Santri Cendekia
Home » Ujian-Ujian dalam Wabah Covid-19

Ujian-Ujian dalam Wabah Covid-19

Ternyata kita tidak hanya diuji dengan menghadapi dan menghindari wabah ini saja. Namun persoalan-persoalan lain yang merupakan dampak dari musibah ini juga hadir sebagai ujian. Ujian kesadaran diri, ujian kejujuran, dan ujian untuk membantu sesama.

Membaca berita belakangan ini membuat hati merasa tersayat dan geram. Ada orang yang bepergian ke daerah zona merah, namun ketika pulang ke tempat asalnya tidak melakukan karantina, kemudian sakit dan dinyatakan positif covid-19.

Persoalannya dia melakukan kontak fisik dengan banyak orang.  Tentu hal ini berdampak luas. Ada pula yang menolak pasien positif corona, jasad warga bahkan tenaga kesehatan yang meninggal dunia disebabkan covid-19. Ada yang panic buying sehingga membuat orang lain kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup. Ada yang menimbun masker ataupun hand sanitizer sehingga tenaga kesehatan pun dan mereka yang membutuhkan kesulitan untuk mendapatkannya.

Kalaupun dapat, harus dengan merogoh kocek lebih besar. Ada yang lumpuh mata pencahariannya sehingga kesulitan biaya hidup. Ada pula perdebatan panjang dan “sengit” dalam melaksanakan ibadah dalam situasi ini. Tulisan ini memaparkan beberapa ujian tersebut dan bagaimana semestinya kita bersikap.

Ujian Kesadaran Diri

Wabah covid-19 ini menguji setiap orang akan pentingnya ia membangun kesadaran dirinya. Kesadaran untuk menyelamatkan dirinya dari wabah ini, juga kesadaran untuk menyelamatkan orang lain dari menyebarnya wabah ini. Intinya adalah kesadaran setiap individu menjadi salah satu kunci segera berakhirnya wabah ini.

Sebagaimana yang sudah diketahui, wabah ini termasuk kategori epidemi dan pandemi. Epidemi bermakna penyebaran wabah ini terjadi dengan cepat melampaui dugaan. Sedangkan pandemi bermaksud penyakit itu menyebar ke wilayah luas misalnya ke beberapa benua atau bahkan ke seluruh dunia. Saat ini wabah covid-19 sudah masuk kategori bencana global, bukan lagi skala nasional.

Karena itu, sangat tepat pemerintah menginstruksikan untuk menjaga jarak dan fisik, tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak orang, juga tidak keluar rumah jika tidak ada hal-hal yang betul-betul penting. Ini tidak lain adalah dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus ini sehingga penanganannya bisa lebih difokuskan pada penyembuhan pasien yang sudah positif corona atau PDP.

Namun, sangat disayangkan masih ada orang yang tidak “sadar diri” akan keselamatan dirinya bahkan lebih dari itu keselamatan banyak orang. Ia menyepelekan hal ini. Tetap melakukan perkumpulan dengan banyak orang. Ada juga yang bepergian ke daerah lain yang sudah terdampak, justru ia tidak mengkarantina diri ketika telah tiba di tempat asalnya.

Bahkan ada yang dengan angkuh menantang untuk menuju ke tempat corona. Dan dampaknya adalah wabah ini terus menyebar dari waktu ke waktu dan membuat banyak orang resah hingga akhirnya menyalahkan mereka itu karena tidak ada iktikad baik untuk sadar diri. Bukankah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 195 Allah telah mengingatkan bahwa tidak boleh seseorang menjerumuskan dirinya kepada kehancuran. Apatah lagi ini berkaitan dengan masyarakat luas. Ingat, wabah ini menular dengan cepat bahkan di luar dugaan.

Baca juga:  Bisakah “Mengantisipasi Covid-19” Dikategorikan Sebagai Keadaan Darurat?

Mereka yang abai ini telah berlaku zalim. Maka, jika seseorang sadar diri dan mengikuti petunjuk pemerintah dan petuah ulama, maka sejatinya ia telah lulus melewati ujian ini dan telah membantu menebarkan kebaikan bagi masyarakat luas.

Demikian pula dalam hal pelaksanaan ibadah dalam kondisi darurat covid-19 ini. Lembaga fatwa, semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah memfatwakan bahwa shalat berjamaah dan shalat Jumat di Masjid diganti dengan shalat berjamaah dan shalat zuhur di rumah bersama keluarga. Begitu pula fatwa MUI, bahkan Al-Azhar yang masyhur itu.

Saat ini sulit dikatakan bahwa satu orang bisa menguasai beragam keilmuan secara mendalam. Ini tentu karena perkembangan keilmuan yang sangat luar biasa. Maka, dalam hal memberikan fatwa tentang tuntunan ibadah dalam kondisi darurat covid-19 ini,  Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tidak sendirian, namun sudah menelaah secara mendalam berdasarkan rekomendasi para ahli kesehatan, mereka yang mengetahui tentang virus ini. Singkat kata, fatwa ini disusun oleh mereka yang pakar di bidangnya. Bukan asal-asalan.

Namun dalam praktiknya, ada saja sebagian warga Persyarikatan (masyarakat) yang dengan kukuh tetap melaksanakan ibadah shalat berjamaah di Masjid dalam jumlah yang masih besar, bahkan shalat Jumat yang tentu mengumpulkan massa yang lebih banyak lagi. Sejauh yang kami amati, mereka ini banyak yang bukan ahlinya dalam bidang kesehatan, juga hukum Islam. Namun berani tidak mengindahkan fatwa ulama yang jauh lebih shalih dan dalam ilmunya. Bukankah Allah swt berfirman agar hendaknya kita bertanya suatu perkara kepada ahlinya?! Q.S. Al-Nahl [16]: 43.

Ini bermaksud jika bukan ahlinya, hendaknya kita mengikuti perkataan dari para ahli. Bukankah Rasulullah saw juga pernah bersabda bahwa jika suatu urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran [H.R. Al-Bukhari]. Maka, musibah ini juga menguji kesadarann seseorang bagaimana sejatinya ia beribadah dalam kondisi darurat ini. Beragamalah dengan ilmu, bukan dengan perasaan belaka. Jangan sampai karena egois dan kepongahan dalam beragama berdampak pada mudarat yang lebih besar.

Ujian Kejujuran

Ada dua hal yang menyebabkan seseorang tidak jujur dalam hal ini (menghadapi wabah covid-19). Pertama, faktor internal. Faktor internal ini bisa berupa penyepelean dan tidak mau dianggap orang yang terkena covid-19. Di koran online Kompas.com tertanggal 10 April 2020 menyebut bahwa ada pasien positif covid-19 yang tidak jujur saat diperiksa. Padahal ia sempat ke luar negeri dan ke Jogja (zona merah). Akibat ulahnya itu, 76 pegawai RSUD Purwodadi harus menjalani rapid test. Demikian pula, ada beberapa berita serupa di daerah lain di Indonesia yang bisa kita telusuri secara online.

Penulis yakin, banyak yang menutup diri dan tidak jujur dalam hal ini yang tidak terekspos oleh pemberitaan. Padahal kejujuran (sidqun) itu adalah salah satu sifat wajib bagi Nabi yang harus diteladani oleh umatnya. Rasulullah saw. pernah berpesan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lainnya, agar seseorang senantiasa berperilaku jujur. Jujur itu membawa seseorang kepada kebaikan. Selanjutnya, kebaikan itu akan mengantarkan seseorang menuju surga. Maka, jika dengan sengaja tidak jujur karena menyepelekan maka itu adalah bentuk kezaliman. Kezaliman adalah suatu dosa.

Baca juga:  Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

Kedua, faktor eksternal. Faktor eksternal ini bisa berupa stigma negatif dari sebagian orang akan wabah ini. Wabah ini  dianggap suatu aib, celaan, bahkan kutukan. Bisa jadi juga stigma ini dikarekan terlalu paniknya sebagian orang dalam menghadapi musibah ini. Akhirnya mereka menolak dan mengucilkan seseorang yang menjadi korban virus ini. Sehingga, mereka yang memiliki gejala demikian, enggan berkata jujur karena khawatir akan dikucilkan dan didiskriminasi oleh masyarakat.

Untuk itu, demi menunjang kejujuran dari mereka yang memiliki gejala covid-19, hendaknya stigma negatif ini dihilangkan. Memahami wabah ini dengan baik. Ini murni musibah yang terjadi atas izin Allah, bukan aib, hinaan, apalagi kutukan. Dalam Q.S. Al-Taghabun [64]: 11 Allah menegaskan bahwa tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali itu atas izinNya.

Wabah ini bukanlah aib sehingga jangan ditutup-tutupi, berlakulah jujur agar segera bisa ditangani dan segera sembuh. Wabah ini bukanlah aib, maka jangan mendiskriminasi. Tetap tenang, waspada, dan terus memberi kebaikan dan kemanfaatan bagi sesama.

Ujian Kepekaan dan Membantu Sesama

Dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 2 Allah memerintahkan untuk senantiasa saling memberi pertolongan dalam kebaikan dan takwa. Musibah global covid-19 ini menguji rasa kemanusiaan seseorang. Apakah ia temasuk orang yang abai, egois, hanya memikirkan kepentingan dirinya, dan mengambil kesempatan dalam kesulitan? Ataukah ia orang yang tersentuh rasa kemanusiaannya sehingga memikirkan dan berbuat baik bagi sesama?

Belakangan ini kita dibuat prihatin dan juga marah terhadap mereka yang menimbun masker, hand sanitizer, Alat Pelindung Diri (APD), makanan pokok, dan kebutuhan lainnya dengan sengaja untuk mengambil keuntungan sendiri. Demikian pula, kita merasa tersayat hati dan geram melihat adanya penolakan warga terhadap pasien positif corona, bahkan jenazah dari pasien positif corona.

Baca juga:  Tiga Problem Agama di Masa Pandemi

Tidak hanya itu, tenaga kesehatan yang telah mempertaruhkan waktu, keluarga, bahkan nyawanya untuk memberikan bantuan terdepan bagi pasien covid-19 juga mendapat perlakuan diskriminasi dari pengucilan hingga pengusiran.

Banyak diantara mereka yang tertular demi menyelamatkan orang lain. Demikian pula jenazahnya ada yang ditolak. Sedemikian besar jasa mereka, pantaskah diperlakukan demikian? Bukankah ini melanggar perintah Allah? Tidak berpikirkah mereka yang menolak itu seandainya ini terjadi ke atas diri mereka? Muliakanlah sesama dengan saling memberi perhatian, kebaikan, dan kemanfaatan.

Demikian pula, dalam situasi saat ini, banyak orang yang mata pencahariannya menjadi berkurang bahkan terputus. Kepekaan kita diuji terhadap kondisi orang yang demikian. Maka kita yang memiliki kelebihan, sudah semestinya membantu meringankan beban mereka yang kesulitan. Rasulullah saw berpesan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Maka, sejauh mana kita sudah memberi manfaat bagi sesama?!

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

  13. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
  14. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
  15. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)
  16. Bantahan atas Cocokologi ‘Arti Corona dalam al-Quran’

  17. Tata Cara Adzan Saat Darurat Covid-19

  18. Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

  19. Pandemi Corona sebagai Titik Konflik Agama dan Sains

  20. Alokasi Zakat untuk Jihad Medis Melawan Covid-19

 

Muhammad Arif Zuhri

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar