bertindak menurut kebiasaan dan kepercayaan agamanya yang berbeda, dan juga bagaiamana para peserta dapat mengenali secara lebih dekat dan langsung bermacam-macam agama yang mungkin selama ini tidak dikenalnya dengan baik.[35]
Bagi Syamsul Anwar keterlibatan dalam program ini memberikan suatu wawasan baru dalam konteks upaya bagaimana membina semangat toleransi dan membangun dialog konstruktif antara penganut agama-agama. Ini adalah langkah awal bagi Syamsul Anwar dalam pengalamannya di bidang dialog antar agama. Langkah awal ini dilanjutkannya dengan studi hubungan Islam-Kristen di Hartford Seminary pada tahun 1997. Selama hampir satu tahin di Hartford, AS, Syamsul Anwar selain mengikuti perkuliahan mengenai berbagai teologi dan agama, ia juga terlibat dalam banyak acara-acara dialog langsung yang mirip dengan kegiatan RYS di atas, meskipun waktunya lebih singkat. Sebagai hasil dari ini semua ia menulis “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations: Toward a Reinterpretation.”[36]
Kegiatan sosial keagamaan dijalani Syamsul Anwar melalui keterlibatannya di dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. ia bergabung dengan institusi ini sejak tahun 1986 ketika pertama kali ia menjadi anggota pengurus Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah DIY. Pada periode 1990-1995, ia masuk dalam kepengurusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat sebagai wakil sekretaris [Ketuanya adalah Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman]. Pada periode berikutnya tahun 1995-2000, ia menjadi Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di mana Ketuanya adalah Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah. Kemudian ia dipercayai untuk menjadi Ketua untuk masa kepengurusan 2000-2005, 2005-2010[37]dan 2010-2015.
Di saat menjadi Ketua inilah Syamsul Anwar mulai mendalami lebih jauh ilmu falak Syar’i dan mulai menelurkan banyak pemikiran yang ia tuangkan dalam buku, artikel dan sebagainya.[38]
Perkenalan Syamsul Anwar dengan ilmu falak syar’i dimulai ketika ia menjadi mahasiswa S-1 Fakultas Syariah di IAIN sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketika itu ilmu ini menjadi salah satu rangkain mata kuliah pada program studi yang di ambil Syamsul Anwar. Dosen yang mengajari Syamsul Anwar ilmu falak saat itu adalah Ustaz Drs. H. Abdur Rahim (1935-2004) (ahli falak Muhammadiyah) dan Drs. H. Marwazi NZ (w. 2010) selama dua semester. Setelah menyelesaikan program S-1, Syamsul Anwar tidak pernah berinteraksi kembali dengan ilmu ini, karena memang setelah itu ia memilih untuk mengambil spesifikasi ilmu usul fikih.[39]
Layaknya manusia biasa, setelah sekian lama tidak pernah berinteraksi dengan suatu disiplin ilmu tertentu, pasti akan banyak pengetahuan dari ilmu tersebut yang terbenam meski dulu telah didapatkan. Hal ini berlaku juga pada Syamsul Anwar. Setelah begitu lama tidak pernah membuka kembali ilmu ini banyak pengetahuan yang didapat Syamsul Anwar terkait ilmu tersebut yang dulunya ia kuasai menjadi lupa. Berkecimpungnya Syamsul Anwar di Muhammadiyah, khususnya di Majelis Tarjih, membuatnya termotivasi untuk kembali mendalami ilmu yang hampir ia lupakan ini. Motivasi tersebut semakin kuat setelah ia diamanahi sebagai Ketua Majelis Tarjih. Syamsul Anwar menyadari bahwa sebagai Ketua Majelis Tarjih, ia harus turut bertanggung jawab atas segala macam persoalan yang dihadapi masyarakat, di mana salah satu masalah yang sering muncul adalah masalah-masalah yang penyelesaiannya mau tidak mau harus menggunakan perangkat yang terdapat dalam ilmu falak ini, seperti masalah perbedaan dalam mengawali Ramadan dan perbedaan hari raya. Amanah ini menjadi dorongan paling kuat bagi Syamsul Anwar untuk mau membuka kembali buku-buku dan literatur-literatur astronomi, khususnya yang terkait dengan ilmu falak syar’i. Bahkan khusus untuk mengasah kembali dan memperlancar kemampuan dalam metode perhitungan, ia tidak malu-malu untuk duduk bersama dengan Thalabah PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) mengikuti kuliah Ilmu Falak yang diampu oleh Ustaz Drs. H. Oman Fathurrahmaman SW, M. Ag. (lahir 1957), ahli falak Muhammadiyah yang terkenal itu.[40]Padahal saat itu ia telah menjadi seorang Guru Besar.[41]
Diakui Syamsul Anwar ada tiga guru yang sangat berperan dalam pengembangan keilmuannya dalam bidang ilmu falak, khususnya dalam hal metode perhitungan, yaitu dua dosennya ketika menjadi mahasiswa: Ustaz Drs. H. Abdur Rahim dan Ustaz Drs. H. Marwazi NZ, dan satu guru lagi yang ia belajar darinya bersama Thalabah PUTM yaitu Ustaz Drs. H. Oman Fathurrahman SW, M. Ag. Adapun dalam hal pengembangan wacana dan pemikiran, Syamsul Anwar mengembangkannya dengan cara memperbanyak bacaan literatur-literatur astronomi dari berbagai bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa Arab.[42]
Karya Terjemahan
1) Islam, Negara dan Hukum (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1993). Karya ini diterjemahkan dari kumpulan makalah yang menjadi bahan kuliah beberapa spesialis Islam di Kairo untuk ININ fellows tahun 1990 di mana Syamsul Anwar adalah salah seorang dari mereka. Makalah-makalah ini belum pernah diterbitkan, bahkan beberapa darinya masih dalam bentuk tulisan tangan.
2) “Pentingnya Megetahui Latar Belakang Historis dan Tradisi Masyarakat Arab oada Waktu Turunnya al-Qur’an daalam Penafsiran,” Asy-Syir’ah, no. 4, Th. XII (1984), h. 24-31. Tulisan ini diterjemahkan dari Al-Muwāfaqāt karya asy-Syāṭibī, masalah pertama dari “aṭ-ṭarf aṡ-ṡānī min kitāb al-adillah.”
3) “Filsafat dan Syari’ah dalam Pemikiran Ibnu Rusyd,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 51 (1993), h. 66-80. Tulisan ini diterjemahkan dari “al-Ḥikmah wa asy-Syarī’ah ‘inda Ibn Rusyd,” salah satu judul dalam buku Majid fakhry, Dirāsāt fī al-Fikr al-‘Arabī.
4) “Ke Arah Islamologi Terapan,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 53 (1993), h. 65-80. Tulisan ini diterjemahkan dari tulisan Mohammed Arkoun, “Ḥaula al-Antrūbūlūjī ad-dīniyyah: Naḥwa Islāmiyyah Taṭbīqiyyah.”
5) “Konsep Otoritas dalam Pemikiran Islam,” Asy-syir’ah, no. 4 (1996), h. 71-93. Karya ini diterjemahkan dari tulisan Mohammed Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought: La Hukma illa Lillah.”
6) “Penetapan Bulan Ramadan dan Pembahasan tentang Penggunaan Hisab,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 87-93. Tulisan ini diterjemahkan dari tulisan Muḥammad Rasyīd Riḍa berjudul “Iṡbāt Syahri Ramaḍān wa Baḥṡ al-‘Amal fīhi wa Gairihi bi al-Ḥisāb” dalam Jurnal al-Manār, vol. 1, no. 28, tanggal 28 Syakban 1345 H bertepatan dengan 3 Maret 1927.
7) “Tentang Penentuan Hilal dengan Hisab pada Zaman Sekarang,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 95-123. Tulisan ini diterjemahkan dari salah satu artikel Muṣṭafā Aḥmad az-Zarqā berjudul “Ḥaula Iṡbāt al-Hilāl bi al-Ḥisāb al-Falakī fī Hāża al-‘Aṣr” yang diterbitkan dalam bukunya Al-‘Aql wa al-Fiqh fī Fahmi al-Ḥadīṡ an-Nabawī.8) “Rukyat Hilal Untuk Menentukan Bulan,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 125-142. Tulisan ini diterjemahkan dari tulisan Yūsuf al-Qaraḍāwī yang berjudul “Ru’yah al-Hilāl li Iṡbāt asy-Syahr,” dalam bukunya Kaifa Nata’āmal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah: Ma’ālim wa Ḍawābiṭ.
9) Kalender Kamariah Islam Unifikatif: Satu Hari Satu Tanggal di Seluruh Dunia (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013). Buku ini terjemahan dari buku At-Taqwīm al-Qamarī al-Islāmī al-Muwaḥḥad karya Jamāluddīn ‘Abd Rāziq.
Karya Asli
Tentang teori dan metodologi hukum Islam serta epistemologi
1) “Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam,” Al-Mawarid, no. 1 (September-Desember 1993), h. 12-19.
2) “Epistemologi Hukum Islam: Probalitas dan Kepastian,” dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), h. 71-84.
3) “Ke Arah Epistemologi Integratif: Mencari Arah Pengembangan Keilmuan dalam rangka Pemekaran IAIN,” dalam M. Amin Abdullaah dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), h. 46-56.
4) “Beberapa Hal Tentang Manhaj Tarjih dan Pemikiran Keislaman dan Muhammadiyah,” dalam Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi & Dinamisasi, diedit oleh Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas (Yogyakarta: MT-PPI Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan PPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2000), h. 27-42.
5) “Teori Konformitas dalam Penemuan Hukum Islam al-Gazzali,” dalam M. Amin Abdullah, dkk (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, Desember 2000), h. 273-291.
6) “Pengembangan Metode Ilmu Syari’ah,” Profetika, vol. 4, no. 1 (Januari 2002), h. 123-126.
7) “Argumentum a Fortiori dalam Penemuan hukum Islam,” Sosio-Religia, vol. 1, no. 3 (Mei 2002), h. 1-16.
8) “Teori Hukum Islam al-Gazzali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Syariah,” dalam H. M. Amin Abdulah, dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalamm Era Multikultural(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga/Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 189-209.
9) Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam,” Islam Futura, vol. 2, no. 2 (Januari 2002), Banda Aceh, h. 119-131.
10) “Kontribusi Ahli-ahli Usul fiki dalam Pengembangan Studi Hadis,” Profetika, Jurnal Studi Islam Program MSI-UMS, vol. 5, no.1, Januari 2003, h. 104-119.
11) Dalālah al-Khāfī wa Āliyyāt al-Ijtihād: Dirāsah Uṣūliyyah bi Iḥālah al-Khāṣṣah ilā Qaḍiyyah al-Qatl ar-Raḥīm,”Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, vol. 41:1 (2003), h. 153-170.
12) “Argumen A Contrario dalam Metode Penemuan Hukum Islam,” Asy-Syir’ah, vol. 38, no. II (Juni-Desember 2004).
13) “Manhaj Tajdid/Ijitihad dalam Muhammadiyah,” dalam Mifedwil Jandra – M. Safar Nasir, Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan UAD Press, 2005, h. 63-81.
14) Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: Grafindo Persada, 2007 & 2010).
15) “Āliyyāt Iktisyāf al-Aḥkām asy-Syar’iyyah wa Tagayyuruhā: Dirāsah Uṣūliyyah bi Isyārah Khāṣṣah ilā Isykāliyyāt at-Taqwīm al-Islāmī,” akan terbit 2015.
Hukum Substantif (Fikih)
1) “Al-Mawardi dan Teorinya tentang Khilafah,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 35 (1987), h. 16-34.
2) “Masalah Wanita Menjadi Pemimpin dalam Perspektif Fiqih Siasah,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 56 (1994), h. 35-43.
3) “Sistem Politik Islam dalam Sejarah,” Suhuf, no. 2, Th. IV (1992), h. 53-58.
4) “Petuah Ali haji (1809-1972): Kajian tentang Thamrah al-Muhimmah,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 62/XII (1998), h. 139-153.
5) “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Menggali Perspektif Syar’i dalam Tarjih Muhammadiyah,” dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed.), Wacana Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah (Yogyakarta-Jakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam-Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2005), h. 47-58.
6) “Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah: Kodifikasi Hukum Perdata Islam Pertama,” Asy-Syir’ah, (1989).
7) “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Sunnah Nabi,” Asy-Syir’ah, no. 3, Th. XV (1992), h. 13-26.
8) “Tempat dan Saat Lahirnya Perjanjian menurut Hukum Islam,” Asy-Syir’ah, no. 5 (1999), h. 103-120.
9) “Hukum Perjanjian dalam Islam: Kajian Terhadap Masalah cacat Kehendak (Wilsgebreken),” Jurnal Penelitian Agama, no. 21, Th. VIII, Januari-April 1999, h. 87-106.
10) “Teori Kausa dalam Hukum Perjanjian Islam: Suatu Kajian Asas Hukum,” Jurnal Penelitian Agama, vol. XI, no. 2 (Mei-Agustus 2002), h. 179-195.
11) “Permasalahan Produk Bank Syari’ah: Studi tentang Bai’ Mu’ajjal,” Jurnal Penelitian Agama, no. 23, Th. VIII (september-Desember, 1999), h. 106-131.
12) “Al-Maṣārif al-Islāmiyyah wa al-Qānūn al-Maṣrifi fī Indūnisī,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, vol. 39:2 (Juli-Desember 2001), h. 461-500.
13) “Percepatan Perkembangan Bank syariah di Indonesia: Kenapa Harus,” Jurnal Tarjih, edisi ke-4 (Juli 2002), h. 62-69.
14) “Qawānīn al-Aḥwāl asy-Syakhṣiyyah fī Indūnisī,” Mukaddimah, no. 13, Th. VIII (2002), h. 58-77.
15) “Seni dalam Perspektif Islam,” dalam Jarochim dan Saudi Berlian (ed.), Islam dan Kesenian (Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan, 1995), h. 199-213.
16) “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations: Toward a Reinterpretation,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 60 (1997), h. 199-213.
17) “Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam,” Asy-Syir’ah, no. 6 (1999), 80-98.
18) “Profesionalisme dalam Perspektif Hukum Islam,” dalam Sjafri Sairin, dkk., Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: LPTP-PP Muhammadiyah, 2003), h. 25-36.
19) “Fatwa, Purification and Dynamization: A Study on Tarjih in Muhammadiyah,” Islamic Law and Society, vol. 12, no. 1 (2005), h. 27-44.
20) Studi Hukum Islam Kontemporer (Yogyakrta: RM Books, 2007).
21) Salat Tarawih: Tinjauan Usul Fikih, Sejarah, dan Fikih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013).
Hadis
1) “Uṣūl at-Takhrīj: Teknik-Teknik Pelacakan Hadis,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 49 (1992), h. 81-102.
2) “Manhaj Tauṡīq Mutūn al-Ḥadīṡ ‘inda Uṣūliyyī al-Aḥnāf,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, no. 65/VI (2000), h. 132-166.
3) “Kontribusi Ahli-ahli Usul Fikih dalam Pengembangan Studi Hadis,” Profetika, Jurnal Studi Islam Program MSI-UMS, vol. 5, no. 1, Januari 2003, h. 104-119.
4) “Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadis,” Hermeneia, vol. 4, no. 1 (Januari-Juni 2005), h. 106-131.
5) Tambahan Wa Barakātuh dalam Salam Penutup Salat: Studi tentang Hadis Wā’il ibn Ḥujr (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010).
6) Rekonstuksi Perjalanan Haji Nabi saw (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012).
Hisab-Rukyat
1) Hari Raya & Problematika Hisab-Rukyat (Yogyakrta: Suara Muhammadiyah, 2008).
2) “Kontoversi Hisab dan Rukyat,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah, edisi ke-2 (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2009), h. 1-20.
3) “Problem Penggunaan Rukyat,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah, edisi ke-3 (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 1-26.
4) “Alasan Penggunaan Hisab,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah, edisi ke-3 (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 27-50.
5) “Tentang Hadis Estimasi dan Istikmal,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah, edisi ke-3 (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 51-60.
6) “Bulan Sinodis dan Beberapa Pengetahuan Populer tentang Hisab-Rukyat,” dalam Ridā, dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadlan, Syawwal dan Dzulhijjah, edisi ke-3 (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2012), h. 61-86.
7) Interkomeksi Studi Hadis dan Astronomi (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011).
8) “Al-Jawānib asy-Syar’iyyah wa al-Fiqhiyyah li Waḍ’ at-Taqwīm al-Islāmī,” Al-Jāmi’ah: Journal of Islamic Studies, vol. 46, no. 2, 2008/1429, h. 457-478.
9) “Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-hadis Rukyat,” Jurnal Tarjih, Volume 11 (1) 1434 H / 2013 M, h. 113-130.10) Terjemahan karya Jamāluddīn ‘Abd ar-Raziq, Kalender Kamariah Islam Unifikatif: Satu Hari Satu Tanggal di Seluruh Dunia(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013).
11) Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014).
Selain karya-karya seperti tersebut di atas, masih banyak karya lain dari Syamsul Anwar yang belum atau tidak diterbitkan, berupa penelitian individual sebagai dosen, makalah-makalah yang dipresentasikan dalam berbagai seminar dan lain sebagainya.
Pemikiran-Pemikiran Syamsul Anwar Dalam Bidang Ilmu Falak
Kontekstualisasi Pemahaman Hadis-Hadis tentang Rukyat
Ada sejumlah hadis yang sering dijadikan dasar untuk melegitimasi perintah rukyat. Hadis-hadis tersebut ialah:
Terima kasih atas artikel yang bpk bagi, kami termaksud saya yang telah membaca artikel ini mendapatkan banyak sekali pemahaman bari tentang Hisab. Smoga artikel ini juga bs memberikan bnyak pemahan bagi para pembacanya. Dan saya menunggu artikel lainnya tentang hidab dan bukan hanya hisab, tp tentang ajaran2 Islam lainnya.
Salam sy, Fitri yogyarti arifat