Santri Cendekia
Home » Ulama dan Kemenangan Politik Umat

Ulama dan Kemenangan Politik Umat

Hakikat  Kemenangan

Dalam tradisi Islam, politik dibahas dalam diskursus imamah (suksesi kepemimpinan) dan siyasah (pengaturan negara) yang dijalankan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana ditegaskan dalam kaidah tasarruf al-imam ‘ala ra’iyatih manuthun bi al-mashlahah; semua kebijakan pemimpin terkait rakyatnya, haruslah diarahkan untuk meraih maslahah. Oleh karena itu, peran agama tidak bisa dilepaskan dari politik, sebab agamalah yang menuntun apa yang dimaksud maslahat tersebut. Para ulama merumuskannya di dalam dharuriyat al-khamsah, lima hal yang harus dijaga yakni agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (nasl). Sebagian ulama menambahkan bi’ah atau lingkungan hidup. Oleh karena itu, kemenangan politik harus dimaknai sebagai keadaan dimana dimensi politik kehidupan umat diarahkan untuk benar-benar menjaga tujuan-tujuan syariat tersebut.

Hakikat kemenangan di atas sesuai dengan penegasan al-Qur’an di awal surah al-Fath; “Sesungguhnya kami telah membukakan untukmu kemenangan (al-fath) yang nyata”. Menurut mayoritas mufassir, yang dimaksud al-fath di sini bukanlah kemenangan dalam sebuah perang fisik, melainkan terlaksananya Perjanjian Hudaibiyyah. Dilihat sepintas, perjanjian ini tampak merugikan dan menghambat proses perebutan kembali Mekah. Bahkan dalam klausa perjanjian Hudaibiyyah gelar Rasulullah tidak dikenakan oleh Nabi Muhammad karena ditolak oleh perwakilan Quraisy. Namun dengan perjanjian ini kaum Muslimin bisa menghindarkan pertumpahan darah dan tetap bebas mendakwahkan Islam. Berkat Hudaibiyyah ada banyak sekali suku-suku Arab yang memeluk Islam. Dengan demikian, dua tujuan utama syariat yakni proteksi terhadap agama dan nyawa bisa terlaksana. Maka siyasah tidak selalu berarti menyingkirkan sama sekali musuh Islam dari pentas, tapi memenangkan kepentingan umat yang terangkum di dalam tujuan-tujuan syariat tersebut.

Jika kemenangan politik dimaknai sebagai kemenangan kepentingan umat dan syariat, maka tentu peran ulama menjadi sangat penting. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang peran ulama dalam mewujudkan kemengan politik ini, terlebih dahulu perlu diperjelas siapakah ulama itu.  Secara etimologis, ulama, yakni bentuk plural dari ‘alim berarti pemilik ilmu. Kata ulama sendiri disebutkan dua kali di dalam al-Qur’an dengan makna yang berlawanan. Pertama di surah Fathir: 28 disebutkan bahwa para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah. Adapun penyebutan ulama yang kedua ada di surah al-Syu’ara` :197 yang berbicara tentang ulama Bani Israil yang menyembunyikan dan mengingkarinya kebenaran. Dari dua tipologi ini, maka dalam tradisi Islam lahir banyak uraian tentang dua macam ulama dengan karakteristik berlawanan. Al-Ghazali misalnya membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat.

Dua macam ulama di atas bisa dipahami lebih jelas bila merujuk kepada makna ilmu, sebab para ulama adalah mereka yang memiliki ilmu tersebut. Kata al-‘ilm sendiri berasal dari akar ain lam mim, pembentuk kata ‘alamah yang berarti tanda atau petunjuk yang dengannya sesuatu bisa dikenali. Kata ini semakna dengan ayatun dalam al-Qur’an yang jika ditunjukan kepada alam raya berarti petunjuk untuk megnenal Allah. Olehnya, konsep ilmu dalam Islam sejak awal memang selalu terkait dengan inti ajarannya sendiri yakni mengenal Allah. Jadi, bisa disimpulkan bahwa seorang ulama harus memiliki ilmu yang sebenarnya. Yakni ilmu yang memang sesuai dengan objek ilmu tersebut. Derajat keilmuan seorang ulama dilihat dari seberapa sempurna pemahaman ia terhadap objek yang sedang dikajinya. Namun demikian, yang terpenting adalah bahwa ilmu yang ia miliki mengantarkannya kepada pengenalan dan ketaqwaaan kepada Allah ta’ala. Maka seorang yang hanya memiliki pengetahuan luas dan dalam terhadap sesuatu cabang keilmuan Islam, tidak serta merta disebut ulama. Ia hanya layak disebut ulama jika ilmu itu membawanya semakin dekat kepada Allah dan tercermin di dalam amal kesehariannya. .

Ijtihad Politik Para Ulama

Baca juga:  Akankah Kaligrafi Syahadat Senasib dengan Swastika?

Sepanjang sejarah para ulama telah melaksanakan tugas mereka sebagai pengawal risalah Rasulullah, tak terkecuali di ranah politik. Mereka telah berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihad itu demi mewujudkan kemenangan politik umat. Mereka bahkan tampil ke depan ketika pranata politk mengalami kelumpuhan atau malfungsi. Dalam situasi seperti itu, ulama menjadi murabbi umat. Meluruskan kerusakan ilmu yang berujung pada kemerosotan. Melakukan kaderisasi untuk melahirkan pemimpin masa depan yang unggul. Generasi emas yang akan menggantikan generasi yang terlanjur cacat. Suksesi kepimpinan model ini hanya mampu dilakukan oleh ulama. Sebab merekalah ulama Rabbani, mereka murabbi yang melakukan tarbiyah. Menanam bibit, merawat hati-hati hingga semua potensi umat termaksimalkan. Sesuai dengan medan makna kata-kata tersebut.

Arketipe ulama umat ini salah satunya bisa dilihat pada diri Ibnu Abbas. Sahabat yang langsung didoakan oleh Rasulullah agar mendapatkan kedalaman ilmu agama ini dijuluki oleh sahabat lainnya sebagai rabbaniyu ummah. Terma Rabbani ini merujuk kepada QS Ali Imran: 79. Oleh Imam Thabari, istilah ini dimaknai sebagai sosok yang menjadi penopang kehidupan umat di ranah keilmuan, keagamaan, dan urusan duniawi. Ibnu Abbas membuktikan tepatnya gelar tersebut ketika dengan kecerdasannya beliau mampu menyadarkan banyak anggota kelompok ektremis Khawarij yang telah menyebabkan kekacauan sosio-politik. Pendekatan keilmuan terbukti lebih manjur daripada sekedar diplomasi apalagi kekerasan.

Peran ulama sebagai murabbi umat setidaknya ada dua. Pertama, mereka menyediakan kerangka teoritik dan panduan praktis agar proses perpolitikan tetap  dalam rel syariat. Kita mengenal ulama seperti al-Mawardi dengan Ahkam al-Sultaniyyah, Imam al-Ghazali menulis Nashihatul Mulk dan lainnya. Di Nusantara kita mengenal kitab seperti Bustanu Salatin oleh al-Raniri. Di era modern, usaha-usaha ulama untuk mereformulasi fikih siyasah dalam konteks negara bangsa dan globalisasi adalah kelanjutan dari corak ini.

Baca juga:  Peduli dengan Palestina, tapi tidak dengan Rohingya? Aneh!

Usaha kedua adalah dengan melalukan revolusi pendidikan. Peran ini misalnya dimainkan oleh para ulama beberapa abad kemudian saat terjadi invasi Pasukan Salib. Ketika itu, pranata politik sangat lemah. Khalifah tak berdaya di bawah kendali Bani Buwaihi yang Syiah. Sedangkan gubernur-gubernur semi independen justru berperang satu sama lainnya. Dalam situasi tersebut Imam al-Ghazali dan Nizhamul Mulk serta Syaikh Abdul Qadir al-Jilani melakukan revolusi pendidikan dengan jaringan Madrasah Nizamiyyah dan Qadiriyyah. Berkat usaha kedua ulama ini, terjadilah kebangkitan yang melahirkan generasi Salahuddin al-Ayyubi. Pengamat Barat menyebut periode ini sebagai the Sunni revival. Kebangkitan kembali kekuatan keilmuan dan politik Sunni.   

Di tanah air sendiri, kita mengenal ulama-ulama yang melakukan perjuangan model ini. Contoh paling nyata adalah revolusi pendidikan Kiyai Dahlan. Para sejarawan umumnya sepakat bahwa sebelum hadirnya sekolah-sekolah Muhammadiyah, terjadi dualisme ekstrim pendidikan di Hindia Belanda. Pesantren cenderung antipati pada semua yang dianggap tasyabbuh dengan kafir penjajah sehingga malah tertutup dan tertinggal. Di satu sisi, sekolah-sekolah Gubernemen dan yayasan Kristen menyediakan peluang pendidikan modern dengan resiko tersekularkan atau bahkan murtad. Kiyai Dahlan yang bergaul dengan kalangan santri dan priyayi berpendidikan Belanda menyadari betul hal ini. Usaha pendidikan integratif yang dirintis beliau seperti HIS met de Qur’an berhasil melahirkan generasi yang disebut Kiyai Dahlan kijai kemadjoean; mantap agamanya, luas wawasannya, visioner gerakannya. Ulama tradisional pun akhirnya mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang selama ini tidak ada di pesantren. Sehingga lahirlah santri cendekia yang menjalankan roda politik Indonesia pada generasi setelahnya.

Peran ulama tentu tidak terbatas pada politik pendidikan yang bersifat long term. Ulama juga berperan langsung dalam perpolitikan yang lebih praktis. Di tanah air, kita mengenal ulama-ulama politisi seperti Buya Natsir, HAMKA, Ki Bagoes Hadikusumo dan lainnya. Ulama-ulama kita terbukti bisa menjalankan politik santun, bersih, namun tegas. Setiap gerakan politik mereka diarahkan untuk mewujudkan kemengan politik umat. Dalam kapasitasnya sebagai politis praktis sekalipun, ulama kita hakikatnya sedang mendidik umat. Menunjukan contoh untuk diteladani kader-kader umat yang terjun ke ranah politik praktis.

Baca juga:  Cara Kiyai NU dan Muhammadiyah Merangkul eks-PKI

Peran urgen lain yang selalu dimainkan ulama sejak dahulu hingga kini adalah mengawal kekuasaan. Mereka memberikan nasehat sebagai ahlul halli wal ‘aqdi atau syaikul Islam. Namun terkadang pula harus menjadi oposisi istana demi kebenaran. Mereka tentu menjalankan amanat dari sebuah hadis hasan gharib riwayat Abu Dawun dan Ibnu Majah ini; “Jihad paling utama adalah menyampaikan aspirasi kebenaran di hadapan penguasa tiran”. Tentu saja dalil-dalil lainnya yang lebih umum tentang mencegah kemungkaran menjadi landasan normatif dan motivasi para ulama oposan tersebut. Implementasi aksi-aksi ini tidak jarang dalam bentuk demonstrasi, bahkan menggerakan umat untuk revolusi.

Dalam menilai sikap pemimpin, seberapa jauh ia sudah zhalim dan cara menyikapi yang tepat, kadang muncul perbedaan sikap ulama. Sebagian ulama mengutamakan menjaga stabilitas sehingga lebih banyak memberikan uzur kepada penguasa. Pegangan mereka biasanya atsar yang memang disebutkan Imam al-Ghazali di dalam Ihya, bahwa pemimpin yang zhalim lebih baik dari fitnah (kekacauan sosio-politik) yang berlarut-larut. Sikap ini juga mengakar pada banyak dalil-dalil lebih umum tentang ketataan kepada pemimpin dan kesabaran atasnya, selama syiar Islam masih dibiarkan. Kedua sikap di atas adalah ijtihad ulama untuk meraih kemenangan politik umat yang sejati. Yakni terjaganya syariat dan syiar Islam, tercapainya maslahat bagi umat.

Untuk konteks Indonesia, semua usaha di atas sudah kita lihat. Namun salah satu yang masih kurang dan perlu upaya lebih adalah penyediaan framework politik Islam yang peka zaman. Perpecahan akibat beda aspirasi politik sementara mungkin saja timbul karena belum adanya pedoman politik bersama sesuai konteks Indonesia. Kaderisasi calon politisi Muslim bermartabat juga sangat penting. Semoga kedepannya, suara umat tidak selalu harus “dtitipkan” kepada sosok yang tidak berasal dari rahim kaderisasi umat sebab belum adanya sosok wakil umat yang mumpuni

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar