Santri Cendekia
Home » Syarah HPT: Mengenal Jabbariyah

Syarah HPT: Mengenal Jabbariyah

Matan HPT

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

 

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah (Penjelasan):

Kata Kunci: الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (Kelompok yang selamat)

Di atas telah kami sebutkan mengenai awal perpecahan umat Islam yang bermula dari persoalan politik. Perpecahan tersebut semakin meruncing pasca terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib ra.  Pada akhirnya, umat Islam terpecah menjadi banyak golongan dan friksi. Setiap kelompok mengklaim paling benar dan menggunakan Qur’an dan hadis nabi sebagai justifikasi kebenaran.

Di antara kelompok tersebut adalah aliran Jabbariyah, yaitu kelompok atau friksi yang muncul pada masa Khilafah Bani Umayyah. Tokoh dibalik aliran ini diantaranya adalah al-Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi  (meninggal tahun 128 H). Dia berasal dari Khurasan dan muncul pada abad kedua Hijriyah.

Kelompok ini berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan berkehendak (ikhtiyâr). Perbuatan manusia seluruhnya, baik berupa gerak dalam organ tubuh seperti detak jantung dan desah nafas, atau perbuatan manusia yang seakan merupakan kehendak manusia, seperti makan, minum, melakukan suatu pekerjaan tertentu dan lain sebagainya merupakan kehendak Allah semata. Semua perbuatan tersebut dinisbatkan kepada manusia hanya bersifat metafor saja.

Banyak kalangan yang menyandarkan bahwa pendapat yang menyatakan mengenai perbuatan manusia atas kehendak Allah, disandarkan dari sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan. Tujuannya adalah untuk memberikan legitimasi mengenai keabsahan politik kekuasaannya. Hal ini karena prinsip dasar pengangkatan seorang pemimpin (khalifah atau Imam) dalam Islam sesungguhnya dengan cara pemilihan dan transaksi politik antara pemerintah dengan rakyat (baiat).

Dua syarat tadi, yaitu pemilihan melalui ahlul halli wa aqdi melalui sistem syura, dan pengakuan rakyat dengan mendapatkain baita mereka, dua hal tadi tidak dimiliki oleh Bani Umayyah. Benar bahwa Umayyah bin Abi Safyan bisa berkuasa penuh setelah Hasan bin Ali ra menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah. Namun itu bukan dengan jalan musyawarah. Hasan menyerahkan kepemimpinan, karena beliau tidak ingin dalam dunia Islam, ada dua kepemimpinan di dunia Islam. Beliau ingin persatuan dengan menanggalkan kekuasaannya dan agar umat Islam hanya punya satu orang pemimpin saja.

Baca juga:  Syaikh Ali Jum'ah; Syiah itu Bermasalah

Lebih dari itu, Bani Umawiyah merubah pemerintahan dari sistem syura yang sangat demokratis menjadi sistem monarki yang otoriter. Pengakuan rakyat atas pemerintah yang sedang berkuasa (baiat) dilakukan dengan intimidasi senjata. Cara paling efektif agar kekuasaan dianggap konstitusi adalah dengan menggunakan justifikasi agama. Muawiyah menyatakan bahwa segala aktivitas manusia, termasuk juga kekuasaan yang sedang berada di tangannya adalah mutlak kehendak Tuhan. Terbukti, pada waktu perang sifin, Muawiyah pernah perkatra kepada pasukannya, “Merupakan kehendak Allah kita sampai di daerah ini”.

Ketika hendak mengangkat Yazid sebagai putra mahkota, Muawiyah mengatakan, “Bahwa pengangkatan Yazid merupakan qadha dan qadar dari Allah yang tidak dapat ditolak oleh seorang hamba”. Hanya saja, orang yang dianggap menelurkan dan merumuskan paham ini adalah Jahm bin Shafyan.

Jika kita teliti, ada beberapa konsep Jabbariyah yang mirip dengan prinsip konsep Muktazilah. Barangkali memang ada relasi antara Jahm dengan Washil bin Atha, sebagai pendiri paham Muktazilah. Jahm bin Shafwan hidup semasa dengan Washil bin Atha dan Amru bin Ubaid.

Di antara kesamaan konsep tersebut adalah penafian terhadap sifat Allah serta keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Siapa yang lebiuh dulu mencetuskan pendapat ini, apakah Jahmiyah ataukah Muktazilah, tidak dapat ditelusuri secara pasti. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yaitu, pertama: tidak terdapat keterangan pasti bahwa Jahm pernah bertemu dengan Washil bin Atha’ atau Amru bin Ubaid, meski Jahm sendiri pernah datang dan tinggal di Kuffah cukup lama.

Namun Jahm sempat bertemu dengan Al-Ja’du bin Dirham, yang dianggap sebagai orang pertama yang menafikan sifat dan kalam Tuhan. Al-Ja’du bin Dirham pernah mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak mengambil Ibrahim sebagai khalilnya dan Tuhan juga tidak pernah berbicara dengan Musa”. Ibnu Murtadha mengatakan bahwa Washil pernah mengutus Khafsh bin Salim ke Khurasan. Ia sempat tinggal di kawasan Termuz dan sering berada di Masjid. Ia pun akhirnya menjadi orang yang cukup ternama di daerah Khurasan. Ia pernah berdebat dengan Jahm konon Jahm kalah dalam berargumentasi.

Baca juga:  Syaikh al-Azhar; Asyariyah Tidak Mengkafirkan Syiah, Ibadiyah dan Zaidiyah

Pernyataan tersebut  memberikan indikasi mengenai keterkaitan antara Jahm dengan Washil bin Atha’. Jahm mengetahui pemikiran Washil bin Atha’ melalui utusan atau santri yang diutus Washil ke Khurasan dan melalui surat menyurat secara pribadi antara Jahm dengan Washil.

Kedua, Muktazilah secara tegas mengingkari bahwa Jahm adalah pengikutnya. Ini dapat dibuktikan karena dalam kitab-kitab Muktazilah tidak pernah menyebutkan Jahm sebagai salah satu ulama Muktazilah. Bahkan sebagian pengikut Muktazilah menyerang wacana dan pemikiran Jahm.

Menurut ibnu Taimiyah bahwa Muktazilah mengambil pendapat mengenai penafian terhadap sifat Tuhan dari Jahm. Dari situ, ia mengatakan bahwa setiap Muktazliah pasti Jahmiyah, namun tidak semua Jahmiah sebagai Muktazilah. Hanya perbedaannya, Jahm lebih radikal dibandingkan dengan Muktazilah. Jahm tidak hanya menafikan sifat Tuhan, namun juga menafikan asmaallah.

Kemungkinan besar Muktazilahlah yang mengadopsi pemikiran Jahm, namun kemudian Muktazilah mengembangkan pemikiran tersebut dengan didasari berbagai argumentasi secara logis. Hal ini dikarenakan, keberadaan Jahm sedikit lebih awal dibandingkan dengan Muktazilah. Selain itu, argumentasi yang digunakan Muktazilah dalam menafikan sifat Tuhan mirip dengan argumentasi yang digunakan Jahm, yaitu penggunaan akal sebagai penguat dalil.

Meski demikian, ini tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan seputar permasalahan qadha’ dan qadar antara Muktazilah dengan Jahm. Qudrah, irâdah dan ikhtiyâr sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Jahm menganut partai Jabariyah murni. Ia berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat. Manusia tidak memiliki kebebasan kehendak dan keinginan untuk memilih (sifat ikhtiyâriyyah).

Pertanyaannya kemudian adalah, jika manusia tidak memiliki kebebasan berkehendak, berbuat dan memilih, mengapa setiap perbuatan manusia selalu dinisbatkan kepadanya seperti dalam firman Allah berikut:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqarah: 286)

Jika perbuatan manusia bukan merupakan hasil kreasi manusia murni, lalu siapa yang menciptakan perbuatan manusia itu?

Menurut Jahm bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, persis seperti Tuhan menciptakan benda-benda lain di alam raya. Pada dasarnya, setiap perbuatan yang dinisbatkan kepada manusia adalah nisbat secara metafor saja. Karena segala kehendak, keinginan dan perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan.

Jahm menganggap bahwa manusia bagaikan benda-benda yang tidak memiliki daya upaya, kehendak, pilihan dan kemampuan apapun untuk melakukan sesuatu. Di alam raya ini, sesungguhnya tidak terdapat perbuatan apapun selain perbuatan Tuhan. Perbuatan buruk yang dilakukan manusia merupakan ciptaan Tuhan karena manusia tidak dapat menciptakan apapun juga.

Baca juga:  Syaikh Ahmad Thayib: Hati-hati Dengan Bahaya Syiah

Jahm mengibaratkan manusia sebagai bulu yang ditiup angin. Ia akan terbang mengikuti arah angin. Maksudnya adalah bahwa manusia tidak memiliki kehendak, keinginan dan perbuatan. Implikasinya adalah bahwa ketetapan  yang dibebankan pada manusia juga bagian dari kehendak Allah.

Dengan kata lain, perbuatan manusia merupakan abstraksi dari perbuatan Tuhan. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd pernah berkata: “Bagi Jahmiyah, tiap perbuatan manusia sesungguhnya merupakan bentuk kehendak Tuhan, padahal Tuhan telah memberikan beban  (taklîf) kepada manusia, sementara manusia tidak mampu untuk melaksanakannya.

Jika manusia diberi beban yang secara jelas ia tidak mampu, di sini sesungguhnya tidak terdapat perbedaan antara Tuhan memberikan beban kepada manusia dan kepada benda-benda mati lainnya. Sebagaimana benda-benda tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan beban  tersebut, demikian halnya dengan manusia. Ia diperintahkan melaksanakan sesuatu sementara ia tidak mampu.”

Secara jelas, Jahm mengingkari terhadap beban  dan tanggungjawab yang dilimpahkan kepada manusia. Hanya saja dalam tataran praktis, Jahm terkesan tidak konsisten. Jahm masih melakukan dakwah Islam. Bahkan Jahm pernah ikut berperang mengangkat senjata memerangi pemerintahan yang zhalim. Atau barangkali sikap Jahm seperti itu dianggap sebagai bagian dari keyakinannya bahwa keinginannya berdakwah dan memerangi pemerintah yang zhalim merupakan bagian dari kehendak Tuhan.

Selain pemikiran di atas, Jabbariyah memiliki pemikiran yang lain, di antaranya adalah

  1. Syurga dan neraka adalah fanâ’ dan tidak kekal.

Bagi mereka tidak ada yang kekal selain Allah. Sifat kekal tentang syurga dan negara dalam al-Qur’an adalah masa waktu lama yang akan dilalui oleh syurga dan neraka, bukan kekal berarti langgeng untuk selamanya.

  1. Iman menurut mereka adalah pengetahuan, sementara kafir adalah kebodohan. Dari sini mereka menganggap bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen yang mengetahui sifat-sifat nabi dianggap sebagai orang mukmin. Hanya saja, bagi mereka ketundukan pada Tuhan akan mengikuti pengetahuan seseorang tersebut. Iman yang sesungguhnya adalah pengetahuan yang disertai dengan kepercayaan secara kuat dan tunduk terhadap kehendak Allah.
  2. Tuhan tidak memiliki sifat tertentu yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian, mereka mengingkari bahwa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Hidup dan seterusnya. Meurut mereka, segala sifat tersebut hanya layak bagi makhluk, sementara Tuhan sama sekali diluar jangkauan sifat makhluk.
  3. Mereka juga mengingkari rukyatullah pada hari Akhir.

Wahyudi Abdurrahim

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Mantan Ketua PCIM Mesir, Mahasiswa S3 di American Open University Cairo Egypt, dan pengasuh tanyajawabagama.com

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar