Santri Cendekia
Home » Temuan Masjid Tua di Tiberias Ungkap Toleransi Para Penakluk Muslim

Temuan Masjid Tua di Tiberias Ungkap Toleransi Para Penakluk Muslim

Sebuah tim arkeolog dari Hebrew University of Jerusalem menemukan bekas-bekas bangunan masjid yang dibangun di masa-masa awal kedatangan Islam di daerah Syam. Ketika pertama kali ditemukan pada tahun 1950-an, sisa-sisa bangunan tersebut diperkirakan sebagai pasar yang kemudian diubah menjadi masjid.

Namun penggalian yang lebih teliti dan dalam oleh tim baru menunjukan bahwa bangunan itu memang sejak awal berfungsi sebagai masjid dan diperkirakan dibangun antara tahun 660 hingga 680 M. Artinya, masjid ini dibangun oleh para penakluk awal yang menduduki kota itu. Sebagai gambaran, upaya menaklukan Levant (Syam) secara lebih terstruktur dimulai oleh Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq pada tahun 634. Puncaknya adalah penyerahan Jerussalem secara resmi kepada Khalifah Umar bin Khattab pada April 637 M. Penyerahan ini ditandai oleh jaminan keamnan dan kebabasan bergama dalam dokumen yang dikenal sebagai Piagam Umar (al’Ahd al-Umariyyah).

Kembali ke Tiberias. Kota yang dinamai dengan nama salah satu Kaisar Romawi ini termasuk kota yang berhasil diduduki selama proses penaklukan tersebut. Menurut Katia Cytryn-Silverman, awalnya para sarjana memperkirakan bahwa penaklukan kota itu ditandai dengan penghancuran besar-besaran. Namun temuan masjid kuno ini mengindikasikan hal yang berbeda. Melihat strukturnya, Silverman berpendapat bahwa masjid tersebut tidak dibangun dengan megah tinggi menjulang. Alih-alih, ia terlihat sederhana, apalagi jika dibandingkan dengan bangunan Gereja dan Sinagog di Tiberias kala itu.

Menurut Silverman, masjid besar baru dibangun pada abad ke-8, sehingga sebelum itu, gereja besar Tiberias tetap menjadi bangunan utama kota itu. Silverman menambahkan bahwa para penguasa Muslim awal itu memakai pendekatan toleran terhadap pemeluk agama lain sehingga terjadi “golden age of coexistence”.

“Bisa anda lihat bahwa pemerintahan Islam awal di sini sangat menghormati poulasi mayoritas kota, yakni para Kristen, Yahudi, dan Samaritan.” Kata Silverman, “Mereka tidak terburu-buru untuk menunjukan kehadiran mereka lewat bangunan, mereka tidak menghacurkan rumah peribadahan agama lain. Mereka bahkan berusaha untuk menyesuaikan diri mereka dengan masyarakat yang mereka pimpin”.

Baca juga:  Antropologi Syariah: Kajian Brinkley Messick terhadap Fikih Zaidiyyah

Sebelum menjadi bagian dari kekuasaan Khilafah Rasyidun, Tiberiasa adalah pusat kesarjanaan Yahudi dan memiliki populasi Kristen yang banyak. Menurut Gideon Avni, arkeolog dengan spesialisasi di masa Late Antiquity, temuan penting tersebut menunjukan bahwa Tiberias tidak secara drastis dan cepat menjadi kota Islam. Proses integrasi Muslim di kota itu berlangsung gradual, meskipun mereka jelas-jelas berposisi sebagai penakluk.

Proses ini mungkin saja dianggap sebagai kebijakan yang dilandasi oleh pertimbangan politis dan strategis. Memang pendekatan paling realistis sebagai minoritas yang menguasai mayoritas adalah dengan tidak menindas mereka. Namun sesungguhnya, tindakan ini berdasarkan petunjuk eksplisit dari Nabi Muhammad tentang etika peperangan, yakni tidak bolehnya menghacurkan rumah ibadah, tidak membunuh non-kombatan, dan memberikan kebabasan beribadah. Apa yang terjadi di Tiberias pun tidak bisa disebut hanya kejadian terisolir, ia adalah bagian dari etika penaklukan Muslim awal, lihatlah misalnya bagaimana hal itu didokuemtasikan dalam al-‘Ahd al-Umariyyah.

 Pertanyaan terakhir mungkin ini; lha penakluk kok toleran? Dalam pandangan kita ide bahwa suatu negeri menginvasi dan mengambil alih terotori negara lain mungkin terlihat sebagai tindakan bar-bar. Namun kenyataannya, sebelum tatanan yang biasa disebut sebagai tatanan Westphalia ini, hal itu adalah sesuatu yang wajar. Di age of empire, batas teritori adalah sejauh mana pasukan suatu kerajaan merengsek. Pada masa itu, semua kerajaan melakukan pengambil alihan teritori. Apa yang penting kemudian adalah tindakan para penakluk setelah itu. Keterangan para arkeolog di atas sebenarnya juga didukung oleh kesaksian-kesaksian tokoh Kristen dan Yahudi di masa penaklukan awal daerah Syam, dibawah para sahabat Nabi. Juan Cole dalam Muhammad: Prophet of Peace Amid the Clash of Empires menukil tokoh Kristen semasa seperti Isho’ab Patriak Gereja Timur dan Yohannan bar Penkaye keterangan tentang toleransi para penakluk Muslim awal itu. Cole juga menukil berbagai bukti arkologi senada dengan temuan di situs masjid kuno Tiberias ini.

Baca juga:  Artificial Intellegence Berfatwa?

 

Sumber;
https://www.theguardian.com/world/2021/jan/28/remnants-of-mosque-from-earliest-decades-of-islam-found-in-israel?fbclid=IwAR0LFOW3VGNVv8MGZB5ph8Jk7LSVURlmjg4bOqcF4BmN0OwbAuVDZdITsu0

 

 

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar