Santri Cendekia
Muslim girl studying in library
Home » Tujuan Pendidikan Agama Islam dan Kebodohan Terbesar Menurut Imam Abu Hanifah

Tujuan Pendidikan Agama Islam dan Kebodohan Terbesar Menurut Imam Abu Hanifah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pemikiran Abu Hanifah masih relevan bagi merka  
Tujuan pendidikan adalah aspek terpenting dalam falsafah pendidikan. Darinya para praktisi akan menderivasi materi, metode, pendekatan, dan kurikulum. Imam Abu Hanifah sebagai seorang guru besar di masjid Kufah pada masanya juga mengembangkan tujuan pengajarannya sendiri. Tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi zamannya. Ciri zaman Imam Abu Hanifah adalah munculnya banyak kelompok-kelompok pemikiran sesat dan tersebarnya cara berfikir relatifis. Selain itu kerusakan akhlak juga menjadi dengan berkembangnya pola hidup berfoya-foya di kalangan bangsawan. Jika kita mengamati kondisi zaman kita, sebearnya tidak jauh berbeda. Maka uraian tentang pemikiran pendidikan Imam Abu Hanifah berikut ini, kiranya masih cukup relevan bagi pendidikan agama Islam hari ini.
Keadaan umat Islam pada masanya menjadi basis bagi Imam Abu Hanifah untuk mengembangkan tujuan pengajrannya. Sebab pengajaran yang beliau lakukan adalah bagian dari dakwah. Tujuan pengajaran Imam Abu Hanifah bisa dilacak pada bagian awal al-‘Alim wa al-Mut’allim. Pada bagian awal percakapannya dengan Abu Muti’ tersebut, Imam Abu Hanifah menekankan peran ilmu bagi seseorang Imam Abu Hanifah berkata kepada Abu Muti’ ;
Ketahuilah bahwa sesungguhnya amalan itu mengikuti ilmu sebagaimana anggota tubuh mengikuti penglihatan. Amalan yang sedikit tetapi didasarkan kepada ilmu yang benar, lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi tidak berdasarkan ilmu, sebagaimana seorang yang memiliki bekal yang sedikit (di dalam perjalanan) tetapi pandai menggunkannya lebih selamat dari pada seseorang yang memiliki banyak bekal tetapi tidak tahu cara menggunakannya (al-Kautrasi, 2003 : 582).
Jawaban Imam Abu Hanifah ini, haru dilihat dalam konteks pertanyaan Abu Muti’. Murid Imam Abu Hanifah tersebut bertanya tentang berbagai macam faham keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam ketika itu. Abu Muti’ tidak memiliki ilmu yang cukup dalam membedakan kelompok yang berada di atas kebenaran dan kelompok yang salah. Kegelisahan Abu Muti bisa tergambarkan di dalam pengatar pertanyaannya ;
Seseungguhnya aku menadatkan cobaan (intelektual) dari beberapa kelompok orang yang bertanya kepadaku tentang berbagai macam persoalan yang tidak mampu kujawab. Namun aku juga tidak rela untuk meninggalkan keyakinan yang selama ini kuanggap benar, meskipun aku tidak memilki kapasitas untuk berargumen dengan mereka. Aku yakin bahwa selalau ada orang-orang yang mampu mengungkapkan kebenaran. Sebab kebenaran tidak mungkin tertutupi dan kebatilan berjaya (al-Kautrasi, 2003 : 582).
Menurut Imam Abu Hanifah, peranan ilmu bagi amalan seseorang adalah seperti mata bagi anggota tubuh. Mata memberikan petunjuk tentang arah yang benar dalam bergerak. Seseorang yang matanya tidak sehat, atau buta, akan bergerak secara acak dan hasilnya tentu tidak sebaik orang yang matanya sehat. Begitu pula seseorang yang berilmu akan beramal lebih baik ketimbang seseorang yang tidak berilmu. Olehnya, Imam Abu Hanifah menegaskan bahwa sedikit amal yang berdasarkan ilmu  lebih baik dari amal yang banyak tetapi tidak dilandasi ilmu.
Jawaban Imam Abu Hanifah ini adalah motivasi bagi Abu Muti’ bahwa ilmu memang sangat diperlukan sebelum beramal dan bahwa inisiatifnya untuk mencari ilmu sudah sangat tepat. Sebab ilmu lah yang bisa membedakan kelompok yang benar dari yang salah. Dan itu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas amal. Amalan yang sedikit jika berdasarkan ilmu menjadi baik sebab ia diarahkan kepada jalan yang benar dengan cara-cara yang benar. Sedangkan amalan yang banyak tetapi berlandaskan kebodohan bisa saja mengarah kepada kesalahan dan dilakukan dengan cara-cara yang salah.
Kemampuan membedakan kebenaran (al-haq) dari yang salah (al-bathil) adalah peran utama ilmu bagi Imam Abu Hanifah. Hal itu bisa dilihat dari defenisinya tentang kebodohan yang paling besar, ia berkata :
Jika ada suatu orang (atau kelompok) yang disifati sebagai adil, tetapi ia tidak mengetahui letak kekeliruan pihak-pihak yang bertentangan paham dengannya (dalam masalah akidah), maka menurutku, hal inilah yang disebut kebodohan yang besar (al-Kautsari, 2003 ; 573).
Tentu saja pernyataan ini harus dipahami di dalam konteks akidah atau dasar-dasar agama di mana tidak boleh ada perbedaan dan keraguan di dalamnya. Sebab sejak awal, pembicaraan di dalam al-‘Alim wa al-Muta’allim adalah bahasan-bahasan akidah. Setelah pernyataannya di atas, Imam Abu Hanifah memberikan contoh seorang yang berpegang kepada pendapat yang benar, tetapi masih saja menganggap akidah Syiah, Khawarij, Mukatizlah dan Murji’ah sebagai benar (al-Kautsari, 2003 : 574). Di dalam terminologi modern, mereka adalah kaum relativis. Orang semacam ini adalah orang yang paling jahil dalam pandangan Imam Abu Hanifah. Semua sekte tadi adalah sekte akidah yang muncul atau berkembang di era Imam Abu Hanifah. Adapun dalam masalah fikih, maka Imam Abu Hanifah sangat toleran dan tidak mengklaim kebenaran hanya ada di pihaknya.
Dari pemaparan di atas, bisa dikatakan bahwa dalam pandangan Imam Abu Hanifah pengajaran yang baik harus melahirkan seseorang yang memiliki kecakapan intelektual untuk membedakan kebenaran dari kesalahan. Menetap di dalam sikap ambigu dan relativis dalam persoalan akidah adalah kebodohan yang berbahaya. Itulah sebabnya Imam Abu Hanifah memakai perumpamaan mata bagi ilmu seperti telah disebutkan sebelumnya. Penekanan tersebut (distingsi benar-salah) lahir dari realitas zaman Imam Abu Hanifah yang penuh dengan syubhat. Baik dari dalam tubuh umat Islam sendiri maupun dari luar umat Islam
 Sebagaimana masa kita kini, masa Imam Abu Hanifah memang penuh dengan fitnah pemikiran. Seseorang yang kurang ilmu bisa menjadi bingung. Jika tidak menjadi tersesat, mereka akan menjadi orang-orang relativis yang tidak bisa dengan tegas membedakan kebaikan dan keburukan. Maka pengajaran haruslah mampu mengantarkan para penuntut ilmu untuk mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Sebagaimana para fukaha merumsukan ilmu sebagai shifatun yankasyifu biha al-mathlub inkisyaafan taaman, ilmu adalah keadaan tersingkapnya hakikat sesuatu (Hakim, tt :4).  Selanjutnya, Imam Abu Hanifah juga menegaskan bahwa pengetahuan yang benar harus menambah kualias amal dan membuat hidup seseorang berorientasi akhirat (Marzuk, 2012 :6).

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar