Santri Cendekia
Home » Devisa Haram bukan Solusi (At-taubah 28)

Devisa Haram bukan Solusi (At-taubah 28)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا ۚ وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (kotor aqidah), maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah : 28)

 

            Menurut Imam Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbasm “Orang-orang musyrik dulu datang ke Baitullah, membawa makanan yang diperdagangkan. Ketika mereka dilarang mendatangi Baitullah “Janganlah mereka mendekati masjidil haram”, maka muslimin berkata, “dari mana kami akan mendapatkan makanan?”, maka turun susulan ayat ini, “Jika kami khawatir menjadi miskin…”.[1]

         Jika menurut Imam Muhammad bin Ishaq, setelah turun pengharaman tanah suci dari orang-orang musyrikin, muslimin berkata, “pasar kita akan mati, dagangan kita akan merugi, dan kita kehilangan keuntungan yang dulu kita dapatkan” [2]

         Sedangkan najisnya orang-orang musyrik di sini, Ulama berbeda pendapat. Imam Zamakhsyari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa najis di sini adalah seperti najisnya anjing dan babi.[1] Namun menurut Mayoritas Ulama, najis di sini bermakna majazi, atau najis secara aqidah. [1]

          Sedang daerah yang diharamkan untuk orang-orang musyrik, menurut Imam Atha’ dan Mazhab Syafi’I, adalah seluruh tanah haram. Sedangkan menurut Madzhab Maliki, hanya seluruh bagian di dalam area masjidil haram. Sedang Madzhab Hanafi, tidak diharamkan bagi orang musyrik masuk ke tanah haram kecuali jika mereka melakukan Umrah atau Haji. [1]

Baca juga:  Imam Asy-Syafi'i Lemah Dalam Hadits?

        Dalam Ilmu Tafsir, ada kaidah “Al-‘ibroh bi umumil lafadz, laa bi khususil Sabab”. Meski ayat ini turun sebab orang orang muslimin makkah yang takut miskin dan perniagaannya rugi dengan diharamkannya orang musyrik memasuki tanah haram, namun sungguh pengamalan ayat ini bisa sangat luas.

      Misalnya Indonesia ini, Negara yang penduduknya mayoritas islam dan daerah-daerah yang dipimpin oleh pemimpin islam, Namun ternyata masih banyak tempat-tempat maksiat, klub-klub malam, dan hotel-hotel yang sering digunakan untuk aktivitas prostitusi oleh para turis. Jika ditanya alasannya kenapa tidak ditutup dan dilarang, salah satu alasan terkuatnya, “takut bulenya pada gak datang lagi, lalu nanti devisi dan pemasukan daerah/ Negara akan turun”. Subhanallah, itu mental orang islam apa mental orang kafir?

       Saya pernah mendapatkan cerita dari seorang ustad yang baru berkunjung dalam aktivitas relawan ke sebuah pulau di Indonesia yang pernah dipimpin oleh seorang Gubernur dengan gelar akademis syariah yang tinggi, namun di tempat itu ternyata fasilitas maksiat masih menjamur, khususnya tempat-tempat yang dikunjungi oleh para turis. Apa gunanya kita orang islam, lalu kita memegang jabatan, jika kita tidak bisa amar ma’ruf nahi mungkar?

      Perhatikan janji Allah, Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Lihat makkah, apakah setelah orang musyrik dilarang memasuki makkah, makkah menjadi miskin? Tidak, bahkan makkah sudah menjadi tempat yang begitu makmur seperti yang kita lihat sekarang ini.

      Maka tugas kita hanyalah perlu bertaqwa kepada Allah, beriman kepada ayat ini, dan berikhtiar. Ikhtiar sendiri memiliki akar kata yang sama dengan kata khoir, maka ikhtiar adalah usaha-usaha yang ditempuh dan tidak keluar dari koridor syariah. Jika keluar dari koridor syari’ah berarti tak bisa disebut ikhtiar. Sisanya Allah yang akan mencukupkan kita.

Baca juga:  Langkah Penetapan Hukum; Studi Kitab al-Luma dan al-Waraqat

            Ingat juga, bahwa ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan jenis-jenis ujian manusia pada surat Al-Baqarah ayat 155, Allah meletakan rasa takut sebagai ujian yang pertama. Memang pada kenyataannya rasa takut terkadang menjadi ujian yang paling besar dalam hidup manusia. Bahkan rasa takut itu lebih besar dari yang kita takutkan itu sendiri. Ya misalnya dalam konteks pembahasan ini, takut miskin, akhirnya mengijinkan yang haram tetap berjalan. Amar ma’ruf nahi mungkar pun diabaikan. Padahal Allah sampaikan bahwa ujian ujian itu sebagai “syai’in”, bentuk isim nakiroh yang salah satu fungsinya untuk merendahkan/mengecilkan. Mengapa ada kata syai’in di ayat ini?

          Betul bahwa miskin itu menakutkan, tapi itu kecil. Kecil dibandingkan apa? Dibandingkan diri kita melakukan hal haram untuk karena takut miskin, lalu kita mencari pendapatan dari sumber yang haram, dan kelak Allah murka kepada kita. Jika Allah telah murka, maka itulah musibah yang paling nyata untuk kita.

      Dan terakhir, saya berpesan kepada seluruh calon pemimpin yang mungkin di masa depan akan menjadi pemegang kebijakan sebuah daerah atau bahkan Negara. Jangan takut miskin hingga membuat kita membiarkan ahli maksiat bersenang-senang di tempat kita.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad)

 

Allahu a’lam

Referensi:

[1] “Tafsir Al-Munir”, Dr. Wahbah Zuhaili

[2] Tafsir Ibnu Katsir

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar