Santri Cendekia
Home » Tauhid Hakimiyah Khawarij

Tauhid Hakimiyah Khawarij

Matan

يَجِبُ عَلَيْنَا اَنْ نُؤْمِنَ بِا للهِ رَبِّنَا (٤) وَهُوَ الْإِلَهُ الْحَقُّ الَّذِى خَلَقَ كُلَّ شّيْئٍ وَهُوَ الواَجِبُ الوُجُوْدِ(٥) وَ اْلأَوَّلُ بِلاَ بِدَايَةٍ وَاْلآخِرُ بِلاَ نِهَايَةٍ (٦) ولاَ يُشْبِهُهُ شَيئٌ مِنَ الكَائِنَاتِ (٧) الاَحَدُ فِىأُلُوْهِيَّتِهِ وَصِفاَتِهِ وَ اَفْعَالِهِ (٨) اَلْحَىُّ القَيُّوْمُ (٩) السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (١٠) وَهُوَ عَلَى كُلَّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ (١١)إِنَّمَا اَمْرُهُ اِذَا اَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (١٢) وَهُوَ عَلِيْمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ (١٣) اَلْمُتَّصِفُ بِالْكَلاَمِ وَكُلِّ كَمَالٍ. المُنَزَّهُ عَنْ كُلِّ نَقْصٍ وَمُحَالٍ (١٤) يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ. بِيَدِهِ اْلأَمْرُ كُلُّهُ وَإِلَيْهِ يَرْجِعُوْنَ (١٥).

Artinya: Wajib kita percaya akan Allah Tuhan kita (4). Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya (5). Dialah yang pertama tanpa permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan (6). Tiada sesuatu yang menyamai-Nya (7). Yang Esa tentang ketuhanan-Nya (8). Yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada (9). Yang mendengar dan yang melihat (10). Dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu (11). Perihal-Nya apabila ia menghendaki sesuatu Ia firmankan: “Jadilah”! maka jadilah sesuatu itu (12). Dan dia mengetahui segala sifat kesempurnaan (13). Yang suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan (14). Dialah yang menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendakNya. Segala sesuatu ada ditangan-Nya dan kepada-Nya akan kembali (15).

Kata Kunci: الاَحَدُ فِىأُلُوْهِيَّتِهِ وَصِفاَتِهِ وَ اَفْعَالِهِ (Yang Esa tentang ketuhanan, sifat dan af’al-Nya)

Syarah (Penjelasan):

Sebelumnya pernah kami sampaikan terkait kelemahan pembagian tauhid perspektif wahabi yang dibagi menjadi tiga, yaitu tauhid uluhiyyah, rububiyyah dan tauhid asma wa sifat. Ada sebagian ulama yang menambah satu bagian lagi, yaitu tauhid hakimiyah. Hanya saja, pembagian ini tidak menjadi kesepakatan di kalangan ulama wahabi. Syaih Utsaimin beranggapan bahwa pembagian tauhid hakimiyah ini hanya dianggap menyesatkan. Pendapat ini juga diamini oleh syaih Shalih Fauzan. Menurut mereka, bahwa tauhid hakimiyah sudah masuk dalam bahasan tauhid rububiyyah.

Tauhid hakimiyah adalah tauhid atau kepercayaan bahwa  yang berhak diterapkan di dunia ini hanyalah  Allah. Selain  Allah dianggap taghut dan jahiliyah. Ia layak untuk ditinggakan bahkan diperangi. Allahlah al-hakim, Tuhan manusia yang punya hak untuk menurunkan aturannya bagi umat manusia. Tugas manusia hanya menjalankan hokum Allah itu sesuai dengan maslahat manusia.

Ulama pertama yang dianggap meletakkan paham tauhid hakimiyah adalah Al-Maududi. Pemikiran beliau ini lantas diambil dan diadopsi oleh Sayyid Qutub. Ia menulis buku dengan judul Ma’alim fi ath-Thariq. Dalam buku ini, beliau membagi msyarakat menjadi dua, yaitu masyarakat Islam dan masyarakat jahiliyah. Menurutnya bahwa suatu masyarakat yang bergerak dengan menggunakan nilai-nilai keislaman adalah masyarakat Islam. Sebaliknya, masyarakat yang tidak berprilaku sesuai  Allah adalah masyarakat jahiliyah.[1]

Bukan hanya dalam buku ini, dalam karya yang lain seperti tafsir Fi Dzilalil Qur’an dan al-Adalah al-Itimaiyyah, ia juga sering mengulang pendapatnya terkait tauhid al-hakimiyah ini. Ia mengatakan, “Kita tidak dapat memberikan definisi tersendiri dari diri kita terkait agama dan Islam. memberikan definisi sendiri sangat berbahaya. Agama dan Islam terkait erat dengan makna agama Allah itu sendiri dan nasib kehidupan manusia di muka bumi. Ia terkait erat dengan keberislaman jutaan manusia yang mengaku telah beragama Islam. [2]

Jika kita melihat semua manusia di muka bumi dengan menimbang mereka dari konsep ketuhanan sesuai dengan makna yang dikehendaki Tuhan, maka kita akan tau bahwa agama Islam di muka bumi ini sudah sesungguhnya sudah sirna sejak hukum syariat tercerabut dari semua kehidupan manusia.[3]

Bagaimana dengan kondisi kita sekarang? Di manakah masyarakat muslim yang seharusnya agamanya hanya untuk Allah semata dan yang semestinya menolak keberagamaan untuk manusia? Bagaimana kondisi masyarakat seharusnya hanya menerapkan hukum Allah dan menolak semua hukum selain dari hukum hukum Allah? Tidak ada yang bisa menjamin bahwa masyarakat muslim sekarng ini masih ada.[4] Ciri khas uluhiyah adalah al-hakimiyah ini dan hanya percaya bahwa hukum syariat untuk umat manusia sebagai landasan mengenai kehidupan mereka.[5]

Jadi masyarakat jahiliyah bukan bearti suatu masyarakan sebelum Islam datang. Namun ia adalah sifat manusia, apakah mnerima hukum Allah atau tidak. Karena ia sifat, maka ia bisa berulang dan terjadi kapan dan dimanapun. Jika saat ini, masyarakat dan pemerintahan tidak menerapkan  Allah, bearti masyarakat dan pemerintahan kita dianggap jahil. Pemerintah yang sudah keluar dari tauhid hakimiyah, dianggap taghut dan kafir serta layak untuk diperangi. Di antara darlil yang dijadikan rujukan adalah firman Allah berikut ini:

Baca juga:  Tauhid Wujudiyyah: Penjelasan Sederhana

 ﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾

Artinya: “Maka putuskan  di antara mereka menurut apa yang diturunkan Alloh, dan jangan menuruti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang telah diturunkan padamu”. (QS. Al-Maidah: 48)

﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوْكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ﴾

Artinya: “Dan hendaklah kamu semua memutuskan  di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan oleh Alloh (Al-Quran) dan jangan menuruti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah jangan sampai mereka mempengaruhimu untuk meninggalkan sebagian apa yang diturunkan oleh Alloh kepadamu” (QS.Al-Maidah: 49).

 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ﴾

 Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak ber dengan apa yang telah Alloh turunkan, maka mereka itu orang-orang kafir”(QS.Al-Maidah: 44)

 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ﴾

 Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak ber dengan apa yang telah Alloh turunkan, maka mereka itu orang-orang zalim“ (QS.Al-Maidah:45)

 ﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ﴾

 Artinya: “Dan barang siapa yang tidak ber dengan apa yang telah Alloh turunkan, maka mereka itu orang-orang fasik“ (QS. Al-Maidah: 47)

 ﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيمًا﴾

 Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka bertahkim kepadamu dalam segala perselisihan diantara mereka. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hatinya menerima mu (putusanmu) dan mereka sepenuhnya menyerah kepadamu”. (QS. An-Nisa: 65)

Apa yang disampaikan oleh sayyid Qutub, banyak diamini oleh kelompok Islam. Aiman adz-Zhawahiri misalnya, ia mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) yang mempunyai anggota sangat militan. JI tidak sungkan-sungkan untuk menyerang dan membunuh pejabat Negara karena dianggap taghut dan kafir. Dalam aksinya, JI bahkan sering menggunakan bom bunuh diri dengan menargetkan berbagai instansi pemerintahan, utamanya miter dan polisi.

Keyakinan JI, juga diamini oleh kelompok Islam lainnya, seperti Jamaah Takfir wal Hijrah dan ISIS. Dua kelompok ini banyak melakukan berbagai tindakan yang sangat merugikan pemerintahan Islam. ISIS ((Negara Islam Irak dan Suriah) bukan saja menargetkan pemerintahan Islam, bahkan kelompok lain yang pro pemerintah dan tidak sejalan dengan gagasan mereka, dianggap menyimpang dan layak untuk diperangi. Penerapan syariah Islam nya wajib. Sayangnya, syariat di sini sesuai dengan perspektif mereka saja sehingga menafikan pandangan dan ijtihad lain dari para ulama.

Terkait dengan kewajiban perintah untuk menerapkan  Allah di muka bumi, sesungguhnya bukan ide baru. Persoalan ini sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama Islam. Jika kita membaca ilmu ushul fikih, ada bahasan terkait dengan al-hakim, yaitu peletak . Kajian al-hakim di ilmu ushul fikih, umumnya terletak di bab-bab awal, sebelum ada pendalaman terkati bahasan . Secara jelas, dalam ushul fikih disebutkan bahwa al-hakim adalah Allah.

Lantas apa yang baru dari pemikiran sayyid Qutub ini? Jika kita lihat, pemikiran Sayyid Qutub menempatkan persoalan politik (siyasah syar’iyyah) ke dalam bahasan ilmu tauhid. Politik menyangkut keimanan dan kekafiran. Di sejarah Islam, ada dua kelompok yang memasukkan Islam dalam bahasa tauhid, yaitu Syiah dan Khawarij.

Di Syiah, politik umumnya menyangkut masalah syarat pemimpin, yaitu harus dari keturunan Ali karamallahu wajhah. Bagi Syiah, politik bukan saja terkait dengan urusan dunia, namun juga agama. Oleh karena itu, urusan sepenting ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada umat manusia. Ia harus bersifat penunjukkan langsung dari Rasulullah saw. Dan yang ditunjuk oleh Rasulullah saw adalah Imam Ali, lalu Imam Ali menunjuk para Imam setelahnya. Demikian seterusnya.

Setelah imam kedua belas yang dianggap ghaib, dan juga gempuran sekularisasi Barat, pemikiran politik syiah berkembang dan muncul konsep wilayatul fakih, seperti yang digagas oleh Baqir Shadr dan Imam Khumaini. Umumnya di kajian Syiah, wilayatul fakih masuk bahasan kalam dan filsafat. Jadi politik masih dalam ruang lingkup ilmu tauhid. Meski demikian, mereka tidak menganggap kafir bagi kelompok Islam selain Syiah yang tidak percaya dengan Imam Maksum ini. Kelompok itu oleh syiah disebut sebagai kelompok bukan syiah saja.

Bagi kalangan khawarij, persoalan politik bukan saja terkait dengan persoalan siapa yang memimpin, namun berkembang menjadi dasar Negara suatu pemerintahan. Tentu ini juga terkait dengan  yang akan diterapkan oleh suatu Negara. Bagi khawarij, suatu pemerintahan haruslah menerapkan  Islam. Jika tidak, maka ia kafir dan taghut. Pemerintah yang kafir dan taghut harus diperangi. Sayangnya, kafir ini sesuai dengan perspektif khawarij saja. Ini dibuktikan dengan anggapan khawarij bahwa Imam Ali telah kafir, hanya karena menerima perjanjian damai dengan kubu Muawiyah. Khawarij menganggap bahwa Ali tidak ber dengan  Allah.

Baca juga:  Demi Persahabatan yang Abadi (Az-zukhruf : 67)

Dalam sejarah Islam, Khawarij merupakan kelompok paling radikal dan paling sering melakukan pemberontakan dan konfrontasi bersenjata dengan pemerintahan Islam. Kelompok khawarij bukan saja menyerang dan membunuh orang-orang pemerintah, bahkan kelompok lain yang pro pemerintah pun dianggap kafir dan boleh dibunuh. Memang ada kelompok khawarij yang moderat, seperti ibadhiyah, namun pada umumnya, khwarij sangat radikal.

Bagaimana dengan ahli sunnah? Ahli sunnah berpendapat bahwa persoalan politik tidak terkait dengan akidah. Ia menyangkut persoalan fikih. Ia bagian dari siyasah syariyyah yang terkait erat dengan kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu, kita akan menemukan para ulama ahli sunnah, mengkaji politik dari sisi fikih. Ini bisa kita lihat dalam kitab al ahkam as-Sulthaniyah karya Mawardi, al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Muhammad bin al-Husain al-Farra al-Hambali, Ighatsatul Umam karya imam Haramain dan lain sebagainya. Bahkan Ibnu Taimiyah dengan bukunya as-Siyasah asy-Syar’iyyah dan Ibnul Qayyim dengan bukunya, Thuruqul Hukmiyyah pun memasukkan persoalan politik ke dalam ilmu fikih dan bukan akidah.

Apa implikasinya perbedaan di atas? Jika politik masuk ke dalam perkara akidah, bearti terkait dengan muslim dan kafir. Jika sudah terkait dengan muslim dan kafir, bearti terkait dengan an yang akan dijatuhkan kepada seseorang. Dalam fikih Islam, orang kafir akidah bisa diperangi. Tentu dengan syarat-syarat tertentu. Apalagi jika seseorang atau pemerintahan adalah pemerintahan yang kafir harbi, maka ia memang harus diperangi.

Jika masuk dalam persoalan fikih, bearti masuk dalam ranah halal, haram, ibahah, sunnah, dan makruh. Orang yang tidak menerapkan  fikih, asal masih berkeyakinan bahwa  tersebut datang dari Allah, maka ia tetap muslim. Hanya saja, ia berdosa karena dianggap telah melakukan maksiat. annya jika tidak terkait dengan hudud dan qishasm tidak sampai dibunuh. Hanya dilakukan ta’zir sesuai dengan keputusan pengadilan.

Lantas bagaimana ahli sunnah memandang ayat-ayat terkait  Allah seperti ayat di atas? Bukankah ayat-ayat itu secara sharih menyebutkan bahwa pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam, maka ia jahil dan kafir?

Bagi ahli sunnah, tidak semua kata iman dalam al-Quran atau sunnah nabi, berarti konotasinya dengan tauhid yang lawannya adalah kafir. Bisa saja, maksud dari ayat di atas, adalah bahwa pemerintahan yang tidak menerapkan  Islam, maka ia pemerintah islam tersebut imannya tidak sempurna.

Jadi, tidak menerapkan syariat Islam, bukan menjadi sebab batalnya iman seseorang. Selama ia masih bersyahadat, percaya dengan rukun Islam dan iman, maka ia tetap muslim. Implikasinya, ia tidak boleh diperangi dan dibunuh. Orang muslim, darahnya terjaga. Dalilnya sebagai berikut:

 عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللّهِ رواه البخاري ومسلم

Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridhai keduanya (Ibnu Umar dan ayahnya)- bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku diperintah untuk memerangi manusia (orang musyrik selain Ahlul Kitab) hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan menegakkan sholat, menunaikan zakat, jika mereka melakukan hal tersebut, terjagalah dariku darah dan hartanya kecuali dengan hak Islam. Sedangkan perhitungannya di sisi Allah (H.R alBukhari dan Muslim).

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَإِذَا شَهِدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَصَلَّوْا صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَأَكَلُوا ذَبَائِحَنَا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا

Aku diperintah untuk memerangi kaum musyirikin sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Jika mereka telah bersaksi tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, sholat seperti sholat kita, menghadap ke arah kiblat kita, memakan daging sesembelihan kita, maka telah terjaga dari kita darah dan harta mereka kecuali dengan haknya (aturan syariat Islam)(H.R anNasaai dari Anas bin Malik).

Kita juga bisa melihat dalam al-Quran bahwa tidak semua yang terkait dengan agama, kemudian ia tidak melakukannya maka ia dianggap kafir. Perhatikan ayat berikut ini:

Baca juga:  Selayang Pandang tentang Khawarij

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿٣﴾ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴿٦﴾ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿﴾٧

Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. orang-orang yang berbuat riya’ , 7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Maun: 1-7).

Ayat di atas memberikan berbagai macam ciri-ciri orang yang membohongi agama. Berbohong dengan agama, bearti membohongi iman sementara iman terkait dengan persoalan tauhid. Namun apakah orang-orang yang tidak mau bersedekah, maka ia batal imannya dan otomatis menjadi orang kafir? Ternyata tidak. Apakah orang yang tidak shalat karena lalai, maka ia kafir? Ternyata tidak juga.

Lebih jelas lagi jika kita melihat pada hadis nabi berikut ini:

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرَاً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. (QS. Bukhari dan Muslim).

Apakah orang yang tidak bicara baik, maka ia kafir dan layak diperangi? Apakah orang yang tidak hormat pada tetangganya bearti kafir dan layak diperangi? Apakah orang yang tidak menghormati tamu maka ia kafir dan layak diperangi? Kenyataannya tidak. Padahal secara sharih hadis tadi menggunakan lafal iman. Para ulama seperti imam nawawi dalam syarah muslimnya menafsirkan iman di sini dengan kesempurnaan iman. Artinya, belum sempurna iman seseorang, manakala ia tidak bicara baik, tidak menghormati tetangganya dan tidak menghormati tamu.

Implikasi dari paham ahli sunnah yang menganggap bahwa politik masuk ke dalam urusan fikih adalah sikap mereka yang cenderung lebih lembut ketika berinteraksi dengan pemerintah yang tidak menerapkan syariat islam. Para ulama ahli sunnah tetap sepakat bahwa  syariat wajib ditegakkan, hanya sarana yang digunakan tidak frontal dengan melakukan pemberontakan. Mereka akan menggunakan sarana-sarana yang legal dan kiranya tidak merugikan nyawa seseorang. Tidak heran jika ulama ahli sunnah kontemporer, seperti Dr. Yusuf Qaradhawi, Khalid Muhammad Khalid, dan lainnya menerima ide demokrasi. Bahkan banyak gerakan Islam seperti Ikhwan Muslimin ikut berkecimpung dalam pembentukan partai-partai politik Islam.

Keberterimaan mereka dengan demokrasi, bukan karena mereka menerima  yang dibuat oleh manusia dengan mengganti hokum Allah. Namun, karena dianggap sebagai sarana yang mudaratnya jauh lebih ringan dibandingkan dengan pemberontakan. Bahkan demokrasi bisa dijadikan sarana untuk memasukkan ide dan gagasan keislaman secara damai. Jika kita buka literatur ahli sunnah, memberontak kepada pemerintahan yang sah dan legal, dianggap bughat. Perbuatan bughat terlarang dan haram.

Dari paparan di atas, kiranya sangat jelas mengenai akar dari paham tauhid al hakimiyah tadi dan implikasinya dalam tataran masyarakat. Ia menjadi akar dari berbagai gerakan Islam radikal yang mudah menumpahkan darah saudaranya sesama muslim. Gagasan ini, ternyata tidak berasal dari Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim. Ia juga tidak berasal dari para ulama ahli sunnah. Akarnya justru berasal dari kelompok khawarij. Oleh karenanya, logika berfikir dan sarana yang dilakukan oleh kelompok Islam itu, tidak jauh dari langkah-langkah khawarij. Tidak heran jika kemudian para ulama menyebut kelompok Islam radikal dengan sebutan neo khawarijma.

 

 

[1] Selengkapnya, lihat, Sayyid Qutb, Ma’âalim fi ath-Tharîq, Dar asy-Syuruq.

[2] Sayid Qutub, al-Aadâlah al- ijtimâ’iyah fil Islâm, Dar asy-Syuruq, hal 183

[3] Ibid, hal. 183

[4] Sayid Qutub, Tafsir Fi zhilalil Quran, Dar asy-Syuruq, jilid 3 hal 1735

[5] Ibid, jilid 2 hal. 1004

Wahyudi Abdurrahim

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Mantan Ketua PCIM Mesir, Mahasiswa S3 di American Open University Cairo Egypt, dan pengasuh tanyajawabagama.com

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar