Santri Cendekia
Home » Tanggapan untuk Artikel IBTimes: Perempuan Jadi Imam Shalat Tarawih, Bagaimana Hukumnya?

Tanggapan untuk Artikel IBTimes: Perempuan Jadi Imam Shalat Tarawih, Bagaimana Hukumnya?

Oleh: Qaem Aulassyahied dan Muhamad Rofiq Muzakkir

Hingga saat ini, saat Covid-19 melanda Indonesia, umat Islam mengisi bulan puasa dengan cara-cara yang tak biasa. Tanpa keramaian dan hingar bingar sebagaimana mestinya.

Shalat tarawih yang menjadi amalan utama di bulan Ramadan pun dikerjakan di rumah masing-masing.

Hal yang tak terduga kemudian muncul. Tidak sedikit para lelaki yang dituntut untuk membuktikan salah satu gombalan populer yang dulu mungkin pernah mereka ucapkan: “Dik, apakah engkau mau aku menjadi imam mu?” Dan benar saja, saat ini kaum lelaki dituntut menjadi imam dalam arti yang sebenarnya.

Ada yang lolos dengan banyak hafalan dan bagusnya bacaan al-Quran. Tidak sedikit juga yang megap-megap karena hanya punya persediaan amunisi tiga qulhu dan ayat kursi.

Bahkan ada yang mengibarkan bendera putih sebab jangankan menghafal, baca al-Quran saja masih belum bisa.

Akhirnya, pertanyaan bolehkah perempuan mengimami shalat bagi laki-laki muncul kembali.

Kanal IBTimes memposting infografis mengenai hal ini. Postingan infografis itu memunculkan banyak reaksi.

Ada yang mempertanyakan apakah benar info yang dimuat dalam gambar itu  sesuai dengan putusan atau fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid? Tidak sedikit pula yang menyayangkan dan menyebut bahwa Muhammadiyah telah tersusupi paham-paham liberal gaya baru.

Melihat fenomena ini, adalah tepat membuka-buka kembali kitab fikih dalam rangka mendudukkan persoalan ini dengan kaca mata fikih. Sebab, dilihat dari konteksnya memang ini adalah soalan fikih. Sebelum dianalisis dengan teori macam-macam, isu ini harus didudukkan sebagai persoalan fikih.

Penggunaan istilah progressif untuk menunjukkan satu pendapat fikih tertentu juga kurang produktif. Perbedaan fikih harus dilihat dari kacamata dan sudut padang fikih. Bukan istilah-istilah asing yang bias pemaknaan.

Mengenai perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki secara umum, ada perbedaan pendapat para ulama. Setidaknya ada tiga pandangan yang mengemuka. Tiga pandangan tersebut adalah:

Pertama, pandangan yang membolehkan perempuan menjadi imam bagi lelaki

Pendapat ini dipegang oleh sedikit ulama.

Ulama yang berpendapat perempuan boleh menjadi imam shalat baik untuk perempuan maupun untuk lelaki pada umumnya bersandar pada satu hadis mengenai Ummu Waraqah sebagaimana berikut:

 عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ الْأَنْصَارِيِّ، وَكَانَتْ قَدْ جَمَعَتِ الْقُرْآنَ، ” وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا “، وَكَانَ لَهَا مُؤَذِّنٌ، وَكَانَتْ تَؤُمُّ أَهْلَ دَارِهَا

Dari Ummi Waraqah binti Abdilah bin al-Harits al-Anshari dan ia merupakan shabiyyah yang hafal al-Quran, adalah Nabi saw memerintahkanya untuk mengimami penghuni rumahnya dan ia memilik orang yang bertugas azan dan Ummu waraqah biasa menjadi Imam untuk penghuni rumahnya.

Hadis ini berasal dari Musnad Imam Ahmad. Hani as-Siba’i, seorang pengkaji isu ini, dalam satu tulisannya berjudul Ḥukm Imāmah al-Mar’ah li ar-Rijāl menyebutkan:

فهذا الحديث هو عمدة ما استدل عليه من يقول بإمامة المرأة للنساء والرجال.

Hadis ini merupakan landasan/dalil pokok bagi pihak yang berpendapat tentang kebolehan perempuan menjadi imam untuk kaum perempuan dan kaum lelaki.

Secara tekstual didapati dengan jelas dari hadis di atas bahwa Nabi saw mengizinkan bahkan dengan kalimat perintah kepada Ummu Waraqah menjadi imam untuk penghuni rumahnya (dār ahlihā).

Berdasarkan hadis lain dari Sunan Abu Dawud  kita dapat keterangan bahwa penghuni rumah Ummu Waraqah adalah satu budak perempuan, satu anak/budak lelaki dan satu muadzin.

Hadis tersebut adalah:

عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَوْفَلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا غَزَا بَدْرًا، قَالَتْ: قُلْتُ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ائْذَنْ لِي فِي الْغَزْوِ مَعَكَ أُمَرِّضُ مَرْضَاكُمْ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي شَهَادَةً، قَالَ: «قَرِّي فِي بَيْتِكِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْزُقُكِ الشَّهَادَةَ»، قَالَ: فَكَانَتْ تُسَمَّى الشَّهِيدَةُ، قَالَ: وَكَانَتْ قَدْ قَرَأَتِ الْقُرْآنَ فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَتَّخِذَ فِي دَارِهَا مُؤَذِّنًا، فَأَذِنَ لَهَا، قَالَ: وَكَانَتْ قَدْ دَبَّرَتْ غُلَامًا لَهَا وَجَارِيَةً فَقَامَا إِلَيْهَا بِاللَّيْلِ فَغَمَّاهَا بِقَطِيفَةٍ لَهَا حَتَّى مَاتَتْ وَذَهَبَا، فَأَصْبَحَ عُمَرُ فَقَامَ فِي النَّاسِ، فَقَالَ: مَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْ هَذَيْنِ عِلْمٌ، أَوْ مَنْ رَآهُمَا فَلْيَجِئْ بِهِمَا، فَأَمَرَ بِهِمَا فَصُلِبَا فَكَانَا أَوَّلَ مَصْلُوبٍ بِالْمَدِينَةِ

Dari Ummu Waraqah bint Abdillah bin Naufal al-Anshari, bahwa adalah Nabi saw tatkala hendak perang Badar, berkata Ummu Waraqah “Ya Rasulullah, izinkan saya untuk bersamamu dalam perang. Saya akan mengobati siapa saja yang sakit, semoga Allah memberikan saya rezki berupa kesyahidan”. Mendengar permintaan itu, Rasulullah menjawab “tetaplah kamu di rumahmu, karena sesungguhnya Allah akan memberikanmu kesyahidan (dengan tetap berdiam di rumah). Ummu Waraqah adalah Sahabiyyah perempuan yang hafal dan fasih membaca al-Qur’an. Karenanya ia meminta iin kepada Rasulullah untuk menunjuk salah seorang betugas menjadi muadzzin di rumahnya (dan dia dapat menegakkan jamaah di rumahnya). Rasulullah mengizinkannya. dan adalah seorang budak lelaki dan perempuan miliknya berencana jahat tanpa sepengetahuan Ummu Waraqah. Hingga pada malam hari, keduanya mendatangi Ummu Waraqah dan menyumpal wajahnya dengan kain burdah hingga ia meninggal, lalu keduanya lari. Tatkala pagi, Umar membangunkan orang-orang, ia (yang mendapati Ummu Waraqah telah meninggal) berkata, siapa yang tahu terhadap kedua orang (yang telah membunuh) ini dan siapa yang melihat keduanya hendaknya ia mendatangi keduanya dan membawanya kepadaku. Lalu ditangkaplah kedua pembunuh itu dan dia dihukum salib, dan itulah pensaliban pertama yang dilakukan di Madinah.

Keterangan tambahan dari Abdullah Rahman bin Khallad, bahwa muazin yang ditugaskan Nabi saw khusus untuk Ummu Waraqah adalah seorang lelaki yang telah berumur (syaikhan kabiran) [Sunan ad-Daruquthni, no. hadis. 1049]. Jadi total lelaki yang menjadi makmum Ummu Waraqah adalah dua orang.

Baca juga:  Bolehkan Melakukan I'tikaf di Rumah?

Muḥammad Khitab as-Subky dalam kitab al-Manhal al-‘Ażb al-Maurud Syarḥ Sunan Abī Dāwud juga menyebut bahwa hadis pertama di atas menjadi dalil atas pendapat bolehnya perempuan menjadi imam.

Disebutkan bahwa di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Daud az-Zahiri, Abu Tsaur, Al-Muzani dan at-Thabari [al-Manhal: IV: 314].

Begitu pula dalam kitab Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid karangan Ibn Rusyd bab Aḥkām al-Imām al-Khāṣṣah bihi, ditulis secara jelas,

الْمَسْأَلَةُ الرَّابِعَةُ اخْتَلَفُوا فِي إِمَامَةِ الْمَرْأَةِ، فَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تَؤُمَّ الرِّجَالَ، وَاخْتَلَفُوا فِي إِمَامَتِهَا النِّسَاءَ، فَأَجَازَ ذَلِكَ الشَّافِعِيُّ، وَمَنَعَ ذَلِكَ مَالِكٌ، وَشَذَّ أَبُو ثَوْرٍ، وَالطَّبَرِيُّ، فَأَجَازَا إِمَامَتَهَا عَلَى الْإِطْلَاقِ…

Masalah yang keempat, para ulama berbeda pendapat mengenai status keimaman perempuan. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh perempuan mengimami lelaki. Mereka berbeda pendapat dalam soal keimaman perempuan dengan perempuan. Dalam soal itu as-Syafi’i memperbolehkan (perempuan mengimami perempuan) namun Malik melarang. Pendapat yang berbeda (menyimpang dari mayoritas) datang dari Abu Tsaur dan at-Tabari. Keduanya memperbolehkan perempuan menjadi Imam secara mutlak (baik kepada perempuan maupun kepada lelaki)… [Bidayah al-Mujtahid I/155].

Kedua, pendapat yang memperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu

Pendapat ini diambil oleh sebagian fukaha dari mazhab Hanbali, khususnya dari generasi awalnya (mutaqaddimun). Ada pula yang mengklaim bahwa ini pendapat at-Tabari. Jadi menurut pendapat ini, al-Tabari tidak masuk ke kelompok pertama, tetapi kelompok kedua.

As-San’ani dalam karangannya Subul as-Salām misalnya menulis:

…وأجاز الطبري إمامتها في التراويح إذا لم يحضر من يحفظ القران

… dan at-Tabari memperbolehkan imam perempuan di shalat tarawih apabila tidak hadir (ada) lelaki yang hafal al-Quran [Subul as-Salām II/29].

Keterangan di atas menunjukkan bahwa at-Tabari mempersyaratkan kebolehan imam perempuan dengan dua kondisi: 1) shalat itu bukan shalat fardhu, tetapi shalat sunnah tarawih; 2) pada saat itu tidak ada satu lelaki pun yang hafal al-Quran.

Ibn Qudamah dalam al-Mughni pada bab Mas‘alah aṣ-Ṣalah khalfa Musyrik wa Imra’ah wa Khunṡā menyebutkan:

وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ أَنْ تَؤُمَّ الرِّجَالَ فِي التَّرَاوِيحِ، وَتَكُونَ وَرَاءَهُمْ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا، وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا.» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد. وَهَذَا عَامٌّ فِي الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ

Sebagian fukaha dari mazhab kami (Hanbali) berpendapat boleh perempuan mengimami lelaki di saat shalat tarawih dan perempuan itu posisinya tetap di belakang lelaki. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Waraqah… dan kebolehan ini berlaku secara umum, baik kepada lelaki maupun perempuan [al-Mughni II/146].

Hampir sama dengan itu, al-Mardawi dalam al-Inṣāf melaporkan:

وَعَنْهُ تَصِحُّ في التَّرَاوِيحِ نَصَّ عليه وهو الْأَشْهَرُ عِنْدَ الْمُتَقَدِّمِينَ  قال أبو الْخَطَّابِ وقال أَصْحَابُنَا تَصِحُّ في التَّرَاوِيحِ قال في مَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ اخْتَارَهُ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قال الزَّرْكَشِيُّ مَنْصُوصُ أَحْمَدَ وَاخْتِيَارُ عَامَّةِ الْأَصْحَابِ يَجُوزُ أَنْ يَؤُمَّهُمْ في صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ انْتَهَى وهو الذي ذَكَرَهُ بن هُبَيْرَةَ عن أَحْمَدَ وَجَزَمَ بِهِ في الْفُصُولِ وَالْمُذْهَبِ وَالْبُلْغَةِ

(Dilaporkan oleh al-Khiraqi) bahwa perempuan boleh menjadi imam laki-laki pada shalat tarawih. Ia mencatat bahwa ini adalah pendapat paling populer di kalangan mutaqaddimin dalam mazhab Hanbali. Abu al-Khattab menulis: fukaha mazhab kami (Hanbali) berpendapat bahwa [perempuan menjadi imam laki-laki] sah dalam shalat tarawih. Pendapat ini ia tulis dalam [kitab] Majma’ al-Bahrain. Ia menyebut bahwa pendapat ini dipilih oleh banyak fukaha mazhab Hanbali. Imam Zarkasyi menulis: tercatat sebagai pendapat Imam Ahmad langsung yang juga dipilih oleh banyak fukaha mazhab Hanbali sesudah bahwa perempuan boleh mengimami shalat tarawih.  Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Hubairah dari Ahmad dan ia memastikan ini sebagai pendapat Ahmad dalam kitab al-Fushul, al-Muzhab, dan al-Bulghah.

Al-Mardawi melanjutkan:

Baca juga:  Dilema Sidang Isbat di Tengah Wabah Corona

فَعَلَى هذه الرِّوَايَةِ قِيلَ يَصِحُّ إنْ كانت قَارِئَةً وَهُمْ أُمِّيُّونَ

Menurut riwayat ini, perempuan sah menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat tarawih jika ia adalah seorang qari [bagus bacaannya dan banyak hafalannya) sedangkan laki-laki-nya adalah orang-orang yang ummi.

Terkait dengan makna ummi dalam teks al-Mardawi di atas, bisa kita kutip pendapat Ibnul Qudamah dalam al-Mughni.

الأمي من لا يحسن الفاتحة أو بعضها أو يخل بحرف منها وإن كان يحسن غيرها

Ummi adalah orang yang tidak bagus dalam membaca al-fatihah [keseluruhannya] atau hanya sebagiannya, atau kurang hurufnya. [Orang seperti ini disebut ummi], walaupun bacaan selain al-fatihahnya baik.

Perlu dicatat bahwa fukaha mazhab Hanbali yang membolehkan perempuan menjadi imam laki-laki dalam shalat tarawih juga mensyaratkan posisi perempuan sebagai imam tetap berada di belakang laki-laki.

Al-Mardawi menulis:

فَائِدَةٌ حَيْثُ قُلْنَا تَصِحُّ إمَامَتُهَا بِهِمْ فَإِنَّهَا تَقِفُ خَلْفَهُمْ لِأَنَّهُ أَسْتَرُ وَيَقْتَدُونَ بها

Faidah: ketika sebagian fukaha mazhab kami mengatakan perempuan sah mengimami laki-laki, maka posisinya sebagai imam berdiri di belakang laki-laki. Karena hal ini lebih menutup. Para jamaah laki-laki mengikuti imam perempuan yang ada di belakang mereka.

Selain fukaha mazhab Hanbali generasi awal, ulama kontemporer yang mengambil pendapat ini adalah Dr. Yasir Qadhi (ulama dari Amerika Serikat yang populer di media sosial) dan Dr. Hatim al-Haj (ulama Amerika Serikat dan anggota Asosiasi Ahli Fikih Amerika Serikat/Assembly of Muslim Jurists in America).

Dengan demikian, bagi ulama yang mengambil pendapat perempuan boleh menjadi imam bagi laki-laki untuk shalat tarawih, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi.

Syarat tersebut adalah: (a) ia menjadi imam hanya bagi mahram laki-lakinya; (b) ia mempunyai hafalan yang lebih baik dan lebih faseh dari pada laki-laki di rumahnya; (c) laki-laki yang ada dalam rumahnya tidak memiliki hafalan al-Quran atau tidak bagus bacaanya (d) posisinya sebagai imam tetap berada di belakang posisi laki-laki.

Ketiga, pendapat yang tidak memperbolehkan

Disebutkan dalam kitab-kitab fikih, bahwa pihak yang tidak memperbolehkan adalah jumhur (mayoritas) ulama. Jumhur mendasari pendapat mereka ini dengan beberapa dalil.

Di antara dalil yang dijadikan landasan adalah hadis umum yang berbicara mengenai perintah Rasulullah memisahkan shaf lelaki dan shaf perempuan di mana shaf lelaki terletak di depan shaf perempuan. Dalam sebuah hadis disebutkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw bersabda “sebaik-baik shaf lelaki adalah yang paling depan dan seburuk-buruk shafnya adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan seburuk-buruk shafnya adalah yang paling awal.

An-Nawawi memberi komentar bahwa posisi shaf dalam hadis ini berlaku dalam konteks apabila dalam satu jamaah ada shaf lelaki dan shaf perempuan. Adapun jika perempuan shalat berjamaah tanpa lelaki maka aturan shafnya sama seperti lelaki di mana shaf terbaiknya adalah yang paling depan dan paling buruk adalah belakang.

Sehingga maksud dari hadis ini adalah agar tidak tercampurnya shaf lelaki dan shaf perempuan sehingga tidak ada potensi fitnah. [Syarh Shahih Muslim II/142].

Dengan begitu maka mencampurkan shaf antara lelaki dan perempuan saja tidak boleh, apalagi seorang perempuan berada di depan lelaki dan menjadi imam dengan suara yang keras, itu lebih berpotensi menimbulkan fitnah dan hal itulah yang dihindari oleh hadis di atas.

Dalam kitab al-Manhal juga disebutkan bahwa jika perempuan boleh jadi imam laki-laki, maka tentu sudah disebutkan secara jelas dalam sumber-sumber hukum Islam baik al-Quran dan Sunnah dan tentu ada praktek yang umum dikerjakan oleh para sahabat di mana ada seorang perempuan –katakanlah Aisyah- yang pernah mengimami para sahabat lelaki dan perempuan lainnya pasca wafatnya Rasulullah. Tapi pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi.

Seperti itu pula yang disebutkan dalam Bidayah al-Mujtahid,

 وَإِنَّمَا اتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى مَنْعِهَا أَنْ تَؤُمَّ الرِّجَالَ ; لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ جَائِزًا لَنُقِلَ ذَلِكَ عَنِ الصَّدْرِ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّهُ أَيْضًا لَمَّا كَانَتْ سُنَّتُهُنَّ فِي الصَّلَاةِ التَّأْخِيرَ عَنِ الرِّجَالِ عُلِمَ أَنَّهُ لَيْسَ يَجُوزُ لَهُنَّ التَّقَدُّمُ عَلَيْهِمْ، لِقَوْلِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «أَخِّرُوهُنَّ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّهُ

Jumhur ulama bersepakat akan ketidakbolehan perempuan mengimami lelaki. Sebab sekiranya boleh maka tentu pernyataan boleh tersebut dengan jelas telah tersebutkan pada sumber utama. Dan juga sunnah Nabi saw dalam shalat adalah meletakkan shaf perempuan di belakang lelaki, sehingga diketahui dari sini, bahwa tidak boleh perempuan berada di depan lelaki. berdasarkan Sabda Rasulullah “letakkanlah perempuan di shaf belakang sebagaimana Allah menempatkan mereka di shaf belakang”.

Jumhur ulama juga menolak hadis Ummu Waraqah dijadikan dasar sebagai kebolehan perempuan menjadi Imam lelaki. Sebab ulama yang menjadikannya sebagai dalil tidak memperjelas siapa saja yang dimaksud sebagai penghuni rumah (dār ahlihā) yang tersebut dalam hadis; apakah lelakinya juga ikut, ataukah cuma perempuannya saja? Jika memang lelakinya ikut, apa indikatornya?

Baca juga:  Qurban dan Transformasi; Suatu Kajian Semiotik

Sementara terdapat hadis di dalam Sunan ad-Daruquthni tentang Ummu Waraqah dengan lafal yang berbeda yang menyebutkan bahwa:

عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ , أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَذِنَ لَهَا أَنْ يُؤَذَّنَ لَهَا وَيُقَامَ وَتَؤُمَّ نِسَاءَهَا

Dari Ummu Waraqah bahwasanya Rasulullah mengizinkan untuknya mengambil salah seorang lelaki sebagai muadzin dan ia menegakkan shalat dan mengimami perempuan-perempuannya.

Hadis ini oleh jumhur ulama menjadi penegas siapa yang dimaksud sebagai penghuni rumah yang dimimami oleh Ummu Waraqah, yaitu para perempuannya saja. Adapun lelakinya; anak/budak lelaki dan muazinnya sebagaimana disebut dalam hadis panjang di atas bisa saja tetap berangkat ke masjid.

Hal ini sesuai keterangan yang terdapat dalam kitab al-Manhal:

ويمكن الجواب عن حديث الباب بأنه ليس صريحا في أن المؤذن والغلام كانا يصليان خلفها فيحتمل أن المؤذن كان يؤذن لها ثم يذهب إلى المسجد ليصلى فيه وكذا الغلام فكانت تؤمّ نساء دارها لا غير

Dan dimungkinkan menjawab pendapat yang membolehkan dengan hadis ini (Hadis Ummu Waraqah) bahwa hadis tersebut tidak secara jelas menyebutkan bahwa orang yang azan dan budak lelaki/anak-anak milik Ummu Waraqah itu juga ikut shalat di belakangnya. Sebab ada kemungkinan si muazin setelah ia adzan lalu berangkat ke masjid untuk shalat di sana. Begitu pula si budak lelaki/anak itu. Dengan demikian, Ummu Waraqah mengimami perempuan yang tinggal di rumahnya tidak ada yang lain lagi.

Menurut Hani As-Siba’i, kenyataan bahwa hadis Ummu Waraqah multi tafsir, membuat hadis tersebut sebagai dalil tidak sah. Hal ini sebagaimana kaidah fikih yang menyebutkan,

ما تطرق به الإحتمال بطل به الإستدلال

Suatu dalil/hadis yang masih banyak kemungkinan maknanya maka batal/ tidak sah dijadikan landasan dalil.

Hani melanjutkan, berhujah dengan hadis Ummu Waraqah untuk shalat tarawih juga tidak tepat. Sebab dalam keterangan dari hadis lain disebutkan secara jelas bahwa shalat Ummu Waraqah itu adalah shalat wajib, bukan shalat sunnah. Sebagaimana hadis yang disebutkan dalam sunan al-Baihaqi:

عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ الْأَنْصَارِيَّةِ، … فَأَمَرَ أَنْ يُؤَذَّنَ لَهَا وَيُقَامَ وَتَؤُمَّ أَهْلُ دَارِهَا فِي الْفَرَائِضِ

Dari Ummu Waraqah,… lalu Nabi saw menugasi seseorang untuk menjadi muadzin untuk Ummu Waraqah dan mengiqomatinya dan ia (Ummu Waraqah) mengimami penghuni rumahnya pada waktu shalat-shalat wajib [Sunan a-Kubra li al-Baihaqi I/597].

Hani As-Siba’i menyebutkan bahwa hadis al-Baihaqi ini juga memberikan keterangan tambahan bahwa shalat yang mana Ummu Waraqah menjadi imam bukan shalat sunnah tetapi shalat wajib. Ditugasinya seseorang untuk berazan juga menunjukkan shalat itu shalat wajib, karena andaikan shalat sunnah, maka tentu tidak perlu ada azan.

Sebagai catatan tambahan, hadis riwayat al-Daruqutni (hanya mengimami perempuan) dan al-Bayhaqi (hanya untuk shalat wajib) sebagai takhsis untuk hadis ummu waraqah ada kelemahan tersendiri. Dua hadis ini belum teruji kesahihannya. Apakah tambahan dalam riwayat al-Daruqutni dan al-Bayhaqi dapat dipercayai (ziyadah tsiqah) atau tidak, perlu suatu penelitian tersendiri.

Sikap Majelis Tarjih dan Tajdid

Bagaimana sikap Majelis Tarjih dan Tajdid dalam persoalan ini? Sampai saat artikel ini ditulis, tidak satu pun ditemukan putusan atau fatwa yang menentukan sikap Majelis Tarjih dalam persoalan imam perempuan. Berdasarkan hal itu, maka MTT dalam hal ini berarti belum berpendapat.

Mengingat pula kompleksnya persoalan ini di antara para ulama, perlu pengkajian yang sabar dan mendalam untuk menjawabnya. Dengan begitu apapun pendapat terkait yang mengemuka mengenai isu ini, maka itu bisa dikatakan sebagai pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid

Refleksi Atas Perbedaan Pendapat Para Ulama

Hal terpenting yang dapat diambil dari pemaparan di atas, bahwa persoalan ini dalam kaca mata fikih adalah bagian dari pada soalan ikhtilafiyyah ijtihadiyyah yang ulama pun berbeda pendapat. Untuk itu, tepatnya ia pun kita tempatkan pada ranah yang hendaknya ada ruang toleransi lebih luas di sana, sebagaimana toleransi kita atas persoalan ijtihadiyyah yang lain.

Dengan kata lain, kita harus mendudukkan persoalan ini sebagai perdebatan fikih klasik dan bukan suatu hal yang baru. Sehingga, apapun sikap yang diambil oleh siapapun, maka ini hanya kelanjutan dari dialog fikih yang telah ada dan pernah terjadi.

 

 

Qaem Aulassyahied

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah

5 komentar

Tinggalkan komentar