Santri Cendekia
Home » Tetap Bertakwa Setelah Lebaran

Tetap Bertakwa Setelah Lebaran

Dr. Ustadi Hamzah, S.Ag., M.Ag*

Sudah beberapa hari kita meninggalkan Ramadhan dan Lebaran. What’s next? Lantas apa? Bingung juga kita menjawabnya. Kita kembali lagi pada aktivitas masing-masing yang seakan-akan tidak terkait dengan Ramadhan dan Lebaran.

Baik, sekarang kita sedikit merenungkan Ramadhan kita. Meskipun cara menyambut dan mengisi ramadhan dan lebaran tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, visi utamanya tidak berubah, yakni menggapai ketakwaan. Takwa merupakan sebuah state of mind, kondisi, keadaan, dan kesadaran dalam diri yang berwatak aktif dan progresif.

Artinya, takwa selalu mendorong orang Islam selalu berpikir ke depan, berpandangan maju, dan berhaluan ingin menciptakan kebaikan-kebaikan yang lebih di masa sekarang dan yang akan datang. Hal ini mengindikasikan bahwa takwa merupakan aktifitas jasmani dan ruhani yang mengehendaki sebuah perubahan dalam kehdiupan manusia. Takwa bukan lari dari kehidupan dengan membenamkan diri dalam wirid dan zikir saja, takwa adalah berbaur dan menyongsong kehidupan.

Kita mungkin sedikit bergeser memaknai takwa dari sebuah keinginan untuk menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan saja yang berdimensi teologis, menuju pada dimensi sosiologis yakni beraktivitas dan berkreativitas dalam mengayuh asa untuk membenahi persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan sosial dan memberikan pemecahan-pemecahan bagi persoalan-persoalan tersebut.

Dengan demikian, tepat sekali penjelasan Allah mengenai siapa orang yang layak menyandang gelar TAKWA itu yakni,

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُواۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah: 177).

Baca juga:  Mengenal Pendekatan Kontekstualisme ala Abdullah Saeed (2)

Penjelasan Allah ini berkait berkelindan dengan pernyataan Rasulullah,

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ  وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه أحمد و الترميذى)

Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada dan iringilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik (karena perbuatan baik itu akan menghapus dosa dari perbuatan buruk), dan bergaullah dengan manusia lain dengan akhlak yang baik … (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Penjelasan Allah dan Rasulullah ini memberi gambaran bahwa sebagai orang beriman, sebuah keniscayaan untuk merujuk Allah dan Rasulullah sebagai pilihan utama dalam menjalani kehidupan ini, serta menegasikan selain Allah dan Rasulullah. Ini lah conditio sine qua non bagi seorang yang hendak diveri redikat takwa. Allah menjelaskan,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.(QS. al-Ahzab [33]: 36)

Acuan-acuan ini memberi penjelasan bahwa orang yang bertakwa hanyalah “berorientasi” pada Allah dan Rasulullah sebagai basis kesadaran, mentality, dan ideologinya. Pada gilirannya nanti ketakwaan itu akan memengaruhi semua sistem pemikiran dan tindakannya.

Lantas, bagaimana jalan pikiran dan nalar orang bertakwa?

Allah sebagai Zat Yang Adikodrati telah membentangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya sebagai objek bagi sistem pemikiran. Allah secara gamblang membentangkan seluruh tanda-tanda kekuasaan-Nya,

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Baca juga:  Video Katy Perry Menghina Islam? Hadapi Sesuai Tuntunan al-Qur'an

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa alQuran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fushilat [41]: 53)

Untuk apa tanda-tanda itu dibentangkan oleh Allah kepada manusia?

Tanda-tanda itu dibentangkan oleh Allah di depan mata kita tidak lain kecuali “hanya” untuk kita perhatikan dengan berpikir, dan setelah itu kita tahu bahwa Allah adalah Zat yang Haqq. Di dalam al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah itu yang tersebar di berbagai surah dan ayat. Tujuannya hanya satu yakni mempertajam kita untuk berpikir.

Akal, merupakan sebuah konsep yang dikenalkan oleh al-Qur’an sebagai sebuah aktifitas jasmani dan ruhani yang melibatkan seluruh unsur kehidupan manusia. Oleh karena itu, Allah tidak pernah menyebutkan kata AKAL dalam bentuk kata benda (noun), tetapi akal dengan segala variasi penyebutannya selalu disebutkan dengan kata kerja (verb).

Ini mengandung pengertian bahwa orang yang berakal adalah orang yang mau menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran dari keseluruhan peristiwa yang dialami. Namun, terkadang kita salah kaprah menyamakan al-‘aql dengan otak, qalb dengan hati. Padahal, aktifitas aql merupakan bentuk berpikir (tafakkur), memahami (yafqahu), melihat (yandzuru), mendengar (yasma’u), merasakan (yasy’uru), mengambil pelajaran (tadabbur), dan kata berakal sendiri (ya’qilu), serta masih banyak lagi pola kerja berakal itu. Semua aktivitas aql selalu melibatkan seluruh potensi manusia, termasuk qalb. Lafaz-lafaz itu salalu dinyatakan oleh Allah dengan kata tanya retorik, “tidakkah engkau …?” yang memberi gambaran untuk melakukan sesuatu secara rasional.

Kata ‘aql sendiri dalam al-Qur’an disebutkan beberapa kali, dan semuanya dinyatakan dalam bentuk kata kerja untuk berpikir. Allah sama sekali tidak pernah mencela aktifitas akal. Namun sebaliknya, kata qalb yang selalu dimaknai dengan hati (kalbu) disebutkan mempunyai “potensi” zaigh (kotor dan cenderung pada perbuatan menyeleweng) — فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ atau bahkan sakit (marîdl)– فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ. Bukan bermaksud mempertentangkan kedua potensi, namun hal ini untuk memberikan ilustrasi bahwa ketika seseorang “hanya” bertumpu pada apa yang disebutnya dengan “hati”, maka “hati” punya potensi kotor dan sakit. Maka, harus integral, menyatu, dalam memanfaatkan potensi ini.

Baca juga:  Gugurnya Narasi Tentang Kiamat di Tengah Wabah

Berpikir mengenai tanda-tanda (ayat-ayat) Allah yang dibentangkan dalam bentuk apa pun yang kita hadapi sehari-hari merupakan bentuk latihan untuk membangkitkan al-aql al-fa’âl (akal aktif) kita. Maka, dalam menghadapi seluruh peristiwa apa pun, akal aktif kita harus di depan, artinya kita harus berpikir secara ‘ârif. ‘Ârif berbeda dengan ‘alim. ‘Ârif adalah pengetahuan dengan kedalaman épistémè, sedangkan ‘alim menekankan pada keluasan pengetahuan.

Berpikir adalah kata kunci orang bertakwa dalam menaiki tangga untuk menjadi seorang yang ‘ârif. Artinya, dengan berpikir kita akan menjadi ‘ârif. Nah, setelah berlebaran kita menjadi orang yang bertakwa yang berarti kita telah “matang” dalam mengaplikasikan kemampuan berpikir rasional kita dalam bertindak dan berperilaku. Karena berpikir merupakan anugrah asali dari Allah, maka berpikir selalu dalam rangka menuju Allah. Ketika kita selalu memikirkan apa pun yang akan kita lakukan dan katakan, maka pada hakikatnya tangga-demi-tangga menuju derajat TAKWA sudah kita pijak. Kalau tangga-demi-tangga sudah kita pijak, kita akan menemukan apa yang disebut dengan “cara beragama yang otentik”, yakni cara hidup mengabdi kepada Allah dengan landasan pemikiran rasional dan logis, bukan kira-kira atau bahkan emosional yang sangat subjektif. Itulah jalan pikiran orang yang bertakwa, dan ini adalah takwa yang baik itu, yakni takwa yang aktif dan progresif. Wallâhu a’lam.

*Penulis merupakan Ketua Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam dan juga Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. selain di UIN Yogya, aktifitas mengajar juga di Universitas Ahmad Dahlan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Ustadzi Hamzah

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

1 komentar

Tinggalkan komentar