Santri Cendekia
Home » Seri Fallacy : Planning Fallacy

Seri Fallacy : Planning Fallacy

Seri Fallacy
Planning Fallacy
 
Entah mimpi apa si peternak semalam. Dia mendapati sebutir telur emas tergeletak di kandang angsa miliknya. Dia sangat kegirangan. Kebetulan saat itu dia tidak punya uang dan sekarang dia mendapat rezeqi nomplok! Dia belum begitu yakin angsanya yang menelurkan telur emas itu. Dia tak mau cepat menyimpulkan dan menunggu esok hari.
 
Keesokkan harinya si peternak menemukan telur emas lagi di kandang angsa. Dia senang sekali dan mulai yakin kalau angsanya memang spesial. Dia mulai merencanakan banyak hal.
 
“Saya akan beri makan angsa itu banyak-banyak agar ia bertelur lebih dari 1 telur emas sehari. Lalu saya menikah dengan perempuan tercantik di desa ini dan kemudian mengajaknya ke tanah suci”
 
Si peternak bergegas pergi ke kota untuk menjual 2 telur emas yang dia punya. Dia mendapat begitu banyak uang. Di tengah jalan dia melihat toko batu akik, kemudian dia belanja banyak batu akik di sana. Lalu dia membeli barang-barang yang ia suka di kota. Banyak sekali yang ia beli sampai uangnya habis.
 
“Oh tidak. Saya lupa membeli makanan untuk angsa saya”
 
Angsa spesial milik si peternak pun pada akhirnya mati karena tidak diberi makan. Tidak ada lagi telur emas. Mimpi si peternak pun melayang.
 
###
 
Daniel Kahneman, seorang peraih Nobel bidang ekonomi, ialah yang pertama kali mengajukan konsep planning fallacy. Planning fallacy adalah kekeliruan berpikir yang menyebabkan seseorang atau kelompok meleset dalam memprediksi waktu, biaya, dan keuntungan dari sebuah rencana.
 
Pada tahun 1994, 37 mahasiswa psikologi diminta untuk mengestimasi waktu yang mereka butuhkan dalam menulis tesis. Rata-rata mereka mengestimasi waktu 33,9 hari. Lalu mereka ditanya tentang waktu terlama untuk menyelesaikan tesis. Jawaban mereka adalah rata-rata 48,6 hari.
 
Ternyata rata-rata siswa menghabiskan waktu 55,5 hari untuk menyelesaikan tesis. Meleset 20 hari dari estimasi! Hanya 30% siswa yang berhasil menulis tepat waktu sesuai estimasi.
 
Roger Buehler berpendapat bahwa kekeliruan kita dalam membuat rencana disebabkan oleh wishful thinking. Kita memiliki kecenderungan untuk menyukai keberhasilan dan membenci kegagalan. Oleh karena itu kita selalu overestimate terhadap kemampuan kita dan menyepelekan hambatan yang akan kita temui dalam perjuangan. Hal ini disebut juga sebagai optimistic bias.
 
Cobalah kamu duduk dan membuat rencana. Semangatmu pasti akan muncul dan membara. Kamu akan menganggap semuanya akan berjalan lancar dan mudah. Padahal kenyataannya tidak begitu. Kebanyakan rencanamu berhasil ditulis tapi tak berhasil diwujudkan. Kalaupun kamu berhasil menyelesaikan rencana, pastilah kamu membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih besar dari taksiran yang kamu buat.
 
Orang bule pun sering meleset dalam pelaksanaan rencana. Salah satu contohnya adalah pembangunan Sidney Opera House yang ditargetkan selesai pada tahun 1963 ternyata molor 10 tahun dan baru selesai akhir 1973. Dari 7 juta Dollar estimasi biaya yang dibutuhkan ternyata membengkak menjadi 102 juta Dollar!
 
###
 
Saya sering membuat rencana dan sering pula rencana itu gagal.
 
Setiap tahun saya merencanakan resolusi tahun baru yang keren dan canggih, tapi akhirnya masih saja saya menjadi Ginan Aulia Rahman yang sama seperti tahun lalu.
 
Saya pun sering menyesal sebagai deadliner. Pernah saya mendeklarasikan diri untuk berhenti jadi deadliner. Kapok sudah saya mesti kerja buru-buru dan penuh tekanan. Dan tetap saja akhirnya saya tidak berubah.
 
Menurut Tim Urban; kita semua adalah procrastinator (orang penunda-nunda kerjaan). Otak kita dihuni oleh dua makhluk. Pertama adalah rational-decision maker, yakni seorang pengendali yang membuat kita berpikir rasional dan menyelesaikan semua tugas dengan disiplin. Kedua adalah instan gratification monkey, yakni seekor monyet pembuat masalah yang menghambat kita mengerjakan tugas dengan cepat.
 
Si monyet hanya peduli pada hal-hal yang mudah dan menyenangkan, Tim Urban menyebutnya sebagai The Dark Playground. Dia selalu memprovokasi kita untuk main game, cek sosial media, lihat-lihat meme di 9gag, atau tidur siang daripada mengerjakan tugas.
 
Si monyet hanya takut pada satu makhluk lain yang muncul ketika deadline tiba, yaitu THE PANIC MONSTER! Ketika THE PANIC MONSTER datang, si monyet pergi dari otak kita dan si rational-decision maker pada akhirnya mengambil alih mengerjakan semua dan kita selamat dari deadline.
 
Permasalahannya, tidak semua dalam hidup ini memiliki deadline. Misalnya hal yang terkait dengan kesehatan tubuh, enterpreneurial, relationship, dan pekerjaan yang self-employment biasanya tidak memiliki deadline. Kita tak akan bisa menghadirkan THE PANIC MONSTER untuk mengusir si monyet pemalas di kepala kita. Untuk mengatasi ini tidak ada cara lain, kita harus memulai membiasakan diri mengerjakan semua tugas dengan disiplin.
 
Jangan percaya dengan rencana ‘besok aja deh’, ‘nanti juga bisa’, ‘gak usah sekarang’ yang kita buat. Kalau punya waktu luang sekarang, kenapa tidak langsung dikerjakan saja tugas itu?
 
Selalu waspada terhadap hal-hal yang di luar perkiraan. Mungkin nanti akan mati lampu sehingga kamu tidak bisa menyelesaikan tugasmu. Bisa saja kamu nanti sakit dan tak sempat membaca untuk ujian. Atau bisa saja kamu terjebak hujan dan macet di jalan. Pada kisah di awal tulisan ini si peternak lupa bahwa angsanya bisa saja mati, ia berfoya-foya dengan uang hasil penjualan telur emas dan tidak menggunakannya untuk berjaga-jaga dengan investasi di usaha lain.
 
Dalam membuat rencana sisihkan rasa optimismu. Prediksi dan waspadai kemungkinan terburuk. Simpan rasa optimis itu untuk saat-saat sulit sebagai bahan bakar untuk terus berjuang dan bangkit lagi!
Baca juga:  Mendiskusikan Imam Abu Hanifah dengan Perempuan dari Turki

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar