Santri Cendekia
Home » Tentang Alkohol dan Khamr

Tentang Alkohol dan Khamr

Saya mendapati pandangan dari seorang teman di facebook mengatakan bahwa hukum alkohol adalah haram, karena kata ‘alkohol’ sinonim dengan ‘khamr’. Beragam tanggapan dalam kolom komentar: sebagian kecil mengatakan bahwa alkohol berbeda dengan khamr sehingga tidak mesti haram, sebagian besar setuju bahwa nama lain dari khamr itu memang alkohol.

Derivasi dari pernyataan alkohol sinonim dengan khamr menghasilkan komentar seragam bahwa benda apapun yang mengandung alkohol hukumnya haram: minuman, makanan, deodorant, obat, dan lain-lain. Kemudian muncul satu komentar yang kemudian jadi ragu menggunakan sanitizer karena mengandung alkohol.

Dalam perdebatan di kolom komentar itu ada satu bahasan yang absen dari perhatian: alkohol sebagai sebuah benda tidak memiliki status hukum apapun alias netral. Netralitas alkohol itu sama seperti pisau. Apa hukum pisau? Tidak ada.

Pisau akan memiliki status hukum setelah digunakan oleh seseorang (mukallaf). Kalau digunakan sebagai alat bantu memasak, hukumnya boleh. Kebolehannya karena memiliki daya manfaat yang baik. Tapi hukumnya bisa jadi haram ketika digunakan untuk membunuh tetangga sebelah. Keharamannya karena digunakan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam menilai legalitas suatu benda harus dilihat dengan metode kausasi (‘illah).

Metode kausasi dipercaya dapat mengisi kekosongan hukum ketika dua sumber pokok tidak membahas secara spesifik terhadap suatu persoalan. Modal utama dalam penggunaan metode ini adalah adanya hukum dasar (ushul) yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunah al-Maqbulah, kemudian dihubungkan dengan kasus lain (furu’). Menurut Syamsul Anwar dalam Jurnal Tarjih vol. 11 no. 1 tahun 2013 posisi kiri atas mengatakan bahwa metode kausasi ini terdapat dua macam kausa: pertama, kausa efisien (al-‘illah al-fa’ilah); kedua, dan kausa finalis (al-‘illah al-ghaiyyah).

Baca juga:  AI Jadi Kiyai? Yang Sering Dilewatkan dari Perbincangan ‘Islam dan Artificial Intelligence’

Contoh kausa efisien, misalnya, kebolehan buka puasa pada siang hari di bulan Ramadan bagi orang yang berada dalam perjalanan. Alasannya (illat) perjalanan itu adalah suatu yang menimbulkan kesukaran. “Perjalanan” menjadi kausa efisien diperbolehkannya tidak berpuasa. Jadi kausa efisien berfungsi sebagai perantara penetapan suatu hukum. Sedangkan contoh kausa finalis, misalnya, larangan memberi hadiah kepada pejabat dalam rangka menghindari terjadinya kolusi dan korupsi di lingkungan pejabat negara. Jadi tujuan “menghindari korupsi” itu merupakan kausa finalis ditetapkannya keharaman pejabat menerima hadiah. Jadi, kausa finalis itu tujuan hukum yang hendak dicapai.

Dalam kasus alkohol, jika ditinjau dari segi kausa efisien, ketika benda itu dijadikan sebagai bahan minuman sehingga memabukkan, maka status hukumnya haram. “memabukkan” menjadi kausa efisien keharaman alkohol. Namun ketika alkohol dimanfaatkan sebagai alat pembersih bakteri jahat dan kuman, maka status hukumnya boleh. “membersihkan bakteri jahat” menjadi kausa efisien kebolehan alkohol.

Sedangkan kalau ditinjau dari kausa finalis, ketika alkohol digunakan dengan tujuan agar seseorang meninggal, maka status hukumnya jadi haram. Keharaman alkohol karena digunakan dengan tujuan untuk membunuh. “membunuh” menjadi kausa finalis dari keharaman alkohol. Ketika alkohol digunakan dengan tujuan mengobati pasien maka hukumnya boleh. “mengobati pasien” menjadi kausa finalis dari kebolehan alkohol.

Penjelasan di atas memang terkesan sulit mencari titik perbedaan antara kausa efisien dan kausa finalis. Namun tidak terlalu penting memikirkan sisi perbedaan tersebut. Apa yang ingin saya tunjukkan di sini adalah alkohol tidak selalu pararel dengan khamr, sebagaimana yang sering dikesankan sebagian orang.

Khamr sebagai suatu benda hanya memiliki kausa tunggal yaitu membukkan, sehingga status hukumnya hanya satu yaitu haram. Maka tidak tepat jika dikatakan bahwa khamr itu diharamkan karena alkohol yang terkandung di dalamnya. Sebab alkohol sebagai suatu benda kimiawi memiliki beragam kausa seperti memabukkan, membunuh, membersihkan, mengobati dan lain-lain, sehingga dalam menilainya tidak dapat secara monolitik, melainkan harus dilihat dari segi konteksnya.

Baca juga:  Menunggu (Revisi) Fatwa MUI Tentang Ibadah Dalam Situasi Wabah Covid-19

Penjelasan di atas sejalan dengan Fatwa Tarjih yang mengatakan bahwa alkohol tidak selalu sama dengan khamr. Khamr yang mutlak keharamannya baik sedikit ataupun banyak. Berbeda dengan alkohol, sebab semua benda yang di dalamnya mengandung alkohol belum tentu dinamakan khamr. Karenanya kita tidak perlu khawatir menggunakan bahan-bahan yang mengandung alkohol dengan pengecualian, benda tersebut tidak digunakan sebagai sarana mabuk-mabukkan.

Berdasarkan penjelasan di atas nampaknya Majelis Tarjih ingin memberikan satu pelajaran penting bahwa penetapan hukum yang statusnya belum qath’i jangan dilihat secara monolitik (misalnya hanya dihukumi haram), tetapi harus menyeluruh berdasarkan kausa efisien dan kausa final. Dengan pembacaan yang seperti ini, kita akan melihat segala objek hukum dengan adil dan proporsional, tidak melulu halal dan juga tidak selalu haram.

Metode kausasi memungkinkan pembacaan terhadap teks al-Qur’an dan Hadis untuk memandang realitas konkret dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas (juz’iyyah), diperluas radius jangkauan liputan pemahamannya menjadi lebih umum (‘ammah) dan universal (‘alamiyyah). Pemahaman seperti ini menjadikan syariah tidak lagi kaku, eksklusif, non-compromise, tetapi menjadi ummatan wasatha dan bahkan bisa sampai menjadi wajah Islam yang rahmatan li al-‘alamin.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar