Santri Cendekia
Home » Tiga Pendekatan Sarjana Barat dalam Mengkaji Islam

Tiga Pendekatan Sarjana Barat dalam Mengkaji Islam

Diskusi ilmiah tentang bagaimana mengkonseptualisasikan Islam sebagai objek penelitian telah lama menjadi isu sentral di antara para sarjana Barat tentang Islam.

Topik diskusi di antara mereka adalah pertanyaan tentang aspek Islam mana yang harus dilihat oleh seorang peneliti ketika dia mengkaji Islam?

Pertanyaan yang lebih umum adalah bagaimana memahami dan menjelaskan Islam itu sendiri?

Sejauh ini, ada sejumlah pendekatan yang dirumuskan oleh para sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk menjawab pertanyaan di atas.

Filologi

Pendekatan pertama adalah pendekatan filologis di mana pendekatan ini mempelajari Islam dari warisan tekstual historisnya, yaitu al-Quran, Hadis, dan karya para ulama dari berbagai disiplin keilmuan (turats). Para sarjana Barat yang menggunakan pendekatan ini disebut dengan orientalis atau islamisis.

Di antara beberapa nama orientalis terkemuka adalah:  John Wansbrough (Quran), Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan Gautier Juynboll (Hadis), Patricia Crone, Bernard Lewis, dan Hamilton Gibb (Politik), Ernest Renan dan TJ D Boer (Filsafat), dan Norman Calder (Hukum Islam).

Dalam satu hal, para orientalis di atas layak menerima apresiasi atas sumbangsih mereka dalam studi Islam. Para orientalis ini menggambarkan Islam dengan citra yang relatif lebih positif untuk terutama dibandingkan dengan kesarjanaan dari periode sebelumnya.

Di abad pertengahan, sebelum munculnya disiplin orientalisme, studi Islam dilakukan oleh para polemicist dengan sudut pandang yang merendahkan, bahkan dengan maksud memusuhi Islam.

Sebagai contoh, tidak jarang dalam kesarjanaan Islam abad pertengahan, Nabi Muhammad digambarkan sebagai seorang penipu. Dia juga ditulis menderita epilepsi. Selain itu, umat Islam diberi label sebagai Hagarenes (kaum Hajar istri nabi Ibrahim), Ishmaelites (kaum Ismail), Saracen, dan bahkan monster (Camille, 1989; Sophia, 2015).

Dalam kesarjanaan orientalis, Islam dibebaskan dari demonisasi abad pertengahan tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mereka menggunakan teks-teks Islam dan referensi primer Arab ketimbang hanya mengandalkan ketidaktahuan dan asumsi seperti yang umum terjadi pada Abad Pertengahan (Alexander Bevilacqua, 2018).

Meskipun demikian, terlepas dari perubahan positif yang telah mereka bawa, para orientalis juga tetap tidak terlepas dari sasaran kritik serius. Edward Said (1978) yang merupakan kritikus awal terhadap orientalisme, menuduh bidang ini sebagai disiplin yang memberikan legitimasi terhadap kolonialisme. Said berpendapat bahwa orientalisme mencoba membangun citra masyarakat Muslim dengan cara-cara tertentu yang memungkinkan penaklukan Barat terhadap mereka.

Pengetahuan dalam pengertian orientalis adalah alat untuk dominasi. Selain itu, di balik orientalisme terdapat rasa superioritas Eropa dan Kristen. Misalnya, tidak jarang ditemukan dalam tulisan para orientalis, pernyataan bahwa Islam agama yang tidak kompatibel dengan sains dan demokrasi modern.

Tidak hanya itu, argumen para orientalis seringkali ahistoris. Mereka memproyeksikan pandangan dunia Barat yang sekuler dalam melihat sejarah Islam pra modern. Karena situasi di awal abad modern di mana dunia Barat sangat hegemonik, banyak para cendekiawan Muslim (terutama kelompok yang melek dengan wacana Barat) yang akhirnya menerima unsur-unsur yang menyesatkan dari pandangan orientalis tersebut. Ada banyak contoh dari narasi ilusif para orientalis yang kemudian ditelan mentah-mentah oleh sebagian umat Islam.

Baca juga:  Tadabbur Surat Al-Lahab (Bag. 1)

Untuk menyebutkan contohnya antara lain klaim mengenai stagnasi filsafat Islam, dimensi negatif taqlid, penutupan gerbang ijtihad dalam hukum Islam, karakter irasional tasawwuf, konsep pemerintahan Islam tentang pemerintahan (al-aḥkām al-sulṭāniyyah) yang despotik, dan banyak isu lainnya. Dengan demikian, posisi orientalisme di dunia Islam sesungguhnya ironis. Di satu sisi, ia dikutuk. Tetapi di sisi lain, pengaruhnya sebenarnya ada di mana-mana.

Setelah serangan serius dari Said beserta sarjana paska kolonial lainnya (Smith, 2013; Massad, 2015; Hallaq, 2018), orientalisme sebenarnya dapat dikatakan telah mengalami kebangkrutan. Hari ini misalnya tidak ada lagi sarjana Barat yang masih bersedia disebut sebagai orientalis.

Namun meskipun demikian, pendekatan filologis sendiri masih populer di kalangan sarjana tentang Islam. Dengan kata lain, metode mengkaji teks tetap digunakan meskipun orientasi dan asumsi dasarnya sudah berubah. Perdebatan yang terjadi tidak lagi tentang supremasi peradaban Barat dan inferioritas dunia intelektual Islam, akan tetapi ke arah isu yang lebih netral.

Dalam dunia kesarjanaan tentang Islam, pendekatan filologis juga tak luput menjadi subjek kritik yang intensif. Ada beberapa kelemahan serius dari pendekatan ini.

Pertama, ia cenderung melakukan esensialisasi terhadap Islam. Dalam pendekatan ini, Islam seperti punya esensi tertentu atau manifestasi hakiki yang secara teologis lebih superior dibandingkan yang lainnya. Dalam pendekatan ini, Islam hanya dilihat melalui kacamata sumber-sumber tekstual yang mengabaikan praktik populer umat Islam. Kritik seperti ini datang terutama dari kalangan antropolog (Lukens-Bull, 2016).

Penggunaan metode ini menyiratkan bahwa Islam Tekstual bersifat universal dan ideal (ortodoks), sedangkan yang bertentangan dengan teks adalah penyimpangan (heterodoks). Mereka yang tidak sesuai dengan teks diberi label sebagai muslim yang menyimpang.

Dalam bahasa Shahab Ahmad (2015), pendekatan ini bertanggung jawab karena telah menyebabkan terjadinya “diminishing the very qualities of plurality, complexity, and flexibility of Islam” (berkurangnya kualitas pluralitas, kompleksitas, dan fleksibilitas Islam).

Kedua, tekstualisme yang berlebihan (over textualism) dalam pendekatan ini telah menghasilkan keengganan untuk melakukan teoretisasi. Shahab Ahmad menyebutnya sebagai “disinklinasi pada teorisasi” (Ahmad, 2015). Pendekatan ini hanya peduli pada partikularitas fakta sejarah tanpa menyajikan sebuah argumentasi umum teoretis yang dapat digunakan oleh bidang keilmuan lainnya.

Para sarjana dari bidang yang lebih umum seperti Religious Studies misalnya mengkritik bahwa pendekatan filologi tidak pernah menyapa atau berdialog dengan mereka. Studi Islam menjadi sangat normatif, terisolasi, dan tidak terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai metodologi studi agama kontemporer (Ernst dan Martin, 2012).

Untuk mengatasi kekurangan metode over-textualism ini, sejumlah sarjana telah menyarankan pendekatan alternatif. Mereka menyebut pendekatan ini sebagai “post-orientalist Islamic studies”. Pendekatan ini menggabungkan filologi yang mempelajari teks dengan teori kritis dan kosmopolitanisme.

Dengan kata lain, filologi didialogkan dengan wacana kontemporer dalam lingkup ilmu humaniora dan sosial yang lebih luas (Ernst dan Martin, 2012). Dalam wajah baru ini, studi Islam menjadi bercorak lebih interdisipliner.

Antropologi

Pendekatan selanjutnya untuk mempelajari Islam adalah antropologi. Pendekatan ini muncul sebagai alternatif dari pendekatan orientalis yang cenderung melakukan esensialisasi terhadap Islam. Tidak seperti orientalis, antropolog mendefinisikan Islam dari sudut pandang para praktisi, bukan dari sumber teks. Perhatian mereka bukan lagi pada kitab suci atau hadis, keyakinan teologis, atau apapun yang terdapat dalam sumber normatif, melainkan pada bagaimana para pengikutnya di tingkat lokal mempraktikkan ajaran Islam.

Baca juga:  Resensi Buku “Metodologi Studi Islam” Karya Abuddin Nata

Di antara yang menekuni antropologi Islam, ada dua yang memperoleh pengakuan luas, pertama adalah teori Clifford Geertz, dan yang kedua adalah Abdul Hamid El Zein. Dipengaruhi oleh metode Max Weber ketika melakukan studi agama dengan cara mengidentifikasi pola budaya dan etos (Matin Asghari, 2004), studi Geertz tentang Islam berfokus pada perkembangan “classical religious style” (cara beragama klasik) Indonesia dan Maroko (Geertz, 1971). Geertz melakukannya dengan membandingkan transformasi corak keislaman di kedua negara tersebut.

Kerangka kerja Clifford Geertz dalam mempelajari Islam ini kemudian dikritik oleh Abdul Hamid El-Zein karena kecenderungannya untuk mencari kemiripan antara dua entitas yang berbeda. Dalam hal ini, menurut el Zen, Geertz sendirinya juga jatuh dalam perangkap esensialisasi Islam yang ingin ia hindari.

Antropolog kedua, Abdul Hamid el Zein, berpendapat bahwa para antropolog semestinya melihat semua manifestasi Islam sebagai setara. Menurutnya, setiap antropolog yang menciptakan hierarkisasi terhadap pelbagai ekspresi keislaman, akan lebih banyak berurusan dengan hal-hal yang bersifat teologis daripada antropologis.

Pendekatan teologis selalu cenderung untuk membuat perbedaan antara “Islam elit” dan “Islam awam” serta mengasumsikan perlunya untuk mencari keaslian atau validitas Islam.

El-Zein berpendapat bahwa seorang sarjana Islam tidak seharusnya mencari struktur dan faktor pemersatu di antara berbagai ekspresi Islam lokal.

Mereka seharusnya lebih peduli untuk mempelajari praktik langsung Muslim atau menganalisis apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh praktisi Muslim ketika mereka melakukan ritual agama. Dalam hal ini, El-Zein menyatakan: “…we have to start from the native’s model of “Islam” and analyze the relations which produce its meaning” (kita harus mulai mengkaji Islam dengan melihat dari model lokal “Islam” dan menganalisis hubungan-hubungan yang menghasilkan maknanya” (1977: 251).

El Zein pada akhirnya mengusulkan untuk meniadakan kategori Islam dalam kajian antropologi itu sendiri.

Kritik pertama terhadap el Zein berasal dari Talal Asad (2009). Dengan menyatakan bahwa studi agama adalah studi tentang jaringan makna yang diciptakan oleh simbol-simbol keagamaan di benak para praktisinya, Asad menyatakan bahwa el Zein telah mengabaikan proses apa yang ia sebut “tradisi diskursif”.

Kritik lain terhadap el Zen paling belakangan datang dari Shahab Ahmad dalam What is Islam (2015). Ahmad berpendapat bahwa dengan menolak untuk mencari Islam yang tunggal, dan lebih memilih Islam yang beragam, el Zein telah menjadikan Islam kehilangan intinya. Dengan framework el Zein ini, apapun asal dilakukan oleh orang Islam dapat menjadi islami. Islam tidak punya satu sifat penciri dan kriteria (akademik) yang menjadi tolak ukur.

Kritik lain Shahab Ahmad terhadap el Zen dan pendekatan antropologis secara umum adalah kecenderungan yang ia sebut sebagai “presentism (kekinianisme)”. Islam hanya dikaji dari aspek lokalitasnya, sehingga ia terisolasi dari kerangka umum Islam sebagai agama universal.

Baca juga:  Memperbarui Taubat di Penghujung Bulan Ramadhan

Pendekatan ini tidak melihat kesinambungan praktik lokal Islam dalam wacana Islam secara umum. Ini pada akhirnya membuat seorang peneliti tidak dapat melihat aspek change (perubahan) dalam Islam.

Untuk mengisi celah yang ditinggalkan oleh Geertz dan el Zen, Talal Asad mengusulkan konsepnya tentang tradisi diskursif dalam Islam. Ia berpendapat bahwa untuk menjelaskan Islam seorang antropolog harus menggambarkan dan menganalisis penalaran khas tradisi Islam yang didasarkan pada Quran dan Hadits (2009: 23). Kontribusi terbesar dari kerangka kerja yang diajukan Talal Asad ini adalah membawa kajian teks pada disiplin antropologi.

Penulis telah banyak menyinggung tentang gagasan Talal Asad ini di beberapa tulisan lainnya. Untuk itu, di sini tidak akan disebut lagi.

Sosiologi

Pendekatan ketiga yang digunakan oleh para sarjana modern untuk mempelajari Islam adalah sosiologi. Menurut pengamatan Ovamir Anjum (2007), pendekatan ini cenderung melihat Islam dari aktivitas sosial umat Islam.

Oleh karena itu, ia lebih suka mengkaji kelompok aktivis muslim seperti Ikhwanul Muslimin, al-Qaeda, ISIS, atau secara umum fenomena yang disebut Islamisme (Islam politik) dalam masyarakat Muslim. Penekanan dari pendekatan ini adalah kondisi struktural dan material yang membentuk ide-ide umat muslim.

Karena sifatnya yang demikian maka tidak mengherankan, menurut pendekatan ini, ide dan perilaku muslim di zaman moderen hanyalah respons terhadap kondisi sosial dan politik zaman moderen itu sendiri. Dengan kata lain, pendekatan ini cenderung melihat Islam sebagai ideologi kontemporer yang berusaha menjawab tantangan hegemoni modernitas dan liberalisme Barat.

Oleh karena itu, aktivisme Islam ditafsirkan sebagai respon dunia ketiga dan perasaan tidak puas terhadap Barat. Bahkan ada pula yang menyebut bahwa Islamisme sebagai praktek manipulatif tradisi Islam (Keddie, 1969; Tibi, 2012; Gelner, 1992; Roy, 1994).

Pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan signifikan.

Pertama, ia mengesampingkan tradisi diskursif Islam yang digunakan oleh umat Muslim yang didasarkan pada teks dan berlanjut ke wacana Islam klasik (Agrama, 2012; March, 2015). Dengan kata lain, pendekatan ini selalu menolak untuk mengeksplorasi reasoning (penalaran) Islam yang berbasis tradisi pra-moderen tentang politik.

Kedua, pendekatan ini mengabaikan agency umat Islam. Mereka dipandang hanya sebagai tawanan atau bentukan kondisi material belaka.

Ketiga, pendekatan ini juga melakukan esensialisasi dan oleh karenanya menjadi reduksionis. Hal itu dikarenakan mereka melihat tradisi Islam dari kacamata tertentu, yang merupakan kerangka sekuler Kristen yang melihat keterkaitan antara agama dan politik sebagai sebuah anomali dan melihat tradisi Islam pada dasarnya apolitis.

Hal ini tentu saja berbeda dengan sifat dasar Islam yang memiliki korelasi kuat dengan politik. Pendekatan ini juga mendefinisikan konsep “tradisi” dengan bias Barat, sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah, dan tidak dinamis. Sehingga apapun yang dilakukan oleh umat Islam modern yang berbeda dengan praktek dan diskursus masa lalu disebut dengan anomali dan keterputusan (rupture) dari wajah Islam yang sebenarnya.

 

 

 

Avatar photo

Muhamad Rofiq Muzakkir

Direktur Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar