Santri Cendekia
Home » Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam

Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam

Setelah santricendekia.com menurunkan tulisan berjudul Tinjaun Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona, banyak pembaca yang bertanya dan berkomentar: Bagaimana kalau orang yang sehat, apakah tetap lebih baik tidak ke masjid atau boleh ke masjid? Tulisan ini bermaksud memberikan penjelasan lebih rinci.

Mengapa Corona Sangat Berbahaya

Sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, corona adalah virus yang sangat berbahaya. Meskipun sebagian ada yang menganggap bahwa tingkat fatalitas virus corona lebih rendah dibandingkan virus-virus yang lain, seperti H7N9 flu burung, Marberg, MERS, SARS, H5N1 flu burung, dan ebola, tetapi bukan berarti virus corona boleh diabaikan dan tidak perlu mendapat perhatian.

Di antara penyebab yang menjadi virus corona berbahaya adalah: pertama, penyebarannya yang cepat karena proses penularan yang cukup mudah. Dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sebagaimana dikutip idntimes.com, penularan virus Corona ini dapat terjadi melalui medium cairan tubuh manusia, seperti ludah atau ingus. Cairan tubuh yang terciprat atau tertempel pada suatu objek sudah lebih dari cukup untuk menularkan virus tersebut.

Kedua, penyebaran virus yang tidak bisa dideteksi. Sebagaimana dilansir  tirto.id, para ahli khawatir akan penyebarluasan virus corona ini karena bisa tidak terdeteksi di tubuh manusia. Dengan kata lain, orang-orang dapat menjalani rutinitas dengan normal, tetapi diam-diam menyebarkan virus corona. Hal ini tentu membuat penanganan menjadi sulit dilakukan.

Ketiga, diprediksi akan adanya virus corona yang lebih mematikan. Para ilmuwan Tiongkok memprediksi kemungkinan munculnya varian virus corona yang jauh lebih berbahaya. Menurut mereka, virus tipe L yang menjangkiti banyak warga Wuhan tampak masih dapat bermutasi dan berevolusi menjadi virus yang lebih mematikan.

Qiyas Aulawi (Analogy of the Superior)

Qiyas secara istilah, seperti diungkapkan oleh ‘Abdul Wahhab Khallaf, adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nas hukumnya kepada suatu kasus yang ada nas hukumnya, dalam hukum yang menjadi ketetapan nas, karena adanya persamaan ‘illah (kausa/ratio legis) [Indonesia: ilat] hukum antara dua kasus tersebut.

Proses pengqiyasan ini tidak boleh sembarangan. Karenanya, ada empat rukun qiyas yang harus dipenuhi. Pertama, al-ashl (pokok), yaitu suatu kasus yang telah ditetapkan hukumnya dalam nas agama. Kedua, al-far’u (cabang), yakni suatu kasus yang tidak ada ketentuan (secara eksplisit) di dalam nas.

Ketiga, hukm al-ashl (ketentuan hukum dari [al-ashl] pokok), yaitu hukum syar’i tentang al-ashl yang ketentuannya telah ada eksplisit di dalam nas. Keempat, al-‘illah, yaitu sifat yang menjadi dasar hukum al-ashl (pokok) dan dasar adanya hukum dalam al-far’u (cabang).

Baca juga:  Observatorium Pra-Islam

Sebagai contoh dari implementasi qiyas adalah pengharaman makanan atau minuman yang dapat memabukkan (al-iskar) dengan mengiyaskannya pada keharaman khamr. Jika dijelaskan lebih rinci menggunakan alur rukun qiyas di atas, maka akan tergambarkan seperti ini:

  • Al-ashl: khamr
  • Al-far’u: segala jenis makanan dan minuman yang memabukkan
  • Hukm al-ashl: haram
  • Al-‘illah: memabukkan (al-iskar)

Dalam usul fikih, qiyas memiliki beberapa jenis, di antaranya adalah qiyas aulawi. Qiyas aulawi (analogy of the superior) ini dapat terjadi ketika ‘illah (kausa hukum) yang terdapat dalam al-far’u (cabang) lebih tegas dan jelas dibanding yang ada dalam al-ashl (pokok). Sebagai contoh dalam al-Quran surat al-Isra ayat 23 terdapat ayat tentang larangan berkata tidak sopan (fala taqul lahuma uffin) kepada orang tua.

Dalam literal ayat ini, yang dilarang adalah berkata tidak sopan. Pertanyaannya, bagaima jika ada seseorang yang memukul orang tua, padahal dalam ayat al-Quran tidak ada ketentuannya secara eksplisit? Dengan menggunakan teori qiyas aulawi, maka dapat dijawab bahwa memukul orang tua jauh lebih kuat larangannya bila dibandingkan hanya berkata tidak sopan.

Hal ini karena ‘illah yang terdapat dalam al-far’u (cabang) lebih kuat daripada yang terdapat dalam al-ashl (pokok). Ilustrasinya seperti ini:

  • Al-ashl: berkata tidak sopan kepada orang tua
  • Al-far’u: memukul orang tua
  • Hukm al-ashl: haram dan dilarang
  • Al-‘illah: menyakiti

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kasus corona? Apakah dapat diqiyaskan? Bagian selanjutnya akan membahas hal tersebut.

Wabah Corona Jauh Lebih Bahaya dari Sekadar Bau Mulut

Dalam suatu kesempatan Rasulullah saw pernah memberikan peringatan kepada para sahabatnya. Peringatan tersebut diperuntukkan bagi mereka yang tidak menghilangkan bau mulut ketika hendak pergi ke masjid. Nabi bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا

Barangsiapa makan bawang merah atau bawang putih, hendaklah ia menjauhi kami, atau beliau mengatakan: Hendaklah ia menjauhi tempat shalat kami (HR. al-Bukhari).

Dalam hadis yang lain diriwayatkan,

عن جابر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا ، فَإِنَّ الْمَلائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang kurrats, maka janganlah dia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang mengganggu manusia (HR. Muslim).

Baca juga:  Awal Syakban 1441 H di Tengah Pandemi Corona

Dua hadis ini bukan menunjukkan bahwa makan bawang atau makan makanan yang memiliki bau tajam adalah sesuatu yang haram. Menurut pendapat yang rajih (kuat), hadis-hadis tersebut hanya menjelaskan sesuatu yang makruh (tidak disukai), yaitu mengkosumsi makanan yang berbau tajam. Bagi yang tetap ingin memakannya, tetap diperbolehkan.

Pesan yang jauh lebih penting dari dua hadis di atas adalah ketidakbolehan (kemakruhan) menghadiri masjid setelah mengkonsumsi makanan yang berbau tajam, dan tidak ada upaya atau memang dengan segaja tidak mau menghilangkan baunya.

Meskipun dalam hadis-hadis tersebut hanya disebutkan beberapa jenis makanan saja, bukan berarti larangan atau kemakruhan tersebut hanya terbatas pada makanan yang disebutkan di dalam hadis.

Al-Nawawi menjelaskan bahwa larangan atau kemakruhan tersebut berlaku pada semua jenis makanan yang memiliki bau tajam. Tidak hanya itu, orang yang mengkonsumsi makanan berbau tajam selain tidak boleh atau setidaknya makruh menghadiri salat jamaah di masjid, juga menghadiri semua bentuk ibadah lain yang memungkinkan berkumpulnya banyak orang.

Menurut al-Baghawi alasannya adalah agar orang-orang yang ada di dalam masjid (atau perkumpulan tersebut) tidak terganggu dengan bau tajam yang dihasilkan. Oleh karenanya, Ibnu Baththal berkesimpulan bahwa larangan atau kemakruhan menghadiri salat jamaah di masjid (dan ibadah lain yang memungkin berkumpulnya banyak orang) adalah pada unsur “dapat merugikan/mengganggu orang lain” (kullu ma yata’adzdza bihi).

Senada dengan Ibnu Baththal, Ibnu ‘Abd al-Barr mengatakan bahwa jika ‘illah (kausa hukum/ratio legis) mengeluarkan orang dari masjid atau melarang menghadiri jamaah di masjid adalah karena dapat menggangu orang lain, maka hal ini dapat diqiyaskan (dianalogikan) pada segala sesuatu yang dapat  mengganggu orang lain yang ada di masjid tersebut, seperti ucapan kasar, berbuat onar di masjid, angkuh, memiliki aroma tak sedap, mengidap penyakit yang berbahaya seperti kusta atau semacamnya, dan apa saja yang dapat mengganggu orang lain di dalam masjid.

Dengan kata lain, ‘illah (kausa hukum/ratio legis) dilarangnya atau dimakruhkannya menghadiri salat jamaah adalah adanya unsur yang (berpotensi) dapat merugikan atau menzhalimi orang lain.

Jika analogi (qiyas) ini digunakan untuk memotret fenomena wabah corona, maka dapat disimpulkan bahwa larangan atau kemakruhannya lebih ditekankan dan lebih tegas daripada larangan menghadiri masjid bagi orang yang berbau mulut. Sebagaimana analogi (qiyas) larangan yang lebih tegas tentang seorang anak memukul orang tua dengan dianalogikan pada larangan berkata tidak baik pada orang tua.

Baca juga:  Berquban dan Donasi Covid-19: Memahami Nalar Ijtihad Muhammadiyah

Pasalnya, virus corona jauh lebih berbahaya dari sekadar bau mulut kita. Tampaknya belum pernah kita membaca penelitian ilmiah atau mendengar berita bahwa ada orang yang meninggal akibat bau mulut kawan, sementara di sisi yang lain kita menyaksikan virus corona hingga hari ini telah memakan banyak sekali korban.

Bagaimana jika orang yang sehat? Sebagaimana disebutkan di bagian awal bahwa di antara faktor yang membuat virus corona sangat berbahaya adalah karena jenis virus ini tidak bisa terdeteksi. Adalah sangat mungkin orang yang secara zahir tampak sehat dan berperilaku normal, tapi diam-diam ternyata dia sedang membawa virus mematikan itu.

Karenanya perlu ditekankan dan digarisbawahi di sini bahwa tidak hadirnya ke masjid dalam konteks wabah corona ini bukanlah bentuk pembangkangan terhadap syariat Islam. Apalagi pengingkaran terhadap takdir Allah. Ia semata-mata adalah bentuk ikhtiyar dalam rangka mencegah (sadd al-dzari’ah) hal mudharat terjadi, yakni penyebaran virus mematikan bernama corona.

Tidak Hanya Masjid

Dengan memperhatikan akibat yang sangat berbahaya dari virus corona, himbauan untuk tidak berkumpul atau berkerumun dalam jumlah yang banyak di satu tempat, seyogyanya tidak hanya berlaku di masjid saja. Tapi juga seharusnya di tempat-tempat lain, baik untuk beribadah maupun melakukan aktifitas lain. Perlu adanya otoritas yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan aktifitas manusia dalam jumlah banyak, agar kemungkinan tersebarnya virus ini dapat diminimalisir.

Jadi, yang harus ditekankan adalah mengurangi kontak fisik, bukan mengurangi kepedulian pada orang lain. Spirit yang harus disebarkan, mengutip Mohamad Shohibuddin, adalah “not social distancing, but physical distancing with social solidarity”. Wallahu a’lam.

***

Bahan bacaan:

‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 2002.

Al-Nawawi, Shahih Muslim bisyarh al-Nawawi, Ttp: al-Mathlab al-Misriyyah.

Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Damaskus: al-Maktab al-Islami.

Ibnu Bathtal, Syarh Shahih al-Bukhari, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.t.

Quthb Musthafa Sanu, Mu’jam Mushtalahat Ushul al-Fiqh: ‘Arabi – Inklizi, Damaskus & Beirut: Dar al-Fikr.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona

Netizen Bertanya Santri Menjawab

Hanya santri. Bukan Mufti.

2 komentar

Tinggalkan komentar

  • Lalu bagaimana hukum merubah adzan ketika wabah corona?ketika di wilayah tersebut blm dalam keadaan darurat?

    • Jawabannya ada di postingan kami yang lain. Monggo merujuk ke situ. Sekaligus ada tata cara azan selama musim pandemi