Santri Cendekia
Home » Syarah HPT: Penyebab Terjadinya Friksi dan Perpecahan Umat Islam

Syarah HPT: Penyebab Terjadinya Friksi dan Perpecahan Umat Islam

Matan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ كلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

 

Syarah (Penjelasan):

Kata Kunci: الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (Kelompok yang selamat)

Di atas disebutkan mengenai al-firqah an-nâjiyah (kelompok yang selamat), yaitu kelompok yang menyatakan bahwa alam itu ada permulaan dan ia muncul dari ketiadaan. Banyak hadis-hadis yang menerangkan mengenai kelompok yang selamat ini, seperti yang disebutkan di HPT, di antaranya adalah hadis-hadis berikut ini:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :(( اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ )) (قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: اَلْجَمَاعَةُ )

Dari Sahabat ‘Auf bin Malik Ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Ummat Yahudi berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka.’ Rasulullah saw sallam ditanya, ‘Wahai Rasulullah, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu ?’ Rasulullah saw menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’” (HR. Ibnu Majah)

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ (مُتَفَـِرّقَةٌ) لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Rasulullah saw membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau saw membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am:153).

تَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَا تِلْكَ الْفِرْقَةُ قَالَ مَا اَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ. (رواه الطبراني وغيره(

Artinya: “Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para shahabat bertanya: “Siapakah kelompok itu wahai Rasulallah?” Rasulullah saw bersabda: “Kelompok yang sesuai dengan sunnahku dan shahabatku pada hari ini.” (HR. Al-Thabrani).

Hadis-hadis di atas juga disebutkan dalam kitab HPT Muhammadiyah. Dari sisi teks, menyebutkan kelompok golongan yang selamat, sehingga sering dijadikan sebagai klaim dan justifikasi bagi setiap kelompok Islam baik dari Syiah, khawarij, muktazilah, murji’ah, dan lainnya sebagai kelompok yang selamat, sementara kelompok lain sesat serta tidak selamat.

Menurut Imam Abu Hasan al-Asyari bahwa perpecahan kelompok-kelompok Islam bermula dari persoalan politik, yaitu terkait dengan siapa yang sesungguhnya berhak menjadi pemimpin setelah Rasulullah saw wafat.

Waktu itu, kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani Sa’adah untuk memilih khalifah atau Imam sebagai pimpinan umat Islam pengganti Rasulullah Saw.. Pertemuan tersebut dihadiri oleh dua partai besar, yaitu Anshar dan Muhajirin.

Di antara pendukung partai Anshar adalah Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan Habab bib Mundzir. Partai Anshar menginginkan agar khalifah dipilih dari golongan mereka. Bagi mereka, golongan Anshar adalah orang-orang yang membantu perjuangan Rasulullah Saw. dalam pengembangan dakwah Islam dari Madinah. Merekalah yang memberikan tempat bagi Rasulullah dan kaum Muhajirin setelah hijrah dari Mekah ke Madinah.

Sementara partai Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa mereka merupakan orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw..

Di samping itu, mereka juga masih kerabat dekat Rasulullah Saw.. Abu Bakar al-Shidiq lebih memilih Abu Ubaidah atau Umar bin Khatab sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu ubaidah justru lebih mengedepankan Abu Bakar al-Shiddiq dengan alasan karena beliau orang yang ditunjuk Rasulullah sebagai imam shalat menggantikan Rasulullah ketika beliau sakit.

Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Untuk itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta sidang bahwa semua yang dilakukan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.. Tidak layak jika kedua partai mengungkit-ungkit kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik.

Baca juga:  Syarah HPT: Mengenal Jabbariyah

Kemudian Basyir bin Saat membaiat Abu Bakar al-Shidiq. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir dari partai Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah dari partainya. Namun Basyir menjawab, “Demi Allah, bukan maksud saya untuk berkhianat. Saya membenci perselisihan dengan suku yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah”.

Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mendukung Saad bin Ibadah sebagai khalifah. Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya.

Merekapun bangkit ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar al-Shidiq. Terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat Islam. Pemilihan yang sungguh berdasarkan musyawarah dan mufakat secara aman dan damai.

Tidak berselang lama menjadi Khalifah, terjadi perpecahan dan pemberontakan. Banyak kalangan yang murtad dan meninggalkan agama Islam. Kelompok ini tidak mau tunduk kepada negara Madinah dan menolak untuk mengeluarkan zakat.

Abu Bakar mulai menyusun strategi guna menyatukan wilayah Islam yang mulai bercerai-berai. Abu Bakar berinisiatif untuk memerangi kaum murtadin. Pada mulanya, rencana tersebut ditolak oleh Abu Umar bin Khatab dan beberapa sahabat, karena dianggap bahwa orang-orang yang tidak mau tunduk kepada Negara Madinah tersebut adalah muslim.

Namun Abu Bakar tetap bersikukuh dengan pendapatnya dengan mengatakan, “Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang memisahkan antara shalat dengan zakat”. Pada ahirnya, para pemberontak dapat dikalahkan. Umat Islam di bawah Kekhalifahan Abu Bakar as-Shidiq kembali dapat disatukan.

Persitiwa Bani Saidah yang merupakan suksesi pertama dalam Islam, hampir saja memecah persatuan umat. Dilanjutkan dengan pemberontakan kaum murtaddin, yang juga melemahkan umat Islam. Namun kondisi ini dapat diselesaikan oleh Khaifah Abu Bakar. Umat Islam kembali bersatu. Seluruh wilayah Islam berada dalam satu pucuk kepemimpinan saja.[1]

Abu Bakar memimpin umat Islam hanya kisaran dua tahun. Dalam waktu yang sangat pendek ini, beliau memberikan jasa yang luar biasa. Persatuan merupakan harta yang tiada bandingannya. Abu Bakar wafat, kepemimpinan Umat Islam dilanjutkan kepada Khalifah Umar bin Khatab.

Beliau adalah khalifah yang sangat tegas dan terkenal dengan sikapnya yang adil. Selama kepemimpinan beliau, umat Islam tetap dapat bersatu dalam satu komando kepemimpinan. Tidak ada perpecahan di kalangan umat Islam, hingga ahirnya sang khalifah syahid.

Selepas Umar, kepemimpinan umat Islam beralih ke Khalifah Utsman bin Affan. Pada masa awal pemerintahan sayyidina Utsman ra, umat Islam tenang dan bersatu. Perpecahan mulai terasa pada pertengahan kekhalifahan beliau. Terdapat kebijakan beliau yang oleh sebagian pihak dianggap kontroversial, di antaranya adalah pengangkatan gubernur yang diambil dari keluarga besar Khalifah Utsman ra.

Akibat kebijakan ini, sebagian pihak tidak puas dan meminta dilakukan reformasi birokrasi. Bahkan sebagian lagi meminta agar Khalifah Usman bin Affan mengundurkan diri dari kursi khalifah. Namun Khalifah Usman bin Affan menolak. Ia mengatakan, “Saya tidak akan elepas jubbah yang telah Allah pakaikan kepada saya”.

Persoalan semakin meruncing hingga terjadi demo besar di Madinah. Konflik politik antara khalifah Usman dengan kelompok oposisi semakin meruncing. Pada akhirnya, kelompok oposisi tadi melakukan demeo besar dan merangsek ke rumah beliau. Demonstrasi berakhir anarkis dan mereka membunuh sang khalifah.

Setelah Khalifah Usman, kepemimpinan umat Islam diganti oleh Imam Ali. Di sini, friksi-friksi umat Islam semakin meluas. Sebagian kelompok mendukung kepemimpinan Ali, sementara sebagian lagi menolak.

Perselisihan antara kubu Ali dan Muawiyah akhirnya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian juga dengan Imam Ali. Pada akhirnya, Muawiyah memutuskan untuk melawan Imam Ali ra dengan kekuatan militer.

Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Imam Ali ra dengan Muawiyah ra. Hampir saja, pasukan Imam Ali ra dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian sahabat Muawiyah menawarkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan al-tahkîm.

Dalam menyikapi soal tahkim, di kubu Imam Ali sendiri terjadi perpecahan. Sebagian kelompok memandang bahwa kubu Muawiyah adalah para pemberontak yang harus diperangi sampai mereka tunduk kepada negara yang sah.

Mereka menolak perundingan damai karena dianggap sekadar sebagai siasat saja. Kelompok ini memandang bahwa Muawiyah adalah pemberontak. Mereka menyetir ayat berikut:

فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ

Artinya: Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah). (QS. Al-Hujuraat: 9).

Kelompok ini bersikeras dengan pendapatnya. Mereka menolak terjadinya dialog perdamaian antara Ali dan Muawiyah. Namun Imam Ali sendiri memilih untuk berunding. Barangkali perundingan damai dapat menghentikan pertumpahan darah di kalangan umat Islam.

Akibat sikap Imam Ali ini, kalangan yang sebelumnya menentang Imam Ali keluar barisan. Mereka yang menolak damai, membentuk friksi sendiri dan disebut sebagai kelompok khawarij. Sementara itu, kelompok lain yang mendukung Imam Ali, juga membentuk friksi sendiri. Mereka disebut sebagai kalangan Syiah.

Khawarij sebagai friksi baru yang memang berawal dari perselisihan mereka dengan Imam Ali ra di satu sisi dan  sahabat Muawiyah ra di sisi lain, sesungguhnya memiliki ambisi politik. Mereka menolak Imam Ali, namun juga menolak sahabat Muawiyah. Oleh karenanya, mereka berusaha menyerang dua kubu sekaligus dengan mengatakan bahwa sesungguhnya dua kubu itu menjadi sebab utama perpecahan umat Islam.

Oleh karena itu, Imam Ali rad an sahabat Muawiyah ra harus dilenyapkan. Mereka lantas membuat makar dan rencana pembunuhan Imam Ali ra dan sahabat Muawiyah. Mereka berhasil membunuh Imam Ali, namun gagal membunuh sahabat Muawiyah.

Kelompok Khawarij mempersoalkan mengenai ketetapan  bagi mereka yang membunuh saudaranya sendiri sesama muslim. Bagi Khawarij, mereka itu adalah pelaku dosa besar yang berarti akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Untuk mendukung terhadap validitas pendapatnya, partai Khawarij kemudian menukil berbagai nash al-Qur’an maupun al-Sunnah.

Baca juga:  Melawan Kerusakan Struktural adalah Bentuk Moderasi Beragama

Sementara itu, kelompok Imam Ali ra dan kelompok sahabat Muawiyah saling berperang dan membunuh. Oleh karena itu, mereka dianggap kafir dan layak dibunuh. Inilah ide dasar rencana pembunuhan dua sahabat besar itu.  Quran sunnahy, sejatinya oleh kelompok ini sekadar menjadi justifikasi ambisi politik saja.

Sebagai sebuah kelompok dan friksi yang lahir karena faktor politik, ia mirip dengan partai politik saat ini. Partai politik yang mempunyai ambisi kekuasaan dan gagasan-gasasan politik kekuasaan, termasuk di antaranya terkait dengan kepemimpinan umat.

Bagi Khawarij, pemimpin umat (khalifah) dapat diangkat dari kelompok Islam asalkan sesuai dengan kriteria seorang pemimpin. Menurut mereka, bahwa semua manusia sesungguhnya sama di sisi Allah.

Tidak ada bedanya antara suku Quraisy atau bukan suku Quraisy. Hanya ketakwaan saja yang membedakan umat manusia. Oleh karena itu, mereka tidak membatasi diri kepemimpinan hanya sekadar dari suku Quraisy saja.

Ide ini sesungguhnya sesuai dengan latarbelakang para pengikut kelompok ini yang mayoritas bukan dari keturunan Arab atau bukan dari suku Quraisy. Khawarij banyak berasal orang-orang ajam (non Arab). Maka ide kepemimpinan yang merata dan bisa dicapai oleh semua lapisan masyarakat, sesungguhnya justifikasi agar mereka sebagai warga non Arab juga dapat meraih kekuasaan dan kepemimpinan.

Persoalan politik dengan isu sentral seputar pelaku dosa besar sebagaimana dilontarkan partai Khawarij tersebut kenyataannya menyulut kelomok lain yang tidak sepaham denganya untuk membentuk kelompok baru, yaitu golongan Murji’ah.

Bagi golongan ini, mereka menganggap bahwa ketentuan  hanya berada dalam genggaman Tuhan. Manusia tidak memiliki otoritas untuk menentukan ketetapan  bagi pelaku dosa besar. Soal kepemimpinan juga diserahkan kepada umat Islam, asal memiliki kapabiitas sebagai pemimpin kaum muslimin.

Pada masa akhir khalifah Muawiyah, wacana seputar pelaku dosa besar masih cukup santer. Washil bin Atha’ (700-748 M) salah seorang murid dari Hasan Bashri melontarkan ide dan gagasan yang berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya. Bagi kelompok dan friksi ini, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, namun juga tidak dapat dikatakan kafir. Mereka itu antara mukmin dan kafir, atau dalam istilah mereka disebut sebagai “manzilah baina manzilataini”. Washil bin Atha’ kemudian membentuk partai baru yang disebut dengan partai Muktazilah. Sebagai layaknya sebuah partai, Muktazilah juga memiliki pandangan politik yang berbeda dari partai-partai sebelumnya.

Baginya, kepemimpinan dapat berasal dari golongan manapun asal dapat menerapkan prinsip keadilan. Hanya saja, jargon Muktazilah hanya sekedar ide besar tanpa terbukti dalam realitas politik praktis.

Ketika kelompok ini berkuasa, seperti pada masa al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, mereka justru memaksakan ideologi kelompoknya kepada kelompok lain. Anggota kelompok oposisi yang tidak sepaham dengannya mendapat berbagai tekanan, baik politik maupun fisik. Inilah barangkali yang menjadi cacat bagi kelompok tersebut.

Pemaksaan ideologi paling kentara pada persoalan khalqu’l qur’an. Muktazilah sebagai sebuah kelompok dan partai pada mulanya dibangun dari reaksi terhadap wacana ilmu kalam. Namun kemudian berkembang menjadi kelompok besar yang ikut andil dalam penggulingan kekuasaan Bani Umayyah. Pada akhirnya, ia dapat menguasai tampuk kekuasaan pada masa tiga dinasti bani Abasiyah.

Abu Hasan al-Asy’ariy (873935 M), adalah salah satu pengikut setia Muktazilah selama 40 tahun, kemudian mengkaji ulang rumusan teologi Muktazilah. Pada ahirnya, ia menemukan banyak kelemahan yang terjadi dalam pemikiran mereka. Imam Asyari juga mengkaji pemikiran ahlul hadis, terutama Imam Ahmad bin Hambal.

Dari sana, ia membandingkan pemikiran Muktazilah dengan pemikiran Ahmad bin Hambal. Imam Asyari menemukan bahwa pemikiran Ahmad bin Hambal lebih sesuai dengan ajaran Islam. Dari sana, ia mengiklankan diri keluar dari Muktazilah dan mengikuti pemikiran Ahmad bin Hambal.[2]

Imam Asyari secara jelas mengatakan bahwa ia mengikuti pemikiran Imam Ahmad bin Hambal. Dalam menyampaikan pemikirannya, Imam Abu Hasan Al-Asyari kadang mirip seperti yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hammal seperti dalam kitab al-Ibâanah, namun terkadang mirip dengan gaya penulisan orang Muktazilah yang terpengaruh dengan pemikiran para filsuf, yaitu menggunakan logika Aristoteles, seperti dalam kitab beliau Al-Luma fî Raddi Ahli Az-Zaigh Wal Bida.

Imam Asyari memang tidak lepas dari ilmu kalam. Bahkan ia berpendapat bahwa ilmu kalam dapat menopang argument dalam pembuktian keberadaan Tuhan. Bahkan Imam Asyari sendiri menganjurkan agar mereka yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu kalam, untuk belajar ilmu ini guna mendukung pemikirannya.

Terkait hal ini, Imam Asyari menulis buku khusus, yaitu Rsâlah Istihân ilâ al-Khauth Fî Ilmil Kalâm. Selain itu, Imam Asyari juga membolehkan takwil, namun takwil yang shahih sesuai dengan kaedah bahasa.

Imam Asyari memang seorang mutakallim tulen. Buku-bukunya, sangat kental dengan nuansa penulisan para filsuf. Bahkan kitab al-Ibanah yang secara tegas mendukung dan menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal, nuansa kalamnya tetap kental.

Jika para ulama generasi setelahnya kental dengan nuansa kalam dan sangat rasional, bahkan terkesan sangat filosofis, sesungguhnya mereka tidak keluar dari manhaj Imam Asyari.

Tidak ada istilah Imam Asyari awal dan ahir, karena pemikiran imam Asyari adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Toh sejak ia keluar dari Muktazilah, tidak ada pemikiran beliau yang saling berbenturan dan kontradiktif. Artinya, pemikiran beliau adalah satu.

Dalam kitab al-Ibanah, Imam Asyari menggunakan kata Ahlul Haq Wassunnah untuk menyebut pendapat dan firqah najihah. Sementara beliau juga mengarang kitab lain yaitu Ushûlu Ahlissunnah wal Jamâ’ah. Dalam buku ini, Imam Asyari menuliskan rumusan pemikirannya secara rapi dan terstruktur.

Imam Ayari mempunyai banyak pengikut setia. Mereka mulai menyebarkan pemikiran beliau yang ditopang oleh logika. Kelompok ini, kemudian menamakan diri sebagai kelompok Ahlissunnah wal jamaah, persis seperti kitab yang beliau karang sendiri.

Baca juga:  Tauhid Hakimiyah Khawarij

Sementara istilah ahlul haq wassunah, kurang popular di kalangan pengikut beliau. Jadi, ulama pertama yang mempopulerkan dua istilah ini, yaitu ahli sunnah wal jamaah dan ahlil haq wasunah, sesungguhnya adalah Imam Asyari.

Dengan kenyataan seperti ini, maka jika disebut ahli sunnah, sesungguhnya nisbat pernyataan ini kembali kepada Imam Asy’ari. Dalam kitab-kitab para ulama, istilah Ahli sunnah merujuk pada pemikiran sang Imam.

Dari Imam Asyari, muncul para ulama generasi penerus yang menyebarkan paham ahli sunnah wal jamaah dan diterima oleh banyak kalangan. Di antara ulama pioneer ahli sunnah adalah, Imam Baqilani, imam Haramain, Imam Ghazali, Syahrztani, Imam Razi, dan lain sebagainya.

Dalam waktu yang hamper bersamaan, di daerah Asia Tengah muncul kelompok baru yang secara ide dan gagasan tidak jauh berbeda dengan Abu Hasan al-Asy’ari. Kelompok baru ini merupakan buah pikiran dari Abu Manshur al-Maturidiy. Pengikut al-Maturidiy sering disebut dengan maturidiyah.

Namun karena ide dan gagasan antara Imam Maturidi dengan Imam Asyari hamper tidak jauh beda, maka dua kelompok ini lantas disebut sebagai kelompok Ahli Sunnah.

Jargon politik yang berkembang dalam berbagai partai Islam tersebut sedikit banyak juga terpengaruhi oleh pemikiran dari kelompok lain di luar Islam. Hal ini bisa dilihat dari ide-ide kepemimpinan yang dilontarkan oleh Syiah atau gagasan “kewajiban semi mutlak” untuk tunduk kepada penguasa pada partai Ahlusunnah.

Pada tanggal 10 Rabiul Awwal 661 H (22 Januari 1263), dilahirkan seoang  yang bernama Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani. Kelak, beliau ini menjadi ulama besar ensiklopedis yang mempunyai karya besar dan monumental.

Tidak hanya itu, beliau juga mempunyai pemikiran kalam tersendiri yang berbeda dari para pendahulunya. Hal ini bisa dilihat misalnya dari karya besar beliau, Majmu Fatawa, Majmu Al-Masail Wa Ar-Rasâil, aqîdah wasathiyah dan lain sebagainya. Beliau ini pula, ulama yang mempopulerkan tauhid menjadi tiga, yaitu rububiyah, uluhiyyah dan sifat wal af’al.

Di abad 18 muncul seorang ulama yang sangat berpengaruh, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792 M). beliau banyak terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Beliau ini pula yang sangat gentol dalam mensosialisasikan gagasan tiga tauhid seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah. Beliau banyak menulis buku, di antaranya, ushûlu ats-Tsalâtsah, Raddu asu-Syubuhât, Kitâbu at-Tauhîd dan lain sebagainya.

Pemikiran beliau, mendapatkan dukungan dari penguasa Jazerah Arab pada waktu itu, yaitu Ibnu Suud. Karena pemikiran mendapatkan dukungan politik, maka mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jargon yang sering diangkat adalah kembali kepada al-Quran dan Sunnah nabi. Kelompok ini, kemudian disebut dengan istilah wahabiyyah. [3]

Berbagai kelompok Islam yang ada saat ini, sesungguhnya merupakan warisan dari sejarah panjang umat Islam terdahulu. Bahkan perseteruan yang ada, sesungguhnya merupakan warisan dari perseteruan kelompok Islam di masa silam. Hal ini bisa kita lihat misalnya pertempuran antara sunni dan syiah yang sedang beseteru di Yaman, Syiria dan Irak.

Gerakan-gerakan Islam radikal seperti ISIS, jamaah Islamiyah, jamaah anshar bait al-Maqdis, faksi-faksi pecahan al qaedah dan lain sebagainya merupakan kepanjangan tangan dari ideologi khawarij. Friksi dan berbagai kelompok Islam tersebut masih bersaing dan bersinggungan serta berebut pengaruh.

Di tanah air, Syiah mulai berkembang. Gerakan ini tentu jarus diwaspadai, bukan saja karena paham ideologi keagamaan yang berbeda dengan kakangan ahli sunnah, namun juga kemungkinan akan membawa ideologi bawaan berupa perpecahan dan pengaruh politik. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan persatuan umat Islam.

Kita juga menyaksikan sebagian kelompok yang sangat eksklusif, dan menganggap hanya ideologi sendiri yang paling benar. Kelompok ini sangat mudah menganggap sesat, atau setidaknya bid’ah terhadap kelompok lain yang berbeda pemikiran.

Dari sisi semangat keberagamaan, kelompok ini memang luar biasa. Namun minimnya pengetahuan terhadap fikih khilaf serta tertutup dengan pemikiran sendiri, menjadikan kelompok ini mudah bersinggungan dengan gerakan Islam lainnya.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, tentu akan hati-hati dalam menghadapi berbagai aliran yang ada. Muhammadiyah sebagai kelompok ahlil haq wa sunnah, seperti yang disampaikan oleh Imam Asyari, tidak akan mudah membid’ahkan apalagi mengkafirkan kelompok lain.

Itu bisa dilihat dari hasil tarjih dan fatwa tarjih Muhammadiyah. Sangat jarang dalam fatwanya memuat kata bid’ah atau kafir. Hal ini karena kesadaran para ulama Muhammadiyah bahwa selama manusia masih ahlul qiblah, beriman kepada rukun islam dan rukun iman, maka ia tetap muslim. Syiah saja, tidak difatwakan kafir oleh Muhammadiyah, namun sebagai kelompok sesat.

Kesadaran ini penting agar kita, jamaah Muhammadiyah lebih bisa memandang fiqhul khilaf, dan meniscayakan perbedaan pandangan pemikiran. Hanya tentu dengan rambu-rambu yang jelas, yaitu tidak menabrak ushuludin dan persoalan prinsip dalam agama. Muhammadiyah berpegang dengan qat’iyyat yang tidak ada lagi tempat ijtihad.

Artinya bahwa satu sisi melihat perbedaan sebagai keniscayaan, namun di sisi lain punya standar yang jelas sehingga nampak mana paham sesat, ahlul bidah, atau bahkan paham yang sudah keluar dari Islam. Juga memahami mana persoalan khilafiyah dan mana persoalan yang muttafaq alaihi. Dengan sikap tegas dan jelas ini, Muhammadiyah eksis lebih dari 1 abad dan selalu dapat beradaptasi dengan berbagai perubahan zaman yang sangat cepat.

 

 

 

[1] Fariq Abdussalam, al-Islâm wa al-Ahzâb al-Siyâsiyyah, Maktabah Qalyûb, hal. 57 et seq.

[2] Abu Hasan al-Asyari, Al-Ibânah Fî Ushûli Ad-Diyânah.

[3] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Târîkhu’l madzâhib al-Islâmiyyah, Dâru al-Fikr al-Arabiy, 1996, Kairo.

Wahyudi Abdurrahim

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Mantan Ketua PCIM Mesir, Mahasiswa S3 di American Open University Cairo Egypt, dan pengasuh tanyajawabagama.com

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar