Santri Cendekia
Home » Trilogi Tarbiyah Rasulullah (Al-jumu’ah : 2)

Trilogi Tarbiyah Rasulullah (Al-jumu’ah : 2)

Bismillahirrahmanirrahim

Subhanaka la ‘ilmalana illa ma’allamtana, innaka antal ‘alimul hakim

 

 “Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi (buta huruf) seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelumnya mereka benar-benar berada dalam kesesatan. (Al-Jumu’ah : 2)

 

Di ayat Al-jumu’ah : 1, Allah ‘azza wa jalla menerangkan tentang bertasbihnya seluruh apa yang ada di langit dan di bumi. Sedangkan di ayat ini, Allah menjelaskan salah satu bukti tentang ke-Maha Suci-an Dzat-Nya. Bahwa Dzat Allah yang Maha Suci ini, terbebas dari segala macam keterbatasan. Terbebas dari segala macam hukum sebab-akibat, karena Allah lah asbab segala sesuatu. Dari kaum yang ummi (buta huruf) dan terbelakang, Allah Berkuasa memunculkan seorang Rasul akhir jaman yang menjadi Rahmat bagi alam semesta. Dan dari kaum yang ummi ini, Allah berkuasa untuk melahirkan generasi terbaik yang berhasil menaklukan Roma dan Persia, 2 peradaban terbesar di masanya. Dari kaum yang ummi ini, Allah Berkuasa untuk mencetak generasi-generasi terbaik yang mengukir kisah tiada banding dan tiada tanding. Dari kaum yang ummi ini, Allah Berkuasa menjadikan mereka sebagai sebuah generasi yang menjadi blue print bagi ratusan generasi sesudahnya hingga akhir zaman. Dan semua Allah lakukan melalui perantara seorang utusan yang mulia, Muhammad Al-Mushtofa.

 

Setelah itu, Allah ‘azza wa jalla juga menjelaskan bahwa Rasul terakhir ini diutus untuk mendidik kaum yang ummi ini dengan sebuah metode masterpiece yang diejawantahkan dalam tiga tahap: Membacakan Ayat, Menyucikan, dan Mengajarkan kitab dan hikmah. Rasulullah membacakan ayat kepada kaumnya, Yang pertama Rasulullah mengenalkan kaum ini tentang bukti-bukti keberadaan dan kebesaran Allah. Bahwa alam raya ini tidak tercipta dengan sendirinya. Bahwa alam raya ini tercipta melalui kehendak dan perbuatan Allah, dan Allah Yang Maha Hakim senantiasa menciptakan apapun di dunia ini tanpa kesia-siaan. Setelah itu Rasulullah pun menyucikan para pengikutnya. Menarik sekali, mengapa metode penyucian diletakan sebelum metode pengajaran? Betapa banyak orang yang menguasai Al-Qur’an dan berbagai macam ilmu syariat tapi tidak mengantarkannya pada keimanan. Seorang ahli tafsir qur’an di indonesia pernah berstatement bahwa syariat hijab tidak diwajibkan dalam islam. Seorang Profesor wanita dari UIN pernah berstatement bahwa dalam qur’an definisi zaujah (pasangan) tidak harus lawan jenis, yang penting bisa menimbulkan sakinah. Seorang profesor wanita lain yang begitu terkenal telah malang melintang di dunia akademisi dan dunia islam, ternyata menjadi kepala yayasan dari sebuah padepokan sesat DIMAS KANJENG, dan masih banyak contoh lain yang tidak mungkin dijabarkan semua dalam kesempatan ini, sudah sakit jiwa semua ini. Jiwa dan pemikiran yang belum suci, mudah untuk memelintirkan ayat sesuai dengan kebutuhan ataupun kepentingan pihak tertentu. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengambil manfaat dari pengajaran kitab sedangkan sudut pandangya mengenai kitab tersebut saja masih bias dan tidak sesuai koridor yang ditentukan Allah. Maka sungguh, penyucian jiwa harus berjalan lebih dahulu sebelum mempelajari ilmu apapaun, khususnya ilmu Qur’an. Yang terakhir, setelah penyucian jiwa berjalan, barulah dimulai pengajaran kitab dan hikmah. Pengajaran kitab dan hikmah disandingkan dalam ayat ini, karena dua hal ini akan selalu memiliki kaitan yang kuat dalam proses pembelajarannya. Misalnya Menurut Ibnu ‘abbas ra, sepertiga dari qur’an adalah kisah. Itu berarti sepertiga manfaat Qur’an hanya bisa didapatkan apabila kita mau merenungi dan mengambil hikmah dari kisah-kisah yang ada dalam qur’an. Selain itu, hikmah juga merujuk kepada hadistul qouliyah, fi’liyah, dan taqririyah yang tampak dari Rasulullah selama beliau hidup. Sehingga kelak, umat ini akan tepat dalam memahami dan mengimplementasikan ayat-ayat atau dalil-dalil yang ada dalam Qur’an ataupun sunnah. Pernah ada seorang tabi’in yang mencegah kawannya untuk menyerbu barisan musuh sendirian sambil membaca Al-Baqarah ayat 195 “Infakan lah hartamu di jalan Allah dan jangan jatuhkan dirimu dalam kebinasaan…”. Setelah itu, si tabi’in tersebut ditegur oleh Abu hurairah ra, karena ayat tersebut turun bukan dalam konteks seperti yang dipahami oleh si tabi’in, melainkan ayat itu turun untuk mengingatkan kaum muslimin dari kemegahan yang mulai muncul selepas islam memperluas wilayah futuhat (pembebasan) nya. Sayangnya, apa yang perah dilakukan oleh tabi’in ini, sungguh telah banyak terjadi di sekitar kita di jaman ini.

Baca juga:  [Download] Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19

 

Dari ayat ini, hendaknya ada dua pelajaran penting yang wajib kita petik.

  1. Bahwa Rasul pernah membangkitkan sebuah kaum yang ummi menjadi pemimpin peradaban dengan trilogi tarbiyah tersebut. Maka tidak bisa tidak, jika ingin mengulang kejayaan itu, kita harus benar-benar mengulang dan mengimplementasikan apa yang pernah Rasulullah lakukan. Jangan tertipu oleh tipuan teknologi, jerat ekonomi, dan pesona teori terkino. Tsiqah lah kepada Allah, kepada Qur’an, dan kepada Rasulullah. Al haq itu dari Allah, maka janganlah termasuk yang ragu-ragu.

 

  1. Memahami Qur’an dan sunnah, harus dengan hikmah. Bukan dengan metode pembelajaran yang instan, ataupun metode pengambilan dalil mentah-mentah yang pada akhirnya hanya menimbulkan keributan di mana-mana.

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar