Santri Cendekia
Home » Teori Koherensi dan Korespondensi serta Penerapannya dalam Ilmu Hadis

Teori Koherensi dan Korespondensi serta Penerapannya dalam Ilmu Hadis

Pendahuluan

Tulisan ini mencoba untuk memperlihatkan bagaimana teori Korespondensi dan teori koherensi- menjadi tela’ah ilmiah yang bisa diterapkan di dalam ilmu hadis sebagai bagian dari keilmuan Islam. Hal ini, selain ingin menunjukkan bahwa upaya integrasi atau membaca keilmuan Islam dengan pendekatan ilmu lain adalah hal yang sangat dimungkinkan, juga untuk menunjukkan bahwa justru para ulama terdahulu hakikatnya sudah melakukan upaya interkoneksi keilmuan.

Konsep Teori Korespondensi dan Koherensi Sebagai Pendekatan Teoritis Kebenaran

Pembahasan ini, kami ambil dan saripatikan langsung dari tulisan Ernita Dewi dengan judul Meretas Makna Kebenaran dalam Diskursus Filosofis. Menurutnya, terdapat tiga teori yang diakui dapat menguji kebenaran yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau konsistensi dan teori pragmatis. Teori korespondensi adalah sebuah teori yang menganut pemikiran bahwa kebenaran adalah kesetiaan kepada realita. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgment) dan situasi pertimbangan itu berusaha untuk dilukiskan. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyatan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[1]

Kebenaran atau keadaan benar adalah kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sesungguhnya. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, berlarasan dengan realita, serasi dengan situasi aktual. Ringkasnya, dapat disebutkan bahwa kebenaran menurut teori koresponden adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual, antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.[2]

Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran berawal dari Aristoteles yang disebut dengan teori penggambaran yang definisinya sebagai berikut: Veritas est adaequation intellectus et rhei (Kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan). Teori ini kemudian diperkuat oleh Bertrand Russell, yang menerjemahkan teori korespondensi dengan ungkapan bahwa suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu berkorespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu.[3]

Menurut teori korespondensi ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, sebab kebenaran dan kekeliruan tergantung kepada kondisi yang telah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka petimbangan itu benar, jika tidak maka pertimbangan itu salah. Jika saya mengatakan‚ “Ada mobil parkir di depan rumah kita” pernyataan saya tersebut dapat diuji kebenarannya dengan penyelidikan empiris. Teori korespondensi nampaknya mempunyai asumsi bahwa data rasa kita adalah jelas dan akurat, data tersebut menampakkan watak dunia seperti apa adanya.[4]

Teori koherensi atau konsistensi adalah suatu teori yang menganggap sesuatu benar tidak berdasarkan atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain yaitu fakta atau realitas, akan tetapi kebenaran didasarkan atas hubungan antara putusan-putusan itu. Dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya, dalam waktu yang lalu. Teori ini berasumsi bahwa apabila seseorang menerima kepercayaan-kepercayaan baru sebagai kebenaran, maka hal itu semata-mata atas dasar kepercayaan-kepercayaan itu saling berhubungan (cohere) dengan pengetahuan yang telah kita miliki.[5]

Suatu keputusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu diterima dan diketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu yang saling berhubungan secara logis dengan putusan lainnya. Jadi teori ini menempatkan putusan yang satu dengan putusan yang lain saling berhubungan dan saling menerangkan. Maka lahirlah rumusan ‘Truth is systematic coherence” (Kebenaran adalah saling berhubungan yang sistematik, Truth is consistency‛ (Kebenaran adalah konsistensi, kecocokan)[6]

Teori Koherensi adalah uji kebenaran yang paling diterima oleh kelompok idealis, walaupun penerimaan teori ini tidak terbatas pada kelompok itu. Oleh karenanya kita tidak dapat membandingkan pikiran-pikran dan pertimbangan kita dengan dunia seperti apa adanya, teori koherensi menempatkan kepercayaan dalam konsistensi atau keharmonisan dalam pertimbangan kita. Suatu pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Dalam keadaan biasa kita sering mengatakan bahwa pertimbangan adalah benar atau salah karena ia sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang sudah kita anggap benar. Atas dasar ini kita menolak banyak ide yang tidak masuk akal (absurd) dan menganggap beberapa pengalaman sebagai ilusi atau persepsi yang salah. Ide-ide tersebut tidak cocok dengan apa yang telah terjadi dimasa lampau, dan apa yang menurut pengalaman kita dapat diharapkan terjadi suatu saat kelak. Walaupun begitu tidak berarti bahwa kita menolak ide atau kebenaran baru tanpa penyelidikan. Kadangkala fakta atau ide baru muncul dihadapan kita dan menunjukkan pesona kebenaran, akibatnya harus ada peninjauan kembali dari konsepsi sebelum-nya, bahkan mungkin atas seluruh pemikiran. Pandangan tentang alam menurut Copernikus dan teori evolusi dalam biologi adalah contoh dari ide-ide baru yang mendorong pada perubahan besar. Kita menerima teori-teori tersebut karena teori itu memberikan tingkat koherensi dan konsistensi yang lebih besar, teori tersebut menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak dapat diterangkan.[7]

Baca juga:  Kalender Ummul Qurra dan Hilal Awal Ramadhan 1441 H

Pengikut teori koherensi mengatakan bahwa tiap teori kebenaran yang memadai, disamping harus memenuhi beberapa syarat, harus pula menerangkan relativitas kebenaran. Yakni bagaimana sesuatu kepercayaan dapat dianggap benar pada suatu waktu dan salah pada waktu lain. Teori koherensi memenuhi syarat ini. Oleh karena itu tiap-tiap pertimbangan itu hanya bersifat partial (sebagian) jika dipisahkan dari keseluruhan, maka pertimbangan tersebut hanya dari satu segi (one sided) dan hanya memiliki sebagian kebenaran. Dari segi pandangan ini, kebenaran itu membesar dan tidak akan sempurna kecuali jika sudah meliputi realitas. [8]

Ringkasnya teori koherensi menjelaskan beberapa hal yaitu: Pertama, kebenaran menurut teori ini adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, diterima dan diakui sebagai kebenaran. Jika ada kesesuaian dengan pernyataan-pernyataan yang sebelumnya, maka kebenaran sudah ditemukan. Kedua, teori ini agaknya dapat juga dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diterima. Contohnya, ‚ Shri Jawaharlal Nehru adalah ayahanda Indira Gandhi‛ adalah suatu putusan atau pernyataan yang telah kita ketahui, terima dan akui sebagai yang benar.

Teori Pragmatisme merupakan teori ketiga dalam pembuktian kebenaran. Istilah pragmaticisme ini sendiri dipopulerkan pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1893-1914). Pragma berasal dari bahasa Yunani: yang artinya, dikerjakan, dilakukan, per-buatan, tindakan, Teori ini dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut aliran filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada nilai guna atau faedahnya. Bagi seorang pragmatis kebenaran suatu per-nyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa teori X apabila dikembangkan dengan teknik Y akan mampu meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar karena memiliki kegunaan.[9]

Kebenaran menurut teori pragmatisme adalah suatu proposisi benar sepanjang proposisi itu berlaku (works), atau memuaskan (satisfies). Teori, hipotesa, atau idea adalah benar apabila membawa akibat yang memuaskan, jika ia berlaku dalam praktek dan memiliki nilai yang praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaan, hasil, serta akibat-akibta praktis.[10]

Pragmatisme mengatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui subtansi, esensi, serta realitas tertinggi (ultimate reality). Pragmatisme menentang segala bentuk otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Pengikut-pengikut pragmatisme bersikap empiris dalam memberi tafsiran pada pengalaman-pengalaman. Bagi kelompok pragmatisme nilai kebenaran adalah manfaat (utiliy) kemungkinan dikerjakan atau akibat yang memuaskan. Tidak ada perbedaan antara kebenaran mutlak dan statis, kebenaran diberi definisi baru, yaitu sesuatu yang terjadi atas suatu pertimbangan atau idea. Kebenaran terbentuk dalam proses manusia menyesuaiankan diri.[11]

Menurut William James, akal dan segala aktivitas ditaklukkan oleh perbuatan. Akal hanya berfungsi sebagai pemberi informasi bagi praktek hidup dan sebagai pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita. Setelah akal memberi informasi baru, kita mendapatkan suatu keyakinan sementara yang disebut ‚kepercayaan‛ yang merupakan persiapan langsung yang di-butuhkan perbuatan, jadi menurut James akal ditaklukkan oleh perbuatan.[12]

James dalam bukunya the Meaning of truth (Arti Kebenaran), menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum, tetap, berdiri sendiri, dan terlepas dari akal yang mengenal. Pengalaman seseorang selalu berubah karena dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah, kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman khusus. Nilai kebenaran sangat tergantung pada akibat dan pada kerjanya, artinya pada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan.[13]

Penerapan Teori Korespondensi Dan Koherensi Dalam Ilmu Hadis

Baca juga:  [Jurnal] Wacana Studi Interkoneksi Hadis: Telaah Ringkas Pemikiran Hadis Syamsul Anwar

Teori Korespondensi dan Koherensi mendapat arti penting dalam kajian ahli hadis dikalangan ulama ushul fikih. Menurut Syamsul Anwar terdapat perbedaan antara ahli hadis dan ahli fikih dalam memandang hadis. Hadis sebagai bentuk laporan adalah fokus Ahli Hadis. Sementara para ulama ushul fikih lebih menekankan nilai normatifitas hadis dibanding historisnya semata, dalam arti hadis harus mengandung norma-norma agama. Dengan demikian, hadis yang tidak normatif atau sekedar laporan mengenai kenyataan historis semata mengenai Nabi Muhammad saw menurut para ushul fikih dan fukaha tidak lah disebut hadis.[14]

Pentingnya hadis dilihat dari segi normatifnya, menjadikan para Ushul Fikih memasukkan pijakan epistemologis terhadap hadis dengan satu pertanyaan “apakah mungkin mengetahui masa lalu yang berada di luar jangkauan pengalaman inderawi kita dan telah lenyap ditelan waktu untuk selamanya?”

Pernyataan mendasar itu, menyiratkan kebutuhan para ushuliyyun terhadap teori kebenaran yang bisa menopang hadis. Untuk itu perlu ada upaya menganalisa kriteria yang dikembangkan dalam filsafat tentang teori kebenaran. Dari beberapa kriteria tersebut, menurut Syamsul Anwar, ada dua teori yang relevan dalam kajian hadis oleh para ahli ushul fikih. Dua teori itu adalah teori korespondensi dan teori koherensi.[15]

Teori korespondensi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas menyatakan bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan fakta. Sehingga ekuivalensi antara pernyataan dengan fakta adalah ukuran kebenaran menurut teori korespodensi. Contohnya, pernyataan “buah durian itu jadi dari pohonnya” dianggap benar apabila kita menyaksikan buah durian itu jatuh dari pohon. Secara sederhana kebenaran, menurut teori ini ditentukan dengan fakta yang terjadi di lapangan.[16]

teori korespondensi ini pada perkembangannya dipengangi oleh para ahli hadis, yang olehnya disebut sebagai kaum tradisionalis. Hal ini tercermin dalam pemusatan terhadap arti penting sanad. Dalam arti, suatu hadis dianggap benar apabila fakta menunjukkan bahwa sanad hadis itu terdiri atas para pelapor (rawi) yang terpercaya. Jadi sanad yang handal merupakan acuan untuk menetapkan kebenaran suatu hadis. Apabila sanad suatu hadis telah sah karena terdiri dari perawi yang terpercaua maka laporan mereka dapat diterima.[17]

Sementara teori koherensi menyatakan suatu pernyatan adalah benar apabila pernyatan tersebut cocok dan sesuai dengan serangkaian pernyataan lain yang telah diterima kebenarnnya. Dengan kata lain, suatu pernyataan itu benar apabila mempunyai hubungan-hubungan dengan ide-ide atau gagasan dari pernyataan terdahulu yang bernilai benar dalam satu  sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logis dan sistematis.[18]

Teori ini pada perkembanganyya diikuti oleh ahli ushul, atau disebut juga kelompok rasionalis yang merasa tidak cukup atas teori korespondensi. Bagi Syamsul Anwar, adalah suatu yang wajar jika teori korespondensi ini dipertanyakan oleh kaum rasionalis. Sebab persoalannya terletak pada kompleksnya sesuatu bisa disebut fakta. Premis jatuhnya durian adalah fakta yang sederhana di mana langsung bisa diferivikasi. Namun bagaimana jika pernyataannya “Qaem adalah murid teladan”? untuk menyatakan benar pernyataan ini sesuai dengan teori korespondesi, maka perlu dilakukan dulu perumusan dan penetapan fakta murid teladan. Seperti murid yang masuk dan pulang sesuai jam belajar, murid yang melaksanakan tugasnya dengan baik, dan memiliki perangai yang baik kepada guru, dan teman sejawat lainnya. Ditetapkannya perumusan teladan inilah baru bisa ditentukan apakah Qaem murid teladan ataukah tidak.

Bedasarkan ini, Syamsul Anwar memberi beberapa catatan. pertama bahwa yang dimaksud dengan fakta adalah kenyataan yang mewujud terlepas dari subjek yang memikirkannya. Dengan demikian maka fakta senantiasa dihadapkan pada teori yang dijadikan penjelasan dan kerangka acuan. Teori sendiri berwujud proposisi-proposisi, keputusan-keputusan atau pernyataan yang diucap-tuliskan. Proposis, keputusan atau pernyataan yang menyusun teori pun dirumuskan dari fakta-fakta yang ada.

Kenyataan ini, mau tidak mau, menghadapkan teori korespodensi pada teori koherensi, di mana aktifitas hubungannya tidak bersifat kontradiktif, melainkan saling melengkapi. Secara sederhana saling terkait antara dua itu dalam satu lingkaran di mana teori korespondensi menunjukkan kepada kita apa yang kita maksudkan bila mengatakan bahwa suatu pernyatan benar lalu teori koherensilah yang menunjukkan bagaimana menetapkan kebenaran tersebut.

Lebih jauh lagi, jika dikhususkan pada kajian hadis, maka teori korespondensi hakikatnya berwujud kepada teori ketergantungan pada otoritas sanad dan lalu kebenaran itu divalidasi dengan teori koherensi. Setidaknya ada lima kriteria yang bisa menjadi acuan dari diterapkannya hadis pada teori koherensi: (1) hadis yang telah dinyatakan shahih sanadnya koheren dan tidak bertentangan dengan pernyataan al-Qur’an, (2) koheren dan tidak bertentangan dengan penyataan hadis lain yang lebih kuat, (3) tidak syuzuz atau dengan kata lain tidak menyendir dalam masalah yang banyak kejadiannya, (4) tidak ditinggalkan oleh para sahabat dalam diskusi mereka mengenai suatu hukum atau amalan dan (5) tidak bertentangan dengan qiyas dalam hal pernyataan hadis itu diriwayatka oleh rawi yang bukan mujtahid dan fakih.[19]

Baca juga:  Membincang Geliat Bangkit Komunisme Bersama Taufiq Ismail

PENUTUP

            Di era modern sekarang, ilmu tidak lagi berjalan secara parsial, melainkan saling berkaitan sehingga memberikan penjelasan secara universal. Untuk itu, adalah perlu untuk tidak merasa khawatir lagi jika kita hendak mengkaji keilmuan atau wacana keislaman dengan banyak perspektif dan pendekatan. Hal ini selain akan menambah wawasan juga akan mempertajam analisa. Sebab sudah menjadi pengetahuan yang lumrah bahwa hakikatnya dua kubu keilmuan ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling mengisi. Keilmuan yang bersifat empiris kosong akan aspek spritiual yang itu bisa diisi dengan keilmuan Islam. Sebaliknya keilmuan Islam minim sistematika ilmiah yang itu bisa diisi dengan keilmuan empiris.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2007

Dewi, Ernita, Meretas Makna Kebenaran Dalam Diskursus Filosofis, Substansitia Vol. 12, No. 2, Oktober 2010

Saifuddin, Endang, ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya

Suriasumantri, Junjun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994

Syamsul Anwar, “Manhaj Tausiq Mutun al-Hadits inda Ushuliyyi al-Ahnaf”, Al-Jami’ah, No. 65/VI/ 2000

______________,  Pemikiran Usul Fikih al-Gazzali, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015

______________“Kontribusi Ahli-Ahli usul Fikh dalam pengembangan studi Hadis,” Profetika, Vol, No. 1 Januari 2003

Titus, Harold H, living Issues in Philosophy, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

[1] Ernita Dewi, Meretas Makna Kebenran dalam Diksursus Filosofis, Jurnal Substansia Vol. 12 No. 2, 2010

[2] Harold H, Titus, living Issues in Philosophy, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 236

[3] Ernita Dewi, Meretas Makna Kebenran dalam Diksursus Filosofis…, hlm.  358

[4] Ibid, hlm. 237

[5] Ibid.

[6] Endang Saifuddin, ilmu Filsafat dan Agama,(Surabaya: Bina Ilmu, t.th), hlm. 24

[7] Harold H, Titus, Living…, hlm. 239

[8] Ernita Dewi, Meretas Makna Kebenran dalam Diksursus Filosofis…, hlm. 360

[9] Junjun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 59

[10] Endang Saifuddin…, hlm. 27

[11] Harold H, Titus, Living…,hal. 241

[12] Ernita Dewi, Meretas Makna Kebenran dalam Diksursus Filosofis…, hlm. 362

[13] Ernita Dewi, Meretas Makna Kebenaran Dalam Diskursus Filosofis, Substansitia Vol. 12, No. 2, Oktober 2010, hlm. 357

[14] Seperti laporan tentang  gambaran fisik beliau yang tidak ada sangkut pautnya dengan syarak. “Kontribusi Ahli-Ahli usul Fikh dalam pengembangan studi Hadis,” Profetika, Vol, No. 1 (Januari 2003), hlm. 107

[15] Terkait teori kebenaran ini, ditela’ah oleh Syamsul Anwar dari bebarapa buku; di antaranya “Epistemolgi” karya Abbas Hamami Mintareja, “Philosophy of History: An Introduction” karya W. H. Walsh, dan “Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah” karangan F.R. Ankermit.

“Kontribusi Ahli-Ahli usul Fikh dalam pengembangan studi Hadis,” Profetika, Vol, No. 1 (Januari 2003), hlm.113. lihat juga Syamsul Anwar,  Pemikiran Usul Fikih al-Gazzali, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah), hlm. 183

[17] Syamsul Anwar memasukkan Syafi’i dalam kelompok ini. Hal ini bedasarkan pendapat as-Syafii bahwa jika suatu hadis telah tetap dari Rasulullah maka tidak perlu lagi dicari-cari koherensinya. Dalam kitab “ikhtilaf al-hadis” as-Syafi’i menyatakan “sesungguhnya perkataan orang ayng berkata: sunah itu diuji dengan al-Qur’an, jika sesuai dengan zahir al-Qur’an kami terima dan jika tidak sesuai kami pegangi Zahir al-Qur’an dan kami tinggalkan hadis itu, adalah suatu kebodohan. hlm 115

[18] Profetika, hlm. 113

[19] Penulis berpendapat bahwa kriteria ini adalah bagian dari kritik matan. Sedangkan hingga sekarang belum ada kesepakatan para ulama mengenai kriteri kritik matan, yang mana beberapa ulama memang berbeda-beda. Hal ini juga bisa dilacak dalam tulisan Syamsul Anwar yang berbicara tentang kriteri kritik hadis ulama hanafiyah. Dalam tulisan itu, diketahui lima kriteria itu adalah rumusan dari mazhab hanafi yang terkenal dengan kelompok rasionalis. Lebih lengkapnya bisa dilihat di Syamsul Anwar, Manhaj Tausiq Mutun al-Hadits inda Ushuliyyi al-Ahnaf”, Al-Jami’ah, No. 65/VI/ 2000, hlm. 132-166

Qaem Aulassyahied

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar