Santri Cendekia
Home » Urgensi Fikih Difabel

Urgensi Fikih Difabel

Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Kasus yang viral tentang seorang dokter gigi yang batal diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah Solok Selatan merupakan satu bukti tentang minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap saudara-saudara kita para penyandang disabilitas. Dalam konteks yang lebih luas, masih banyak dijumpai tempat-tempat seperti masjid, sekolah, stasiun, terminal, bandara dan public space lain tidak dan belum ramah difabel. Konsekuensinya cukup serius; para penyandang disabilitas tidak bisa memiliki akses bebas dan nyaman sebagaimana masyarakat pada umumnya terhadap fasilitas-fasilitas tersebut. Padahal mereka adalah warga negara yang seharusnya memiliki hak yang setara dalam kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Dalam hal ini negara sebagai otoritas penguasa seharusnya hadir untuk memastikan keadilan kepada setiap warganya, termasuk kepada para penyandang disabilitas. Namun sayang, seringkali realitanya tidak seindah harapan.

Pada titik inilah suara agama dari ormas keagamaan sebagai otoritas alternatif dapat mengambil bagian dalam rangka berkontribusi bagi kemaslahatan para penyandang disabilitas. Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU atau yang lain perlu bersuara lantang tentang pentingnya memberikan perhatian dan kepedulian kepada para penyandang disabilitas agar tumbuh kesadaran di tengah masyarakat secara umum. Menurut Michael Feener (2014) dalam konteks Indonesia, suara dari otoritas keagamaan semacam ini masih cukup ampuh dan berpengaruh. Karenanya ia dapat menjadi salah satu elemen penting dalam rangka melakukan kontrol dan rekayasa sosial. Suara agama ini dapat berupa fatwa, buku pedoman, atau apapun yang sejenis.

Sebagai permulaan dalam rangka mengonsep fikih difabel, kita dapat menggali beberapa prinsip-prinsip umum (al-usul al-kulliyyah) dalam teks keagamaan yang berkaitan dengan disabilitas. Prinsip pertama ialah prinsip kemulian atau martabat manusia (human dignity). Tauhid yang murni akan melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia, bagaimanapun keadaan dan kondisinya, memiliki martabat yang sama dan setara di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi bahwa yang akan dilihat oleh Allah bukan rupa dan harta melainkan hati dan amal (baca: ketakwaan). Artinya tolok ukur untuk menyebut manusia itu mulia atau tidak bukan hal-hal yang bersifat fisik-duniawi melainkan nilai ketakwaan yang dimiliki.

Konsep kemulian manusia atau human dignity dalam Islam juga dijelaskan dalam beberapa ayat al-Quran seperti al-Isra ayat 70 dan lain sebagainya yang secara terang menjelaskan bahwa Allah memilih manusia sebagai makhluk paling mulia di atas makhluk-makhluk yang lain. Prinsip kemulian manusia yang melekat pada setiap insan, pada gilirannya memiliki konsekuensi lebih jauh dibanding sekadar memberikan penghormatan kepadanya. Dalam catatan Behrouz Yadollahpour (2011), karena manusia memiliki human dignity maka ia mempunyai beberapa hak yang harus dijamin, yaitu hak hidup (the right to life), hak kebebasan (the right to freedom), hak beragama (the right to religiosity), dan hak menikmati manfaat sosial yang sama secara adil (enjoying equal social advantages justly).

Baca juga:  Bolehkah Membaca Doa Buatan Sendiri di Dalam Shalat?

Prinsip kedua adalah inklusivisme. Sebagai turunan dari nilai dasar keadilan, inklusivisme dapat dimaknai sebagai prinsip keterbukaan atas semua golongan atau kelompok manusia untuk dapat memperoleh hak yang sama dan hak hidup dalam ruang kebersamaan tanpa membedakan agama, ras, suku, bentuk fisik, dan lain sebagainya. Prinsip ini mendorong setiap individu manusia untuk dapat saling memberi ruang dengan manusia lain untuk bersama-sama dalam hal apapun, tanpa ada diskriminasi. Hal ini selaras dengan semangat al-Quran surat al-Hujurat ayat 13.

Ayat ini menerangkan tentang hakikat penciptaan manusia yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai diferensiasi. Namun alih-alih bermakna negatif, diferensiasi tersebut justru menunjukkan pada makna yang positif. Sayyid Quthub dalam tafsirnya menjelaskan bahwa tujuan utama dari berbagai diferensiasi penciptaan manusia bukanlah untuk menciptakan permusuhan (al-tanahur) dan perselisihan (al-khisham), namun untuk membangun kesepahaman (al-ta’aruf) dan keharmonisan (al-wi’am) satu sama lain. Perbedaan warna kulit, bentuk fisik, ras, suku, bangsa, tradisi, dan budaya hendaknya tidak menjadi alasan untuk berseteru, akan tetapi seharusnya menjadi spirit untuk saling tolong-menolong, bahu-membahu dalam mewujudkan peradaban yang berkemajuan.

Prinsip ketiga adalah “penghormatan dan pemajuan kebutuhan hidup berbasis ilmu”. Islam sebagai agama ilmu memiliki doktrin kuat tentang etos keilmuan. Franz Rosenthal menyatakan bahwa “ilmu merupakan salah satu konsep yang mendominasi Islam dan memberi bentuk dan kompleksitas yang khas kepada peradaban Islam”. Karenanya umat Islam sudah semestinya memberikan perhatian lebih bagi pengembangan keilmuan dengan melakukan berbagai riset dan kajian (QS al-Mujadilah: 11).

Masa keemasan Islam dulu telah membuktikan buah manis dari suatu kelompok masyarakat yang menomorsatukan ilmu. Kini umat Islam pada generasi berikutnya sudah seharusnya memiliki kesadaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemaslahatan hidup umat manusia secara umum. Dalam semangat fikih difabel inilah, ilmu pengetahuan dan teknologi seyogyanya dikembangkan untuk dan dengan memperhatikan kemaslahatan dan kebutuhan kaum difabel. Umat Islam dalam hal ini bisa mengambil contoh dari umat lain yang telah menciptakan berbagai temuan teknologi yang ramah difabel. Bahkan tidak hanya itu, mereka juga telah membuat alat-alat khusus yang diperuntukkan untuk penyandang disabilitas, seperti kaki dan tangan palsu berteknologi tinggi, Deka Robotic Arm, Orcam My Eye, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Mengomentari Tesis KH. Imam Jazuli Tentang Muhammadiyah


Tulisan ini pernah dimuat dalam harian Republika, 27 Juli 2019

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar