Santri Cendekia
Home » Pengajian Buruh Ala Kiyai Dahlan

Pengajian Buruh Ala Kiyai Dahlan

Kisah tentang saumi yang tiba-tiba menghilang atau tak pulang-pulang memang mengundang simpati. Pilu hati memikirkan nasib sang istri. Cemas pula menebak terka nasib si suami. Dari tokoh separuh mitos seperti Bang Toyib yang kepulangannya belum bisa dikonfirmasi, hingga layangan yang disangka putus lalu pulang memberi klarifikasi. Tak kurang dari Nyai Walidah pernah mengalaminya. Suami tercinta, Kiyai Haji Ahmad Dahlan, suatu pagi keluar tak pamit pada siapa-siapa. Hingga sore tak jelas rimbanya. Kemana gerangan kiyai kharismatik yang telah Walidah dampingi dalam kenekatannya menggoyah kemapanan tradisi itu?

Gundah gulana betul diri Nyai Dahlan. Ia berkeliling bertanya perihal keberadaan sang suami. Tapi penduduk Kauman yang sebagian besar adalah santri suaminya itu tak satupun yang tahu. Gelisah Walidah berasas alasan kuat. Terutama bila keadaan Kiayi Dahlan beberapa hari terakhir ini diingat-ingat. Lelaki yang terkenal perasa itu beberapa hari ini sering tampak murung merenung. Penampilannya yang biasanya rapi tertata tiba-tiba tidak begitu dipedulikan lagi. Jenggut kumis tak dicukur, begitu pula rambut kepalanya yang sudah sarat uban itu. Berfikir dalam saja kerjaannya. Tak mau pula ia bagi ganjalan hatinya.

Magrib datang disusul Isya. Malam pun turun di kompleks Kauman. Tapi imam para pembaharu itu belum juga pulang ke rumah.  Ketika cemas istri dan murid-muridnya sudah sampai di puncak, tiba-tiba sosok pencerah itu muncul memberikan kejuatan. Ia pulang tak sendirian, bersamanya ada ratusan orang. Dalam ingatan Kiyai Syujak, muridnya yang meriwayatkan kisah ini, tidak satupun dari ratusan wajah itu yang ia kenal. Begitu juga orang-orang Kauman, tak satupun yang mengenali mereka. Wajah-wajah aneka rupa itu berasal dari luar Kauman. Bahkan dari luar lingkaran sosial yang biasanya diitari oleh Syujak muda.

Baca juga:  KH Ahmad Dahlan Menganjurkan Dialog Lintas Iman dan Madzhab

Ratusan orang itu duduk tumpah ruah di sudut-sudut “markas” persyarikatan. Ada yang di serambi surau, di dalam ruang-ruang kelas, banyak yang duduk saja di sembarang tempat.  Kiyai Dahlan tak ada waktu mengenalkan rombongan tamunya itu. Ternyata mereka mereka adalah kaum buruh dari beberapa pabrik, juga buruh kereta api. Untuk apa Kiayi Dahlan mengundang kaum buruh ke Kauman?

Rupanya beliau selama ini sampai lupa merawat diri sebab gelisah memikirkan mereka. Buruh-buruh ini tenaganya habis diperas perusahaan. Bekerja seharian, pulang ke rumah langsung istrahat. Hidup menjadi mekanis, lelah begitu akrab, rehat hanya sejenak, tapi nasib bukan berarti akan membaik.   Lebih dari keprihatinan ragawi itu, kasihan juga Kiyai Dahlan akan keadaan ruhiyah mereka. Hidup menjadi sekrup industri, kapan mereka bisa menambah ilmu agama, mereguk khusyuk ibadah, berakrab lagi dengan kalam-kalam Allah ta’ala? Beliau menjawab kegelisahnya sendiri dengan tindakan nyata. Sangat tipikal Kiyai Dahaln. Maka malam itu, diadakanlah pengajian kaum buruh secara dadakan.

Tersebab mendadaknya acara, peserta yang banyak itu menjadi sulit diberi pengajaran. Ceramah umum saja tidak cukup untuk mereka. Maka Kiyai Dahlan memanggil santri-santrinya. Beberapa santri yang masih di masjid selepas berjamaah Isyak pun datang. Mereka adalah  Muhammad Suhud, Muhammad Hasan Junaidi, Muhammad Juraimi, H. Muhammad Syafei, H.M. Syoedja’ (Syujak) dan Muhammad Ahmad Badar.  Kiyai Syujak mengenang bahwa mereka-mereka ini adalah santri yang belum dibekali ilmu perihal ajar pengajar. Tiba-tiba disuruh menjadi guru bagi sekumpulan buruh! Sejatinya, Kiyai Dahlan sedang membekali mereka ilmu keguruan dengan metode langsung prakek. Sangat tipikal Kiyai Dahlan.

Uniknya, para santri itu tidak diberikan spesifikasi harus mengajarkan apa. Hanya beberapa yang diamanahi khusus untuk mengajar soal wudu dan salat. Sisanya ditantang untuk melakukan pengajaran reflektif-kontekstual. Kiyai Syujak masih mengingat, waktu itu sang Ketib Amin hanya memberikan instruksi general; ajari mereka supaya menjadi orang Islam seperti kamu! Dengan demikian, bisa dibayangkan interaksi antara yang mengajar dan diajar juga menjadi cair, sebab mereka secara spontan dipertemukan, dengan hanya satu instruksi yakni untuk berbagi tentang bagaimana menjadikan hidup lebih sesuai dengan ajaran Islam.

Baca juga:  Sehebat Itukah Imam Syafi'i?; Kritik Pada Tesis Schacht

Pengalaman itu begitu berbekas bagi santri-santri Kiyai Dahlan. “Masya Allah, la haula wa la quwwata illa billah” kenang Kiyai Syujak dalam catatannya, ia menggambarkan keadaannya waktu itu bagaikan “si buta menuntun kepada orang yang tidak bermata”. Namun tentu saja Kiyai Dahlan tidak akan mengamanahi mereka untuk membimbing buruh-buruh bila beliau sendiri tidak mempercayai kapasitas keilmuan santrinya.  Beliau berhasil mengajar para buruh dengan cara mendidik murid-muridnya. Beliau mendidik murid-muridnya dengan cara mengajar para buruh. Sangat tipikal Kiyai Dahlan!

Itulah yang terjadi ketika seorang yang kepeduliannya pada umat dan bangsa sangat dalam tiba-tiba menghilang. Rupa-rupanya, ia selama ini gelisah memikirkan nasib para buruh. Beliau telah berhasil melobi sekolah-sekolah sekuler binaan Kolonial untuk mengizinkannya mengajar agama. Tapi bagaimana dengan kaum buruh? Beliau lalu seharian penuh, dari pagi hingga Isyak, berkeliling pabrik dan stasiun kereta api, mengajak para buruh agar mau ikut mengaji. Beliau tidak menunggu diundang, apalagi mengharapkan imbalan. Bagi beliau insyaallah jariyah yang tak kunjung kering terus mengalir. Bagi kita adalah mata air teladan yang tak pernah kering direguk, selalu bening untuk kaca bercermin; wahai Dahlan muda, dimanakah kalian? Mengapa belum juga pulang?

Maaf, Kiyai, kami belum selesai dengan diri sendiri. Kami tersesat tak tahu jalan pulang. Terjebak di dalam labirin pertengkaran recehan, soal klaim-klaim kerdil yang disangka besar sebab diusung ego yang gemuk tapi rapuh gampang tergores, mudah tersinggung. Tapi kami juga optimis bahwa semua ini adalah proses bertumbuh. Proses berjalan pulang. Semoga di jalan ini, kami mampu merangkul yatim, menggandeng miskin, menuntun petani, membantu buruh, menopang negeri, merawat umat.

___

Baca juga:  Transportasi Futuristik Berwawasan Ekologis: Perspektif Filsafat Teknologi Rhoma Irama

Disarikan dari catatan Kiyai Soedjak berjudul “Cerita Tentang Kyai Dahlan Catatan Kyai Muhammad Soedjak”.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar