Santri Cendekia
Home » Ulil Abshar Abdala: Menghapus Stigma JIL

Ulil Abshar Abdala: Menghapus Stigma JIL

Secara resmi didirikan pada tahun 2001 di Jakarta, JIL hadir meramaikan khazanah intelektual Islam di Indonesia. Barangkali awalnya organisasi ini hanyalah kumpulan anak muda polos yang sering nongkrong di Jalan Utan Kayu no. 68 H, di sekitaran komplek Rawamangun Jakarta Timur. Lahan itu difasilitasi dengan baik oleh jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa ‘gila’ yang sering mendisuksikan perihal keberagaman dan pemikiran dalam Islam.

Sejak kemunculannya, JIL mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam, baik secara fisik maupun akademik. Mayoritas umat Islam kontra terhadap pemikiran mereka, namun tak sedikit pula yang mengapresiasinya sebagai dalih pembaharuan. Hal inilah yang kemudian memantik Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama pada tahun 2005, sebab umat mulai resah dengan kehadiran organisasi ini.

Dengan adanya fatwa haram dari MUI, setiap pemikiran yang dijual oleh JIL menjadi kurang laku di pasaran umat. Segala stigma kemudian tersemat pada semua punggawa organisasi yang memiliki misi dialog antar umat beragama ini. Mereka digelari organisasi kafir, kumpulan orang-orang sesat-menyesatkan, aliran menyimpang, Jaringan Iblis Laknatullah dan segala serapah yang kurang sedap keluar dari mayoritas umat Islam Indonesia.

Ulil Abshar Abdala sebagai seorang lokomotif gerakan JIL, tidak dapat lepas dari berbagai kiritikan, caci-maki di mimbar-mimbar masjid dan media sosial hingga bom buku yang mengupas tentang isi kepalanya. KH. Athian Ali dari Bandung mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil. Pemerintah negeri Jiran bahkan memasukan Ulil dalam daftar hitam imigrasi Malaysia. Hal demikian mungkin didasari dari pernyataan Ulil yang seringkali polemis, memancing perdebatan, dan memantik serangan yang bernada fisikal.

Alhasil, Ulil dan JIL menjadi satu kesatuan yang sulit dipecah. Dimanapun kita mendengar kata JIL, pasti yang tergema adalah Ulil. Dan kapanpun kita melihat Ulil, yakinlah yang tersirat adalah JIL. Ulil dan JIL menjadi semacam gula dan rasa manis, yang sudah dari sononya menyatu padu. Namun belakangan ini, Ulil seolah berusaha ingin mengeluarkan rasa manis pada gula. Dia ingin menghilangkan stigma “orang liberal” yang sudah kadung terlanjur mendapat labeling buruk dari masyarakat.

Baca juga:  Temuan Masjid Tua di Tiberias Ungkap Toleransi Para Penakluk Muslim

Hal tersebut dapat dilihat dalam bio akun twitter Ulil tertulis, “Now, I move beyond categories/boundaries.” Sekarang, Ulil bergerak melampaui kategori/batasan. Sebab menurutnya, “Naming is an act of labelling, and it can be deceptive!” Sebuah istilah bisa memenjarakan dan menipu. Bahkan ateisme saja yang dipercayai sebagai puncak kebebasan seorang manusia dari doktrinal agama sekarang ini sedang menjadi sebuah penjara baru, karena memiliki “nama”.

Ulil sendiri mengakui bahwa Pilkada DKI Jakarta kemarin telah membuat dirinya mengalami perubahan paradigmatik. Kasus Ahok menjadi momentum pelepasan Ulil dari stigma JIL yang selama ini memenjarakannya. Bagi Ulil, Ahok itu terlalu berbahaya bagi keharmonisan sosial. Too dangeraous.

Pandangan Ulil terhadap kasus Ahok tersebut adalah sedikit bukti bahwa betapa ia sedang ingin mengkhianati syahadatnya orang-orang liberal yang berbunyi: hak individu lebih utama, bahkan lebih utama dari kebaikan itu sendiri (the right is prior to the goods). Walaupun anggapan ia sedang mencari panggung untuk lakon pragmatisme politiknya, tetapi kalau ditinjau dari peletakan dasar pemikirannya, ia bukan seorang figure intelek yang berpegang teguh pada kaidah “siapa bayar berapa”.

Sebab, Ulil tidak saja melulu nyinyir tentang kaum “ekstrimis”, sesekali ia juga mengkritik ide yang datang dari Barat, yaitu demokrasi. Menurutnya harus adil, jika Islam harus dipaksa sesuai dengan konteks lokal, mengapa kita mengimani demokrasi secara tekstual, seharusnya ada pribumisasi demokrasi di Negara kita. Baginya, jika kita menentang superioritas Arabo-sentrism, maka gaung perlawanan terhadap superioritas Euro/Americano-sentrisme harus lebih besar, salah satunya ide tentang demokrasi itu tadi.

Dengan kata lain, Ulil telah hijrah. Salah satu bukti lainnya adalah artikel yang dimuat di akun facebooknya yang berjudul “Tiga Sikap Atas Kitab Suci”. Di artikel itu ia tidak lagi mendakwahkan perkembangan zaman dan kontekstual menjadi tolak ukur utama dalam memandang ayat Quran, dan tidak lagi menempatkan ayat-ayat Kitab Suci sebagai makmum saja. Ulil kini mulai bergerak ke “tengah”. Saya tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah peristiwa pertaubatan.

Baca juga:  Fatih Seferagic; Jadi Hafidz Karena ‘Paksaan’ Ibu

Perubahan pemikiran terhadap diri Ulil perlu kita tempatkan sebagai sebuah peristiwa yang lumrah dalam dunia pemikiran. Banyak pemikir, yang akhirnya merevisi, menguatkan atau mengembangkan hasil pemikirannya. Nabi Ibrahim pun mengalami perubahan pemikirannya tentang keberadaan Tuhan. Imam al-Ghazali, misalnya, menguatkan pandangannya sendiri tentang filsafat. Bahkan seorang anak kecil takan memandang handphone hanya sebagai alat untuk berkomunikasi ketika semakin beranjak dewasa.

Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena pada prinsipnya umur yang bertambah, penjelajahan intelektual terus-menerus, pengalaman dari berbagai peristiwa diperoleh, seseorang akan mulai menguatkan atau merevisi pandangannya sendiri. Karenanya menjadi sangat “ngaco” kalau tuan-tuan sekalian melihat Ulil yang sekarang dari perspektif pemikiran keagamaannya di tahun 2002.

Kini kita harus benar-benar memisahkan Ulil dan JIL sebagai kesatuan yang berbeda. Organisasi ini seringkali membikin onar, menciptakan keramaian, seolah kegaduhan adalah tujuan utamanya. Sementara Ulil yang sekarang lebih banyak menahan diri untuk berkomentar dan menguar isu keagamaan yang mengundang sikap kontroversi. JIL bukan Ulil, JIL sudah masuk ke dalam neraka paling gelap, sebab perkumpulan ini tidak dapat bersikap netral saat krisis moral.

 

Maaf kalau analisanya ngawur 🙁

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

2 komentar

Tinggalkan komentar

  • “Akhirnya memang kita harus berkompromi atas segala hal. Nah, kompromi itu dianggap mengkhianati ide. Ya tergantung. Kalau kompromi itu sampai melanggar filosofi dasar pemikiran awal, memang itu mengkhianati ide. Tapi kalau kompromi dalam pengertian kompromi sifatnya taktis atau strategis, bukan yang sifatnya ideologis, buat saya itu bukan sesuatu yang diharamkan dalam politik. Bahkan itu keniscayaan.”

    Silahkan interpretasikan sendiri perkataan ulil Di atas dlm wawancara dgn tirto.id