Santri Cendekia
Sumber foto: http://crcs.ugm.ac.id
Home » Umat Islam Kurang Mempelajari Buddhisme: Wawancara dengan Profesor Imtiyaz Yusuf

Umat Islam Kurang Mempelajari Buddhisme: Wawancara dengan Profesor Imtiyaz Yusuf

Pengantar: Tulisan ini adalah terjemahan dari wawancara yang dimuat pertama kali di situsweb CRCS UGM: Muslims don’t study Buddhism enough: An interview with Prof. Imtiyaz Yusuf .

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Niki Alma Febriana Fauzi
Disunting oleh Azis Anwar Fachrudin

***

Umat Islam Kurang Mempelajari Buddhisme: Wawancara dengan Profesor Imtiyaz Yusuf

Dua pemeluk agama terbesar di Asia Tenggara adalah Muslim dan Buddhis. Sekitar 618 juta dari total populasinya, 42 persen adalah Muslim dan 40 persen adalah Buddhis. 25 persen dari 1,6 milyar populasi Muslim dan 38 persen dari 350 juta populasi Buddhis di dunia hidup di Asia Tenggara. Akan tetapi dialog antar-agama antara Muslim dan Buddhis hari ini masih sangat jarang. Untuk mendiskusikan isu ini, salah satu staf CRCS UGM, Azis Anwar mewawancarai Profesor Imtiyaz Yusuf, direktur Center for Buddhist-Muslim Understanding di Universitas Mahidol, Thailand. Mendapat gelar PhD dari Temple University, tempat ia berlajar langsung pada Ismail Raji al-Faruqi, Profesor Yusuf telah menulis sejumlah entri ensiklopedia dan artikel jurnal, serta menjadi kolumnis rutin untuk beberapa surat kabar Thailand. Beberapa karyanya bisa diakses pada akun academia.edu miliknya. Selama semester pendek di CRCS UGM dari 15 Mei hinga 31 Juli, Profesor Yusuf mengajar mata kuliah Hubungan Muslim-Buddhis.

***

Kapan dan bagaimana perjumpaan pertama kalinya antara Muslim dan Buddhis?

Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya ingin menyampaikan satu hal: Indonesia adalah tanah Buddha. Yogyakarta dan Borobudur (yang dibangun pada abad ke-9 pada masa kekuasaan Dinasti Syailendra) merepresentasikan tradisi Mahayana. Dua tradisi Buddhisme yang datang ke Jawa adalah Mahayana dan Vajrayana. Theravada baru datang ke Indonesia agak belakangan. Theravada bermula dari India kemudian ke Sri Lanka, Myanmar, Laos, Thailand, dan Kamboja. Tradisi Mahayana masuk ke Indonesia secara langsung dari Nalanda, India. Raja-raja Syailendra suka memberikan hibah kepada universitas Nalanda, pusat kajian Buddhisme di India pada masa itu. Dan coba lihat bahasa yang anda gunakan setiap hari. Sekarang anda sedang puasa, betul? Puasa berasal dari kata upavasa, sebuah kata dari bahasa Sansekerta. Anda menggunakan banyak kata yang berasal dari bahasa Sansekerta. Indonesia memiliki budaya Hindu-Budha yang kuat. Tapi sayang, orang-orang justru melupakan atau (malah mungkin) mengabaikannya.

Sekarang, saya jawab pertanyaan Anda, kapan perjumpaan pertama kalinya antara Muslim dan Buddhis. Perjumpaan itu terjadi pada abad ke-7 ketika umat Islam datang ke Sindh, yang sekarang merupakan bagian Pakistan. Di sana mereka mendapati kuil-kuil umat Buddha dan para biksu. Muhammad bin Qasim (seorang jenderal dari Dinasti Umayyah) adalah orang pertama yang datang ke sana. Dia lalu menulis (surat) kepada Gubernur Umayyah al-Hajjaj bin Yusuf: Apa yang harus saya lakukan kepada orang-orang non-Muslim itu? Hal pertama yang dikatakan al-Hajjaj bin Yusuf adalah: perlakukan mereka seperti Ahli Kitab (kategori yang umumnya diaplikasikan kepada umat Yahudi dan Kristen—ed.). Instruksi kedua ialah: jangan menyerang para biksu mereka. Instruksi ketiga: jangan hancurkan kuil atau candi mereka. Instuksi keempat: ambil jizyah dari mereka (jizyah adalah pajak kepala yang dibebankan kepada para lelaki dewasa non-Muslim di bawah pemerintahan Islam sebagai kompensasi atas perlindungan dan tiadanya kewajiban militer). Demikianlah dulu umat Islam memperlakukan para Buddhis, jauh sebelum orang Barat mengenal Buddha.

Tiga sarjana Muslim yang merupakan pakar sejarah dan perbandingan agama menggambarkan Buddhisme dengan penuh penghargaan. At-Thabari (838-923) menceritakan bahwa patung-patung Buddha dulu dijual di kuil Buddhis di samping masjid Makh di pasar kota Bukhara, yang sekarang menjadi bagian Uzbekistan modern. Muhammad bin ‘Abd al-Karim as-Syahrastani (1086-1153) pada satu bab berjudul Ara’ al-Hind (Pandangan Orang-orang India) dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, Kitab al-Milal wa al-Nihal, mengidentifikasi Buddha dengan figur al-Khidr yang ada dalam al-Quran sebagai sosok pencerah. Rasyid ad-Din Hamadani (1247-1318), seorang hakim dari Ilkhanid Persia, menulis sebuah pengantar tentang Buddhisme dalam karya monumentalnya, Jami’ at-Tawarikh, dengan tujuan agar ajaran Buddha mudah diakses oleh umat Islam.

Pada abad ke-12 hingga 15, perjumpaan Islam dan budaya Hindu-Buddha di Indonesia, Malaysia, dan Thailand berorientasi mistik. Pesantren-pesantren Islam tampaknya juga dipengaruhi oleh sekolah-sekolah Hindu-Buddha.

Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa Buddha disebut dalam al-Quran.

Dzul-Kifli?

(Dzul-Kifli disebut dalam al-Quran dan biasanya ditafsirkan dengan merujuk kepada nabi Yahudi, Ezekiel. Tetapi beberapa ahli tafsir menafsirkannya sebagai Buddha. Kata “kifl” dapat bermakna “yang berhubungan dengan Kafil”, yang karena ini bisa saja berarti “yang berhubungan dengan Kapilavastu”, sebuah kota kuno tempat Siddartha Gautama lahir dan tumbuh—ed.)

Dzul-Kifli dan Wat-tini (surah ke-95 dalam al-Quran)! Wat-tini waz-zaytun; wa turi sinin; wa hadzal-baladi al-amin. Surah ini lebih penting daripada Dzul-Kifli. Ada empat simbol dalam surat ini. Az-Zaytun adalah Isa (Yesus). Sinin adalah Musa. Al-balad al-amin adalah Nabi Muhammad. Pertanyaannya, bagaimana dengan at-Tin? Tidak ada tin di Arab. Buddha mendapat pencerahan di bawah pohon bodhi, yaitu pohon tin, sejenis buah ara yang memiliki nama botanificus religiosa.

Jika Anda menulusuri pendapat beberapa sarjana, seperi Muhammad Hamidullah (1908-2002, seorang sarjana hukum Islam yang lahir di India dan pengarang dari lebih 250 buku); mereka akan mengatakan bahwa Buddha disebut secara simbolis di dalam al-Quran. Allah berfirman dalam al-Quran, “laqad arsalna rusulan min qablika.” “Kami telah mengutus rasul-rasul sebelum kamu, (yang) sebagian Aku sebutkan, dan sebagian yang lain tidak” (lam naqshush ‘alayk, merujuk pada QS. 40: 78—ed.). Dan Allah mengatakan mereka para rasul datang dengan lisan kaumnya; mereka datang kepada umatnya, berkomunikasi dengan bahasa mereka.

Muslim awam hari ini, yang melihat umat Buddha melakukan ritual di depan patung, menganggap mereka beribadah kepada patung, yang mana hal tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan syirik. Bagaimana komentar Anda dengan anggapan ini?

Gagasan tentang tauhid dan syirik adalah konsep Islam. Dalam ajaran Buddha, tidak ada gagasan tentang syirik. Coba Anda pergi dan tanyakan kepada umat Buddha, dan saya sendiri sudah bertanya pada mereka berkali-kali: apa yang Anda lakukan ketika Anda memberi hormat kepada patung? Mereka menjawab: Kita menghormati ajaran Buddha; kita tidak menghormat kepada patung. Budha mengatakan sendiri: “Aku bukan Tuhan.” Mereka tidak beribadah kepada patung atau batu. Gagasan tentang syirk itu berasal dari konsep agama monoteistik. Jadi, mereka bukan penyembah berhala. Buddha menolak tuhan-tuhan Hindu.

Umat Buddha tidak memiliki tuhan, betulkah?

Umat Buddha bukan orang-orang ateis. Buddha hanya mengatakan tuhan itu tidak penting; manusialah yang penting. Beliau hidup di India, tempat adanya sistem kasta. Beliau tidak mempermasalahkan konsep tuhan. Persoalan yang paling penting adalah menolong sesame manusia yang menderita di bawah eksploitasi sistem kasta Brahmana. Persoalannya adalah bagaiaman Anda akan menyelamatkan kemanusian. Sekali lagi, Buddha mengatakan, beliau bukan tuhan. Beliau adalah guru.

Dalam salah satu makalah Anda tentang Islam dan Buddhisme, Anda berbicara mengenai konsepultimate reality (realitas tertinggi) dalam Buddhisme, dan anda mengaggapnya sebagai sesuatu yang sejajar dengan konsep tuhan dalam agama-agama monoteistik.

Buddha mengatakan bahwa ada Yang Kekal, Yang Tidak Dilahirkan. Tanpa “ketidaklahiran”, tidak ada yang bisa eksis. Itulah yang disebut sebagai Dharma, yang berarti Hukum Abadi, Realitas Tertinggi. Dharma dan tuhan itu sama. Allah juga kekal. Dharma bukanlah orang sosok individu. Allah juga bukan sosok individu. Masalah umat Islam adalah mereka membayangkan Allah sebagai sesosok individu karena mereka bereaksi terhadap umat Kristiani yang telah mempersonifikasikan Tuhan.

Allah memiliki sifat yang menjadi bagian dari Dzat-Nya. Dan sifat-Nya ini bila kayfa; tidak memiliki karakteristik yang menyerupai sifat-sifat manusia. Buddha mengajarkan adanya Dharma, ajaran kekal yang diajarkan oleh para resi, para guru. Dharma adalah “Tuhan” bagi mereka, sama seperti Allah bagi umat Islam.

Masalah kita adalah bahwa kita telah abai untuk mempelajari Buddhisme. Pada masa lalu, di Jawa, Muslim dan Buddhis bisa berdialog bersama karena adanya tauhid dan sunyata. Dalam konsep tauhid, Allah tidak memiliki bentuk. Sunyata juga tidak memiliki bentuk. Inilah mengapa orang-orang Jawa bisa menjadi Muslim, bukan karena jihad atau yang lain; tapi karena kompatibilitas antara tauhid dan sunyata. Al-Quran juga berbicara tentang ummatan wasathan; syariat kita adalah wasathiyyah (moderatisme). Buddhisme juga memiliki konsep Majjhima-pattipada (jalan tengah).

Lebih jauh, Buddhisme yang datang ke Indonesia adalah tradisi Mahayana. Dalam tradisi Mahayana, konsep Bodhisatwasangat penting. Bodhisatwa adalah orang yang akan tercerahkan, tapi dia menunda pencerahannya itu untuk menolong sesama manusia. Dalam Islam kita memiliki konsep yang sama: insan kamil. Kesamaan lain antara Islam dan Buddhisme adalah konsep Nur Muhammad dan konsep Tathagata tentang Buddha yang tercerahkan.

Jadi banyak sekali kesamaan antara Islam dan Budhisme. Masalahnya adalah umat Islam enggan mempelajari Budhisme. Umat Islam memiliki sejarah panjang hubungan dengan umat Kristiani sementara tidak banyak keharmonisan yang terjadi antara mereka. Sementara di sini, di Asia Tenggara, di negara-negara ASEAN, Muslim dan Buddhis tercatat menjadi populasi mayoritas, sekitar 40-40 persen, tapi kita tidak mengenal satu sama lain. Dalam rentang waktu 900 tahun koeksistensi Islam dan Buhdisme, dari abad ke-12 hingga abad 21, saya harus minta maaf untuk mengatakan ini: tidak ada satu pun sarjana Muslim yang menjadi pakar Buddhisme di Asia Tenggara.

Melanjutkan penjelasan Anda, mengapa umat Islam di Asia Tenggara abai untuk mempelajari Buddhisme?

Sejak zaman kolonial, umat Islam terjerumus ke dalam masalah perebutan kekuasaan. Umat Islam yang sebelumnya berkuasa, termasuk di Asia Tenggara, tiba-tiba kehilangan kekuasaan melawan Belanda, Inggris, Perancis, dan lain-lain. Tradisi mempelajari “yang lain” tidak bisa berkembang karena ruangnya hilang, yang kemudian dikuasai orang-orang asing yang mengacaukan budaya dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Umat Islam lalu kemudian abai untuk mempelajari agama-agama di Asia, seperti Buddhisme, Shivaisme, Konfusianisme, Taoisme, karena kita tidak punya banyak waktu; kita telah kehilangan kekuasaan. Umat Buddha juga kehilangan kekuasaan mereka. Dhamaraja terakhir di Myanmar diasingkan oleh Inggris ke India. Dhammaraja-Dhammaraja Buddhis yang lain juga dibuang atau diasingkan. Hanya satu Dhammaraja yang masih ada, yaitu di Thailand, yang tidak terjajah dan masih memiliki tradisi raja Buddhis. Thailand adalah negara Buddhis terbesar di Asia Tenggara.

Di sisi lain, para penjajah telah membuat agama bercampur dengan identitas etnis. Agama telah teretniskan. Jika Anda adalah orang Melayu, maka Anda adalah Muslim. Jika Anda adalah orang Siam, maka Anda seorang Buddhis. Jika Anda orang Burma, maka Anda seorang Buddhis.

Jadi, masalah kita adalah di satu sisi ada pengabaian untuk mengkaji agama-agama lain, dan di sisi lain ada etnifikasi agama.

Bisakah Anda jelaskan secara singkat kepada kami tentang sejarah umat Islam di Thailand? Satu hal yang paling sering kita dengar hanyalah tentang Muslim Pattani.

Izinkan saya terlebih dahulu menjelaskan sedikit tentang Pattani. Konflik Pattani pada dasarnya adalah konflik antara orang Siam dan orang Melayu. Jika hari ini Anda tanya ke orang-orang Pattani, dan saya sendiri pernah tinggal di sana selama lima tahun, maka mereka akan mengatakan “kita orang Melayu dan kita dikuasai orang Siam”. Konflik tersebut terjadi antara dua kerajaan: kerajaan besar Siam dan kerajaan Pattani.
Dalam sejarah Siam, ada imigran Muslim dari Persia, India dan berbagai daerah bagian Malaysia (Kedah dan Perlis). Saya membagi jenis umat Islam di Thailand sebagai berikut:

Di Thailand bagian selatan (Pattani, Yala, Narathiwat), yang berhasil dikuasai oleh Siam ratusan tahun lalu, mereka adalah Muslim Thailand selatan yang berbicara bahasa Melayu (Malay-speaking Muslims of Shouthern Thailand). Mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu dan tidak berbicara bahasa Thai. Jadi, konflik Pattani itu berlapis-lapis: isu identitas kesukuan (Siam dan Melayu), bahasa (bahasa Thai dan Melayu), dan agama. Masalah konflik Pattani pada dasarnya adalah masalah dua identitas etno-religius.

Di Thailand selatan bagian atas, ada Muslim Melayu tapi berbicara bahasa Thai. Mereka adalah orang-orang dari Kedah dan Perlis yang bermigrasi ke Thailand karena motif ekonomi; tidak ada perbatasan pada waktu itu, dan mereka juga tidak memiliki kerajaan. Mereka datang ke Nakhon Sithammarat, Phuket, Phanga, Krabi, dan lain-lain.

Di Bangkok, ada orang-orang Persia yang telah ada di sana sejak 400 tahun, dari zaman Raja Narai (berkuasa pada 1633-1656). Ada juga Muslim Cham, yang bermigrasi dari kerajaan Champa dan mereka bekerja sebagai prajurit untuk Raja Chulalongkorn (yang berkuasa pada 1868-1910). Di Bangkok, ada tempat yang disebut Makkasan, dekat kedutaan besar Indonesia; di sana ada Muslim Makassari dan setiap tahun mereka merayakan ulang tahun Raja Chulalongkorn, karena sang raja telah memberi mereka perlindungan dan mereka sangat berterimakasih kepadanya.

Ada juga tempat lain di Bangkok yang disebut Kampong Jawa, tempat orang-orang Jawa bermukim. Jika anda ingin makan makanan Jawa, pergilah ke sana. Salah satu anak laki-laki Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia) pernah tinggal di Masjid Jawa di Kampong ini. Orang ini datang bukan sebagai anak kiai; dia datang pertama kali sebagai marbut masjid. Namun lambat laun orang-orang di sana tahu bahwa lelaki ini adalah anak dari Ahmad Dahlan. Dia kemudian mempengaruhi beberapa pengusaha Muslim penting di Thailand dan para pembaharu di sana, salah satunya adalah saudara ipar saya, yang menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Thai.

Kelompok Salafiyyah di Thailand—saya telah menulis satu makalah tentang ini—bukanlah Salafi-Wahabi. Salafi reformis datang ke Thailand pada tahun 1926 seiring datangnya sarjana Muslim Indonesia bernama Ahmad Wahab, yang belajar di Mekah sebelum kembali ke Indonesia dan sesudah itu diasingkan ke Thailand. Ahmad Wahab diasingkan ke Thailand oleh otoritas pemerintah Belanda karena keterlibatannya dalam gerakan reformis Muhammadiyah dan kiprah politiknya di Sarekat Islam.

Di Bangkok, Ahmad Wahab bersama dengan Muslim Thai yang berpikiran sama seperti Direk Kulsiriswad dan lain-lain mendirikan perkumpulan Ansorusunnah pada tahun 1930-an dan juga Jamiyatul Islam pada tahun 1950-an. Pengaruh pemikiran keagamaan Ahmad Wahab dalam kehidupan Muslim Thailand meluas ke bagian utara dan selatan Thailand. Pengaruhnya ini meluas hingga ke Muslim Chiang Mai dan Chiang Rai yang berbahasa Thai di bagian utara dan daerah Pak Prayoon di provinsi Phatthalung dan daerah Nakorn Sithammarat di Thailand selatan bagian atas.

Di Bangkok ada juga komunitas Muslim India, terdiri dari orang-orang Kerala dan Tamil. Mereka juga datang pada masa Raja Chulalongkorn.

Sekarang mari beranjak lagi, ke Thailand bagian timur laut. Di sini ada Muslim Pathan. Mereka datang dari Afghanistan. Mereka bermazhab Hanafi. Mereka adalah prajurit yang dibawa ke sana oleh Inggris. Ada banyak pengusaha ternak di sana. Kebanyakan industri halal di Thailand ada di tangan-tangan Muslim Pathan ini.

Sekarang kita lanjut ke Thailand Utara, ke Chiang Mai dan Chiang Rai. Di sana Anda akan menjumpai dua jenis Muslim. Mayoritas adalah Muslim China yang datang dari Yunan, bagian selatan China. Mereka dulu adalah bagian dari partai Kuomintang dan loyal kepada Sun Yat Sen yang melarikan diri ke Taiwan. Ketika Mao Tse Tung menguasai China, orang-orang Muslim ini awalnya melarikan diri ke Burma, baru kemudian ke Chiang Mai dan Chiang Rai. Mereka bermazhab Hanafi. Dan mereka adalah Muslim yang paling berkembang di antara komunitas Muslim di Thailand. Umat Islam yang lainnya adalah Muslim Bengalis, yang datang mencari mata pencaharian dan berpindah dari Bengal ke Burma, lalu kemudian ke Thailand.

Orang-orang sering berpikir tentang Pattani, padahal hanya 44 persen Muslim di Thailand yang hidup di sana. Sisanya tersebar ke bagian negara lain. Dalam parlemen terakhir dari pemilu tahun 2007, ada 23 anggota parlemen Muslim dan hanya sebelas dari mereka yang berasal dari Pattani.

Bisakah kita mengatakan bahwa konflik Pattani adalah suatu insurgensi?

Konflik Pattani adalah suatu insurgensi, seperti di Kashmir, Papua, Palestina; dan konflik itu adalah konflik etno-religius. Mereka nasionalis. Mereka ingin identitas Muslim-Melayu mereka diakui. Ada kelompok separatis, tapi kebanyakan hanya ingin otonomi. Pemimpin gerakan ini adalah Haji Sulong yang pada masa Pibhunsonkhram mengirimkan tujuh tuntutan kepada pemerintah Thailand. Hanya satu dari tujuh tuntutan itu yang berhubunan dengan agama. Sisanya adalah tentang identitas kesukuan, bahasa, jabatan gubernur, administrasi, dan tuntutan politik lain.

Kapanpun ada insurgensi, dan para insurgen itu adalah Muslim, kelompok teroris seperti al-Qaeda atau ISIS biasanya akan datang mengambil kesempatan. Apakah kelompok-kelompok tersebut masuk ke Thailand?

Tidak, mereka tidak bisa datang ke sana. Banyak orang Barat setelah peristiwa 9/11 datang mencari teroris atau jihadis di Thailand Selatan, tapi mereka tidak menemukan satu pun. Muslim Pattani tidak mencita-citakan negara Islam. Sikap mereka jelas dalam hal ini. Mereka mengatakan: perjuangan kita adalah nasionalisme. Coba baca narasi mereka. Narasi mereka adalah tentang sejarah kerajaan Pattani masa lalu, bukan tentang negara Islam. Kerajaan Pattani pernah memiliki tujuh perempuan sebagai sulthanah (ratu) Pattani. Dalam negara Islam, bisakah anda memiliki seorang ratu? Tidak.

Berpindah ke negara di samping Thailand, saya duga ada kasus yang sama seperti yang terjadi di Thailand dalam kasus Rohingya di Myanmar.

Dalam persoalan Rohingya, pertama, ada elemen rasisme. Orang-orang Rohingya secara etnis adalah Bengalis. Mereka adalah orang Asia Selatan seperti saya, bukan orang Mongoloid seperti Anda. Myanmar berlokasi di perbatasan georafis di mana ras Arya berhenti dan ras Mongoloid mulai. Kebanyakan orang Rohingya berasal dari Arakan/Chittagong, yang sekarang menjadi bagian dari Myanmar dan Bangladesh. Mereka berpindah ke Myanmar karena motif ekonomi. Ketika mereka datang ke Myanmar, mereka menjadi beban ekonomi. Masyarakat lokal di sana tidak ingin ada orang asing datang.

Awalnya ada negara yang disebut Arakan. Negara Arakan berbatasan dengan Chittagong, yang menjadi bagian dari Bangladesh. Tidak ada perbatasan pada waktu itu. Ada raja Arakan Buddhis dan ada Muslim Arakan. Mereka hidup bersama untuk waktu yang lama karena tidak ada batasan-batasan. Lalu raja Burma Buddhis menyerang negara Arakan dan mengalahkan raja Arakan Budhis itu. Orang-orang Bengalis lalu membantunya untuk merebut kembali tahtanya. Hal tersebut menjadikan Raja Arakan simpatik kepada orang-orang Bengalis. Banyak orang Bengalis lalu pindah ke Arakan. Dan kemudian para pedagang Arab datang masuk. Nah, muncullah kelompok baru di Arakan, yang pada gilirannya kita kenal sebagai Muslim Arakan. Muslim dan Buddhis hidup berdampingan. Jika Anda menelusuri karya-karya pada periode tersebut, Anda akan menjumpai Raja Buddhis memilki gelar Arab. Uang koinnya dibuat dalam bahasa Arab. Dia mengagumi budaya Muslim. Yang terjadi kemudian adalah raja Burma menyerang Arakan lagi dan merebut kembali kerajaan tersebut.

Lalu datanglah Inggris, menguasai Arakan. Pemerintah Inggris mengakhiri penjajahannya dengan memberikan kemerdekaan, yang menjadi awal munculnya permasalahan: Muslim Arakan kemudian berada di bawah tekanan orang-orang Burma. Orang-orang Burma merupakan ras mayoritasnya. Mereka ingin menguasai semua kelompok etnis yang ada di Burma, sehingga mereka ingin mengambil alih kontrol di seluruh negara Arakan.

Sebelum kemerdekaan, Muslim Arakan pada waktu itu beranggapan kalau mereka di bawah orang-orang Burma, maka mereka akan ditindas. Pemimpian umat Islam Arakan pada waktu itu kemudian berbicara kepada Muhammad Ali Jinnah, pendiri negara Pakistan. Ada Pakistan Timur dan Pakistan Barat. Pakistan Timur ada di samping Burma, yaitu Bangladesh. Pemimpin umat Islam Arakan mengatakan bahwa mereka ingin berpindah ke Pakistan Timur, lantas Muhammad Ali Jinnah berkata kepada Jenderal Aung San, ayah dari Aung San Su Kyi, seorang integrasionis seperti Sukarno. Jenderal Aung San berkata kepada Ali Jinnah: Jangan, orang-orang tersebut tidak perlu pindah ke Pakistan, mereka akan mendapatkan perlindungan di bawah Burma, yang akan segera mendapatkan kemerdekaan. Sayangnya, Jenderal Aung San terbunuh sebelum Burma merdeka. Kelompok militer kemudian mengambil alih Myanmar, dan mereka mengubah nama Arakan menjadi negara Rakhine. Mereka ingin menghilangkan identitas historis koeksistensi Buddhis-Muslim.

Myanmar adalah negara yang keras. Selalu ada ketegangan antara orang-orang Burma dengan kelompok etnis lain. Kelompok militer telah menjadikan Buddhisme sebagai identitas nasional. Mereka juga ingin Rakhine menjadi Buddhis. Orang-orang Rakhine sesungguhnya tidak suka dengan orang-orang Burma. Pernah ada perang yang terjadi antara tentara Buddhis Rakhine, yang ingin memisahkan diri dari Myanmar, dengan tentara Burma. Sekarang mereka telah diindoktrinasi bahwa negara Arakan adalah negara Muslim — ini satu halyang tidak benar. Jadilah mereka menentang Rohingya. Di sinilah kemudian muncul identitas Rohingya. Orang-orang Islam mulai mengatakan: kita adalah Muslim Arakan; kita adalah penduduk asli sah tanah ini, dan kita adalah Rohingya. Kata “Rohingya” menjadi ada.

Jadi,kelompok militer Burma mendeklarasikan orang-orang Rakhine sebagai satu-satunya penduduk sah dari negara Rakhine. Ini menyebabkan meningkatnya rasa nasionalisme Rakhine melawan Rohingya. Orang-orang nasionalis Rakhine mulai mengatakan kepada orang-orang Rohingya: kalian orang-oraang Bengalis. Kelompok militer Burma menguasai pemerintahan; mereka menciptakan konflik antara Buddhis Arakan dan Muslim Arakan. Mereka tidak memberi kewarganegaraan kepada orang-orang Rohingya.

Jadi, ada elemen rasisme, isu sejarah, dan legitimasi kewarganegaraan.

Bisakah kita meringkasnya bahwa permasalahan konflik di Pattani dan Rohingya sebenarnya lebih berakar pada problem pembangunan negara-bangsa modern (modern nation-state building)?

Ya, betul sekali. Mereka terabaikan dalam pembangunan negara-bangsa modern. Di Pattani, agama bukan yang menjadi persoalan. Buddhisme dieksploitasi oleh orang-orang Burma untuk kepentingan rasisme. Biksu Ashin Wirathu (pemimpin gerakan anti-Muslim di Burma) mengatakan: lindungi ras Burma dari orang-orang Rohingya.

Oh, saya belum mengatakan ini pada Anda: Inggris membawa banyak orang India ke Burma, karena Burma adalah bagian dari imperium Inggris. Inggris membawa orang-orang India untuk mengurusi administrasi kolonial. 45 persen populasi Rangoon (yang kemudian menjadi Yangon) adalah orang India. Pernah ada dua kerusuhan etnis di Burma disebabkan hal tersebut, terjadi pada tahun 1930 dan 1938, melawan orang-orang India. Orang-orang India, yang juga mencakup orang-orang Muslim, adalah para pedagang dan pemiliki industri tekstil dan pertanian. Orang-orang Burma membenci orang-orang India. Ketika Burma mendapatkan kemerdekaan, sekitar 700.000 orang India disuruh untuk kembali (ke India). Jadi, ada elemen ini dalam konflik di Rohingya.

Yang dilakukan Wirathu ialah dia mengeneralisasi semuanya sebagai Muslim, semua dari mereka adalah ancaman bagi Myanmar. Semuanya (yaitu): Rohingya, Muslim India, Muslim China dan Zarbadi (anak-anak hasil perkawinan interrasial antara orang Burma dan Muslim India). Ini adalah rasisme atas nama agama.

Tampaknya, dalam soal kecenderungan ke arah kekerasan, Buddhisme bukanlah suatu pengecualian.

Saya punya satu istilah tersendiri yang saya buat untuk menyebut hal itu. Saya menyebutnya “non-violent extremism” (ekstremisme tanpa kekerasan). Para biksu tidak menggunakan kekerasan. Mereka dididik bukan untuk menjadi pelaku kekerasan. Tapi orang-orang seperti Wirathu bisa menghasut orang lain untuk melakukan kekerasan.

Bagaimana Buddhis menjustifikasi hal tersebut? Maksud saya, seperti dalam Islam, konsep jhad bisa digunakan untuk menjustifikasi kekerasan.

Mereka tidak bisa. Mereka melegitimasinya dengan alasan-alasan nasionalisme. Tradisi Buddhis tidak melegitimasi kekerasan.

Raja Asoka, yang dikenal sebagai contoh raja Buddhis, mengatakan bahwa dia akan menggunakan kekerasan untuk melindungi wilayahnya. Jadi, (kekerasan untuk) bertahan itu sah, tapi bukan untuk mempromosikan kebencian, xenofobia, dan terorisme yang berakar pada ketidakadilan, diskriminasi dan rasisme kepada orang lain seperti yang kita saksikan hari ini. Pada zaman kita serakang, kita menyaksikan perang nasionalis keagamaan yang berbeda kategori. Artikel saya baru-baru ini di surat kabar Thailand, The Nation, berbicara tentang nasionalisme yang telah beralih menjadi isu agama.

Pertanyaan terakhir, apa saran Anda, khususnya kepada kami di Indonesia, untuk menjembatani gap antara Muslim dan Buddhis?

Saya sangat suka Indonesia. Sebagai seorang Muslim, saya bisa menghirup udara dengan bebas dalam suasana demokrasi Indonesia. Indonesia memiliki budaya yang kaya, dan ia menjadi negara Muslim demokrasi terkemuka; negara Muslim terbesar. Indonesia harus memainkan peran penting. Anda harus mengajarkan sejarah latar belakang budaya Anda, yaitu Hindu-Budha, di institusi-institusi pendidikan anda. Anda seyogyanya membantu umat Islam di Asia Tenggara bagaimana hidup dengan budaya-budaya lain. Itu adalah tantangan untuk Anda. Anda harus mempromosikan kajian-kajian budaya, yang berbicara soal konfigurasi budaya Asia Tenggara, dan Anda harus melakukannya melalui khazanah lokal yang sudah ada, bukan dengan teori-teori Barat. Anda perlu melakukan kajian-kajian sosial lokal yang dikembangkan untuk Nusantara, untuk koeksistensi antara Islam dan agama-agama serta budaya-budaya yang ada di Asia, khususnya ASEAN. Hal tersebut akan membantu banyak, dan Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan itu.

Satu hal terakhir, saya belum lama ini bertemu dengan Cak Nun; kami diundang, dan saya menghabiskan tiga jam dengannya. Dia bercerita pada saya hal yang sangat menarik; Anda bisa memasukkan ini ke dalam transkrip wawancara nanti. Saya menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya: mengapa Muslim Indonesia tidak mengenal latar belakang budaya Hindu-Buddha mereka? Dia mengatakan kepada saya: orang-orang Indonesia menjadi Muslim dengan cara adopsi (by adoption), bukan dengan kontinuasi(not continuation). Maksudnya, mereka telah mengadopsi Islam tapi melupakan identitas budaya Hindu-Buddha mereka. Mereka memiliki sangat banyak kosakata dari tradisi Hindu-Buddha, tapi mereka tidak tahu konten budaya kata-kata itu.

Contohnya?

Contohnya, “puasa”. Apa makna kata ini? Mereka tidak tahu. Pesantren itu mencontoh model sekolah Buddhis; saya katakan ini di salah satu makalah saya. Anda memiliki kosakata seperti “sembahyang”, “surau”, “langgar” – “langgar” adalah kosa kata dari tradisi Hindu dan maknanya adalah candi/kuil tempat orang-orang beribadah. Jadi, orang-orang mengadopsi Islam, tapi mereka berhenti melanjutkan masa lalu mereka sendiri. Ini dapat menyebabkan Anda lupa pada khazanah lokal sendiri. Orang-orang Indonesia harus menjaga kakinya agar tetap menjejak tanah Indonesia; tanah Prambanan, tanah Borobudur, tanah Sriwijaya.

Azis Anwar Fachrudin sedang mewawancarai Prof. Imtiyaz Yusuf. Sumber foto-foto dalam tulisan ini: http://crcs.ugm.ac.id/
Baca juga:  Jangan Biarkan UIN Membusuk

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar