Santri Cendekia
Home » Talak Ustaz Abdu Somad: Pintu Masuk Evolusi Hukum Perceraian dari Makruh Menjadi Mubah?

Talak Ustaz Abdu Somad: Pintu Masuk Evolusi Hukum Perceraian dari Makruh Menjadi Mubah?

“Saya nggak pernah ya mengurusi kehidupan pribadi para ustadz-ustadz tersebut. Lagian masalah perceraian itu kan hal yang biasa dalam rumah tangga.” ungkap Arie Untung dalam salah satu wawancaranya bersama para jurnalis lambe turah. Siapa yang tidak kenal Arie Untung, salah satu artis hijrah yang menggemparkan jagad perjulidan al-netizen al-Indunisiyyah karena terkenal cerdas dan lawak dalam membawakan acara, sosoknya kini aktif mengikuti segala kajian para ustadz-ustadz viral bahkan kerap menjadi pembicara sebagai testimoni artis hijrah. Jadi sekarang kita akan membahas Arie Untung? Tentunya tidak.

Ustadz Abdu Somad, dai ikonik yang dicintai oleh segala segmentasi masyarakat, baik muda maupun tua, baik jomblo maupun nyaris menjanda. Dialek melayunya yang begitu kental tidak sedikit membawa gelak tawa para mad’u nya, bahkan secara pribadi saya pernah beberapa kali mengikuti kajian beliau di Jogja, rasanya tidak pernah ada pengulangan materi di tiap sesi dakwahnya, selalu ada yang fresh dan menukik untuk dibahas. Tentu berbeda dengan ustadz-ustadz millenial lain yang lebih cocok untuk menduduki posisi motivator dibandingkan da’i: di masjid gedhe cerita tentang ayahnya, maka di masjid al-Furqon Nitikan akan terulang materi tersebut tanpa ada pengurangan suatu kalimat pun.

Tercatat 3 Desember lalu, UAS telah resmi bercerai dengan istri yang pernah dinikahinya pada tahun 2012 lalu, genap 7 tahun sudah bahtera rumah tangga mereka jalin dan darinya kemudian memiliki satu orang anak laki-laki. Siapa yang tidak terperanjat mendengar kabar duka ini, pendakwah idolanya melakukan sesuatu yang dibenci oleh Allah, sudah jelas dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud akan kemakruhan perceraian yang telah masyhur di masyarakat umum. Senada dengan hal itu, da’i kondang lain Tengku Zulkarnaen dalam sebuah tweetnya mengatakan bahwa:

“Cerai bukan sesuatu yang bisa dianggap sebagai AIB, seperti ZINA, atau nonton film PORNO. Nabi Ismail pernah menceraikan istri beliau, atas perintah nabi Ibrahim, bapak beliau. Sayyidina Abu Bakr juga pernah menceraikan salah satu istri beliau. Bung Karno juga pernah bercerai.”

Jadi, sesungguhnya di mana posisi perceraian dalam hukum taklifi syariat Islam? Apa hanya karena kali ini pelakunya adalah seorang ustadz, sehingga netizen begitu bringas untuk mengomentari keburukan perceraian, apakah ustadz bukan manusia? Atau karena dia adalah seorang ustadz, sehingga ramai orang mengatakan bahwa ia tidak pernah salah dan tindakannya dapat menjadi sebuah pengecualian dari ketetapan syariat yang ada? (Maaf kalo ngegass!)

Secara singkat, hadits مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ dan أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ sering dinukil dalam pembahasan fiqh munakahat dengan sub pembahasan perceraian. Menjadi istidlal pokok makruhnya perceraian, padahal seringkali dalam penerapannya masyarakat dibuat bingung tentang kehalalannya yang dimakruhkan. Apalagi jika sudah berbicara masalah pelaku perceraian, dapat menjadi sebuah kewajaran apabila dilakukan oleh artis-asrtis dan menjadi tabu sekaligus aib jika dilakukan oleh tokoh ternama. Beberapa studi penelitian mengenai validitas hadits tersebut telah banyak dilakukan oleh para cendekiawan kampus namun lucunya tidak pernah tersebar secara meluas. Masyarakat lebih memilih untuk konservatif terhadap hukum yang pernah ada, meski ambiguitas masih terjadi di sana-sini.

Baca juga:  [Jurnal] Fatwa di Indonesia: Perubahan Sosial, Perkembangan dan Keberagamaan

KEHUJJAHAN HADITS MURSAL DALAM MANHAJ TARJIH

Pada hadits مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ riwayat Abu Dawud memiliki jalur yang keseluruhan rawinya dinilai kuat namun terjadi perlompatan sanad dari Muhaarib bin Ditsar (tabi’in) langsung kepada Rasulullah saw, dengan begitu kemudian hadits talak riwayat Abu Dawud ini tercatat sebagai hadits mursal shahabi.

Manhaj Tarjih sebagai kunci ushulu fiqh Muhammadiyah memiliki kaidah kehujjahan hadits mursal shahabi dapat dilakukan, apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya. Kenyataannya sanad Ibnu Majah memiliki jalur tabi’in dan tabi’u attabi’in yang serupa dengan jalur Abu Dawud, yakni pada Muhaarib bin Ditsar dan Mu’arif bin Washil

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا مُعَرِّفٌ، عَنْ مُحَارِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ” (رواه أبو داود)

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ، عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ (رواه إبن ماجه)

Meskipun mata rantai Abu Dawud memiliki keterputusan pada elemen sahabat namun perawi Ahmad bin Yunus adalah imam al-Hafidz yang seringkali dipakai oleh Bukhari dan Muslim dan memiliki ta’dil ‘adil dan dhabith. Sedangkan mata rantai Ibnu Majah memang tersambung/muttashil namun terdapat Muhammad bin Khalid yang dinilai Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Hibban sebagai rawi yang kadang salah dalam meriwayatkan hadits. Maka di sini riwayat Ibnu Majah-lah yang berposisi sebagai syahid atau qorinah dari hadits Abu Dawud, dengan begitu kehujjahan hadits Abu Dawud sebagai hadits mursal dapat digunakan pada penerapan syariat.

MENDUDUKKAN KEMBALI TERM MAKRUH PADA TATANAN USHUL FIQH

Hukum makruh dalam teori ushulu fiqh memiliki beragam pengertian, di antaranya menurut (1) Imam Baidhawi, makruh adalah sesuatu yang dihendaki oleh Syari’ untuk ditinggalkan dengan cara yang pasti (2) Imam al-Amadi, makruh adalah keharaman bagi mukallaf, sekalipun itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan tidak dilarang oleh Syari’ secara tegas, namun ketika hak makruh tetap dijalankan tidak ada hukuman bagi mukallaf karena adanya keraguan di dalam hukum tersebut. (3) as-Syatibi, makruh merupakan hal-hal yang dilakukan sekali, namun apabila dilakukan berkali-kali maka bisa berujung pada keharaman. (4) Ibnu an-Najjar, makruh adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan akan mendapat pahala dan apabila dilakukan tidak mendapat dosa. Dari macam pengertian di atas, ada kualifikasi rigid dalam unsur hukum makruh, yakni (1) terdapat larangan yang bersifat tidak pasti dan (2) apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dilaksanakan tidak mendapat dosa.

Dilalah makruh dapat ditandai dengan adanya lafaz karahah itu sendiri seperi أَبْغَضَ, كره  dan lain sebagainya, lafal nahyu yang kemudian diikuti dengan tuntutan untuk menjauhi atau meninggalkan dan juga larangan yang secara dilalah seperti tahrim namun kemudian datang setelahnya indikasi makruh. Sedangkan dalam pembagian macam makruh, imam az-Zarkasyi dari kalangan mazhab Syafi’i membanginya menjadi 4, yakni: (1) makruh tahrim (2) makruh tanzih (3) makruh tarku al-awlaa (4) makruh ikhtilaf. Sedangkan jumhur ulama lebih banyak yang mengelompokkan makruh pada tahrim dan tanzih saja.

Baca juga:  [Jurnal] Hukum Wanita yang Makmum Kepada Seorang Lelaki Bukan Mahram

Membaca kembali narasi dalil tentang perceraian, memang ditemukan lafal أَبْغَضَ secara langsung di dalamnya. Selain itu, secara general Allah telah menyinggung masalah perceraian suami istri di dalam firmanNya dengan redaksi yang beragam, seperti (1) Perceraian datangnya dari upaya-upaya syetan, seperti dalam QS. Al-Baqarah 102 dan kemudian dikuatkan oleh hadits riwayat Muslim nomer 7284 yang mengisahkan betapa terhormatnya syetan di mata kaumnya jika telah berhasil memisahkan sepasang suami istri (2) Meskipun Allah dan Rasulullah mengindikasikan kenegatifan sebuah perceraian, namun bukan berarti perceraian itu dilarang.

Berkali-kali keduanya menyinggung ketentuan-ketentuan suami dan istri yang ingin bercerai dan apa saja hak yang dimilikinya pasca perpisahan, seperti dalam QS. Al-Baqarah 228-232, at-Talaq 1 dan 4 (3) Allah Maha Mengetahui bagi pasangan yang mengambil jalan perceraian dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang bagi pasangan yang ingin kembali rujuk seperti dalam QS. Al-Baqarah 227, ayat ini apabila ditinjau dari segi sababun nuzulnya adalah mengisahkan bahwa masa iddah yang diwajibkan Islam bagi perempuan yang ditalak adalah tidak ada pada zaman jahiliyyah. Pengaturan ini sebagai qarinah eksplisit bahwa perceraian bisa dilakukan dalam Islam meski dengan syarat-syarat tertentu.

Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan praktek talak diakui tidak secara langsung mengatakan kemakruhannya, tetapi dengan merincikan panjang lebar dan didukung oleh hadits-hadits ahad yang ada maka perceraian ini masuk dalam kategori makruh. Permasalahan selanjutnya yang bergulir adalah apakah perceraian masuk pada makruh tahrim atau makruh tanzih? Imam 4 mazhab memiliki diferensiasi dalam memaknai kedua sub makruh tersebut. Menurut Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah makna umum makruh adalah makruh tanzih kecuali apabila ada qarinah yang menunjukkan ketahrimannya, sedangkan mazhab Hanafiyyah lebih memaknai kemakruhan dengan tahrim hingga ada qarinah yang menunjukkan ketanzihannya.

Di zaman imam 4 mazhab khususnya imam Syafi’i dan pengikutnya, apabila dilakukan ekskavasi manuskrip-manuskrip lama, akan ditemukan sebuah kebiasaan ulama yang berhati-hati dalam menentukan kehalalan dan keharaman suatu hal. Berangkat dari QS. An-Nahl 116-117 para Imam menjadi waspada dan mengganti kata haram menjadi makruh, hal ini kemudian terdifusi secara menyeluruh dalam tubuh umat Islam tanpa seringkali mengetahui asal muasal dari padanya.

Menjadi tidak heran, apabila ulama Hanafiyyah meyakini bahwa makruh tahrim dan haram tidaklah memiliki perbedaan, keduanya sama-sama mengakibatkan dosa apabila dilakukan dan mendapat pahala apabila ditinggalkan, yang membedakan keduanya hanyalah teks hukum yang dijadikan acuan, hukum haram harus berlandaskan dalil qath’i dan makruh tahrim harus berlandaskan dalil zanni, selain itu apabila hukum haram dan makruh tahrim diingkari maka hanya hukum haram yang berujung pada kekafiran.

Namun demikian secara de facto makruh tahrim di sisi ulama Hanafiyyah seringkali diadopsi secara parsial oleh ulama Syafi’iyyah, yang membedakan hanya pada takaran dosa pelaku makruh tahrim tidak sebanyak pelaku hal-hal haram, dengan gegabahnya tanpa dijelaskan lebih lanjut bagaimana operasionalisasi, konsep-konsep turunan dan item-item terkait seperti bilangan konkret dosa yang dimaksud. Sedangkan ulama-ulama lain lebih memaknai makruh tahrim sebagai hal-hal yang dilarang namun lebih berat keharamannya dibanding hal-hal makruh tanzih, keduanya sama-sama tidak berimplikasi dosa.

Baca juga:  Tawakkal kepada Ar-Razzaq

Rekonsiliasi dari sisa kubu tersebut adalah mengklasifikasikan hal-hal makruh baik tahrim maupun tanzih pada kesyubhatan, yang mana Rasulullah pernah bersabda” Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya”.

Sekiranya, secara esensial urgent dibutuhkan eskalasi dalam pemaknaan makruh agar tidak ada lagi friksi pemaknaan dan penerapan, bahwa hal-hal yg dihukumi makruh sejatinya sebuah upaya katarsis yang sedang mengajak para penganut Allah dan Rasulullah untuk menjauhi hal-hal buruk tanpa digarda dosa. Sekali-kali dijadikanlah manusia bertindak secara masif tanpa berfikir imbalan komplementer apa yang mengiringinya, mungkin itu akan lebih moderat dan militan.

DIALEKTIKA PERCERAIAN

Dalam konteks ini, sudah tepat kiranya meniscayakan perceraian pada posisi makruh tanzih. Secara primordialisme, perceraian adalah satu bentuk dinamika lingkaran sosial yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan jarang dapat diuraikan satu persatu dan Islam mengakui itu, bukan dalam bentuk permisif maupun resisten secara mutlak namun lebih kepada mengakui bahwa hal tersebut ada dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan syariat. Artinya sekalipun perceraian itu terjadi di antara pasangan suami istri karena keadaan yang dialaminya tidak kemudian dapat mengubah secara general hukum perceraian dari makruh menjadi mubah.

Maka seharusnya, tidak boleh ada penyataan yang bernada aksiomatis dan diamini oleh masyarakat pada umumnya secara latah dan laten. Seperti halnya yang dilakukan oleh citizen +62 pengikut fanatik maupun rekan da’i sejawat UAS dalam menanggapi perceraiannya dengan nada bahwa hal itu biasa dan tidak perlu dipermasalahkan dalam artian normatif. Benar, jika tidak ada hak untuk mencampuri urusan beliau dan berkomentar atas dasar mengetahui atau tanpa mengetahui kebenarannya, tapi bahwa beliau adalah seorang tokoh berpengaruh tidak dapat ditampik magnetnya, sehingga bisa jadi dengan adanya komentar-komentar pengikutnya yang kurang bijak dapat berimbas pada pengukuhan ambivalensi hukum cerai dalam islam dan berujung pada bias hukum.

Hakikat perceraian sebagai bentuk kecacatan rumah tangga bukanlah sebuah citra yang harus ditutupi apalagi dibela mati. Hukum makruh akan selalu melekat pada tindakan perceraian, sedangkan dekrit wajib, sunnah atau mubah atas perceraian sifatnya adalah personal. Bahwa perceraian UAS masuk pada wajib atau makruh bukanlah otoritas kita untuk menilai, tapi secara genuine-otentik perceraian akan selalu menjadi titik tolak terakhir dalam dialektika polemik berumah tangga, karena posisinya yang sakral dalam Islam menjadikannya sebagai rutinitas ibadah terbesar dan terberat seseorang sepanjang hidupnya.

Aabidah Ummu Aziizah

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan FAI UMY

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar