Santri Cendekia
Home » Tepatkah Kedaruratan sebagai Alasan Vaksinasi?

Tepatkah Kedaruratan sebagai Alasan Vaksinasi?

Saat setelah tulisan ihwal vaksin diposting di web resmi Muhammadiyah, beragam komentar muncul. Salah satu komentar yang paling mengusik benak saya adalah “kalau ada zat haram tetap haram”. Padahal dalam tulisan soal vaksin tersebut telah disebutkan bahwa sekalipun vaksin mengandung komposisi yang haram dapat dihukumi halal dengan alasan istihalah dan daruriyah.

Prinsip istihalah dan daruriyah merupakan dua sumber paratekstual yang keabsahannya diakui para ulama klasik hingga kontemporer. Istihalah merupakan perubahan suatu materi/benda dari wujud aslinya menjadi materi/benda lain yang berbeda zat dan sifatnya. Tentu perubahan ini membawa dampak pada perubahan hukumnya. Misalnya, vaksin yang mengandung unsur babi.

Kita tahu bahwa mengkonsumsi babi hukumnya mutlak yaitu haram. Saya kira tidak ada perdebatan di antara para ulama tentang status keharaman babi. Namun ketika babi tersebut telah bertransformasi menjadi materi/benda lain yang samasekali berbeda dengan bentuk asalnya, maka sesungguhnya punya potensi mengubah status dari yang haram menjadi halal. Kasus ini sama dengan air cuka yang berasal dari khamr.

Penggunaan kaidah istihalah memang menjadi polemik di antara para ulama. Mereka berselisih apakah setiap benda najis yang sudah berubah menjadi benda lain, akan hilang kenajisan dan keharamannya. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa benda najis yang telah berubah, maka kenajisannya pun telah hilang. Sementara Mazhab Syafi’I berpandangan bahwa najis ‘ain seperti babi, meski sudah mengalami perubahan total, hukumnya tidak berubah menjadi suci.

Bagi Mazhab Syafi’’I, perubahan benda najis menjadi benda yang halal dikonsumsi ketika dalam kondisi darurat. Para ulama membatasi bahwa saat kondisi darurat telah lenyap, maka benda najis tersebut kembali ke status semula yaitu haram dikonsumsi. Berbeda dengan istihalah, prinsip daruriyah sebagai metode perubahan hukum ini nyaris tidak ada perselisihan di antara para ulama.

Baca juga:  Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)

Pertanyaannya, apakah pandemi Covid-19 ini pantas disebut sebagai kondisi darurat?

Menurut sebagian pendapat ulama, sesuatu dikatakan darurat ketika keadaan nyata yang sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat, sehingga dapat dianggap pasti akan melenyapkan nyawa seseorang. Seperti tersesat di hutan atau terjebak di dalam goa. Jika pemahaman tentang kondisi darurat hanya berhenti sampai di sini, maka tidak heran bila ada sebagian muslim yang beranggapan bahwa Covid-19 belum masuk kondisi darurat.

Padahal, ulama-ulama kontemporer telah menambahkan bahwa perkiraan di masa depan berdasarkan perhitungan statistik yang benar, dapat dianggap sebagai kondisi darurat, lantaran perhitungan ilmiah tersebut relatif pasti akan terjadi. Kondisi wabah yang terus menyebar luas, menjebol sistem kesehatan, dan tidak jarang mengantarkan kematian, apabila tidak secara cepat dan tepat ditanggulangi, data statistik telah menunjukkan akan adanya bom waktu yang semakin menyebabkan krisis multidimensi.

Kita tahu bahwa wabah Covid-19 telah membuat Rumah Sakit kewalahan, tenaga medis berguguran, usaha gulung tikar, karyawan-karayawan di-PHK, dan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah yang besar harus ditiadakan. Pembatasan kegiatan tentu saja berdampak pada tersendatnya roda ekonomi masyarakat. Jika satu sektor ekonomi tersendat boleh jadi menghasilkan efek domino bagi sektor yang lain.

Beragam dampak domino tersebut dari ekonomi, psikologi, dan spiritual telah kita rasakan. Seorang bapak yang mengundi nasib pada upah harian harus rela menahan rasa lapar, seorang anak yang membutuhkan kasih sayang harus rela berpisah dengan orang tuanya yang terdampak, seorang muballigh harus rela berhenti berkhotbah dari mimbar ke mimbar. Semua itu dilakukan karena khawatir pasukan mikroba parasit sedang mengintai kita di suatu sudut.

Baca juga:  Gua Kahfi, Bilangan Tahun, dan Kesesuaian Gerak Matahari

Salah satu solusi yang dapat diambil dalam menyudahi efek domino dari neraka pandemi ini adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi membuat orang kebal terhadap infeksi dan menghentikan orang yang terinfeksi menularkan penyakit kepada semua orang. Jika kita bisa mendapatkan cukup banyak orang yang kebal terhadap penyakit ini, maka penyakit akan berhenti menyebar dalam populasi.

Karenanya kehadiran vaksin bukan semata-mata menyelamatkan nyawa seseorang, tapi lebih jauh dari itu, untuk menyembuhkan semua sistem agar kembali pulih dan normal. Tidak heran bila para ulama di MUI, Majelis Tarjih, dan Bahtsul Masail memasukkan pandemi saat ini sebagai kondisi darurat. Ketika suatu kondisi telah dikatakan darurat, maka unsur-unsur yang awalnya haram dapat dihukumi halal hingga keadaan kembali normal.

Karenanya, sekalipun vaksin terbuat dari komposisi yang haram seperti babi, maka sesungguhnya halal dikonsumsi. Tentu kita harus memprioritaskan terlebih dahulu yang memang halal, aman, dan efektif sebelum menggunakan unsur-unsur yang haram. Namun selama yang halal masih terbatas atau justru membawa dampak yang tidak baik bagi tubuh, maka lebih baik memanfaatkan benda yang punya efikasi dan kemujaraban yang lebih tinggi.

Aspek kedaruratan yang membolehkan atau menghalalkan sesuatu yang haram ini telah membuktikan bahwa hukum Islam sejatinya shalih likulli zaman wa makan. Ia dapat beradaptasi dengan berbagai situasi yang dihadapi umat manusia. Oleh karena itu dalam sejumlah hal hukum Islam dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan kemaslahatan manusia pada zaman tertentu. Namun tentu saja hukum itu tidak boleh juga asal berubah.

Menurut Syamsul Anwar, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk suatu hukum dapat berubah, yaitu: 1) adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah; 2) hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdlah; 3) hukum itu tidak bersifat qath‘i; apabila hukum itu qat‘i, maka tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba; 4) perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu sesungguhnya tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain.

Baca juga:  Paradigma Ekonomi Syariah: Suatu Tinjauan Kritis

Jika syarat-syarat perubahan hukum ini digunakan untuk melihat status hukum vaksin, maka 1) adanya vaksin membawa pada kemasalahatan yaitu menyelamatkan jiwa dan menyembuhkan sistem sosio-ekonomi yang selama ini tersendat; 2) kehalalan vaksin didukung oleh sejumlah dalil tentang arti penting sehat dan maslahat.

Dengan demikian, komentar netizen di luar sana yang mengatakan “kalau ada zat haram tetap haram” tidak sepenuhnya salah. Yang haram memang selamanya haram. Pada perkara ini tidak ada perdebatan status keharaman babi atau bangkai. Namun, dalam kondisi tertentu unsur-unsur yang haram tadi untuk sementara waktu dapat dikategorikan halal untuk dikonsumsi.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar