Santri Cendekia
Home » Muhammadiyah di Tengah Polemik Asy’ariyah dan Atsariyah

Muhammadiyah di Tengah Polemik Asy’ariyah dan Atsariyah

Baru-baru ini, sesepuh saya, seorang tokoh Aisyiyah, memberikan video mengenai polemik tentang ahlussunnah waljamaah. Tema Tema yang sudah klasik sebenarnya, tetapi masih menimbulkan perbincangan di masyarakat. Beliau prihatin terhadap fenomena tarik menarik berbagai pandangan di luar sana yang berimplikasi pada warga Persyarikatan. Pada titik tertentu Persyarikatan itu terbuka dan sepanjang memiliki landasan nash yang kuat maka pandangan tokoh keagamaan apapun diterima.

Isu mengenai polemik Asyariyah dan Atsariyah atau Salafi sudah lama berlalu lalang di sekitar kita. Umumnya warga Persyarikatan tidak terlalu “ngeh” atau ambil pusing mengenai polemik-polemik tersebut. Tampaknya bagi warga Muhammadiyah pandangan Asyari dan Atsari sama-sama tidak menjadi soal karena memiliki konvergensi dalam akar pemikiran Persyarikatan sehingga pembelajaran akidah 50 diterima demikian juga kritik-kritik atsari terhadap pandangan yang terlalu filosofis dalam akidah diterima.

Kiai Ahmad Dahlan sendiri terdidik dalam tradisi Asyariyah-Syafiiyyah, namun terbuka dengan gagasan pembaharuan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Kiai Dahlan berguru pada tokoh-tokoh Syafiiyyah hingga sosok Syatha Dimyathi dan Ahmad Zaini Dahlan, namun juga membaca tulisan-tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla.

Al-Afghani seorang praktisi yang lebih fokus pada semangat pan-Islamisme atau persatuan umat Islam dalam menyikapi keterpurukan akibat penetrasi Barat ke dunia Islam.

Sementara itu, Rasyid Ridla disebut sebagai pencetus salafisme, tetapi bukan salafi seperti yang jamak kita pahami sekarang ini. Salafime Ridlo sebagimana al-Afghani dan Abduh, menurut Munawir Syadzali dalam Islam dan Tata Negara terdiri atas tiga komponen, yaitu: kembali kepada ajaran Islam murni untuk kebangkitan Islam, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat di berbagai bidang hidup, dan pengakuan atas keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan teknologi. Pengakuan itu  diiringi dengan upaya untuk mengejar ketertinggalan umat Islam.

Muhammad Abduh terdidik dalam tradisi Asyari namun kemudian berpandangan lebih terbuka dan berminat terhadap modernisasi Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman. Saat ditanya mengapa tidak sekalian meninggalkan Asyariyah dan pindah ke aliran lain, Abduh menjawab jika ia tidak lagi taklid pada Asyariyah mengapa harus taklid pada yang lainnya.

Kitab Risalah al-Tauhid karya Abduh ditulis dengan semangat rekonsiliatif. Kitab tersebut ditulis untuk mengatasi keberadaan karya-karya panjang yang menyulitkan murid dan karya ringkas yang tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman. Kitab _Risalah al-Tauhid_ juga ditulis dengan mengikuti jalan salaf, tanpa mencela cara khalaf, menghindari khilaf dan menjauhi persengketaan. Ia menyusun karyanya dengan melihat perkembangan aliran-aliran, termasuk Asyariyah.

Tentang Akidah Asyariyyah

Asyariyah dipandang oleh Abduh sebagai aliran mutawassith (moderat) yang menerima posisi salaf dan meneguhkannya dengan nalar. Berbeda dengan Hanbali yang menurut Abduh mengkafirkan dan menghalalkan darah pengguna nalar dalam akidah. Namun, Abduh mengapresiasi pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.

Baca juga:  Liberalisasi Pendidikan dan Keberhasilan Dakwah (Catatan Kuliah Bersama Ust. Adian Husaini)

Sayang pada perkembangannya, menurut Abduh, Asyariyah banyak tercampur filsafat di tangan al-Ghazali dan al-Razi, yang diikuti oleh ulama mutaakhkhirin, seperti al-Baidlawi dan Adud al-Din al-Iji yang membuat Asyariyah meninggalkan jalan tengah.

Kritik Abduh yang agak keras terhadap Asyariyah muta’akhkhirin tersebut lebih didasarkan atas pengaruh filsafat yang ia pandang dipengaruhi al-Ghazali. Tentu pendapat Abduh tidak bisa digeneralisir meski poin bahwa pendekatan terlalu falsafi dalam akidah bisa menjatuhkan derajat jiwa ada benarnya berdasarkan pengalaman al-Ghazali sendiri.

Al-Ghazali mengalami kegalauan hati sehingga sempat menyepi di masjid dan meninggalkan pekerjaannya sampai ia menemukan tasawuf sebagai jalan keruhaniannya. Pada perkembangannya akidah yang falsafi itu menjadi sangat butuh kepada tasawuf untuk mengisi ruang batin yang terserap oleh ruang nalar yang perkasa dalam teologi falsafi.

Hal itu tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa premis-premis teologis Asyariyah muta’akhkhirin_itu salah. Sifat 50 atau Akidah 50 pada dasarnya adalah pilar dasar untuk mensucikan Allah dari sifat yang tidak patut bagi Tuhan dan memuliakan Nabi Muhammad dengan karakter utama sebagaimana banyak keterangannya dalam Alquran maupun hadis. Meskipun karya-karya ringkas seperti Aqidah al-Awam, Qathr al- Ghaits, Jauharah al- Tauhid, Jawahir al-Kalamiyah, Kifayah al-Awam  dan Matan Sanusiyah hanya memuat pokok-pokok pernyataan keimanan tanpa kutipan nash, namun pokok-pokok tersebut berasal dari Alquran maupun sunnah.

Sayangnya, dalam syarah hingga hasyiyah dari beberapa karya penek tersebut acuan nash itu jarang ditampilkan dan, sebaliknya, lebih jauh diperkuat premis-premis logisnya, seperti dalam syarah matan al-Sanusiyah, yaitu Umm al-Barahin, dan hasyiahnya oleh Ibrahim al-Baijuri maupun hasyiyah oleh al-Dasuki/ al-Dusuki.

Akidah Hanabilah

Tentang Hanbali, pandangan Abduh kurang positif sehingga peran penting Ahmab bin Hanbal sebagai cikal bakal gerakan Ahl al-Haq wa al-Sunnah yang menginspirasi Abu Hasan al-Asyari kurang terpotret secara utuh. Ahmad bin Hanbal merupakan pandangan ahlussunnah yang menginspirasi gerakan kontra penyeragaman pandangan teologis oleh Muktazilah.

Namun, juga tidak salah bahwa teologi Hanbali agak rigid dalam memahami nash. Akidah Hanbali berkembang dari penolakan pandangan Alquran sebagai makhluk, tanpa memerinci apakah Alquran itu sebagai Kalamullah azali ataukah Kalam yang turun sebagai al-Kitab (kalam yang ditulis) atau kalam yang dibaca (al-Quran) sehingga perwujudan bacaan dan tulisan pun dipertahankan sebagai Kalamullah yang bukan makhluk berdasarkan penafsiran yang literal atas ayat Alquran.

Pendekatan itu akhirnya dipakai pula untuk menjelaskan sifat-sifat Allah dengan tanpa menggunakan takwil atau pemaknaan majazi. Sifat Allah dalam pandangan Hanbali dipahami sebagai seluruh ungkapan yang dipergunakan Allah untuk mengungkapkan diri-Nya sendiri. Jadi sifat Allah tidak terbatasi dengan 20 sifat karena Allah memberikan gambaran dalam Alquran lebih dari 20 sifat.

Pandangan lain dari Ahmad bin Hanbal yang agak kontroversial adalah bahwa orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir. Baru-baru ini muncul derivasinya dalam fatwa al-Utsaimin bahwa sembelihan muslim yang tidak shalat haram, padahal sembelihan Yahudi dan Nasrani halal.

Baca juga:  Mereka Yang Sesat dan Mereka Yang Dimurkai (Al-Fatihah : 6-7)

Pokok-Pokok keyakinan Hanbali itu diringkas oleh tokoh besar Hanbali Abu Ya’la al-Farra pada bagian akhir karyanya mengenai biografi tokoh-tokoh Hanbali (Thabaqat al-Hanabilah).  Pokok-pokok akidah Hanabilah itu juga dibahas oleh al-Barbahari (w 941 M) dalam Syarah al-Sunnah dan juga oleh Abu Ya’la sendiri dalam al-Mu’tamad fi Ushul al-Din.

Dalam al-Mu’tamad fi Ushul al-Din, Abu Ya’la mengklasifikasikan aliran-aliran Dahriyah, filosuf, Brahmana, Majusi, Nashrani, Yahudi, Qadariyah, Muktazilah, Jabariyah, dan Khawarij yang mengkafirkan sahabat sebagai golongan-golongan kafir.

Abu Ya’la dituduh musyabbihah atau menyerupakan sifat Allah dengan makhluk dalam karyanya Kitab al-Shifat. Ia sempat berpolemik dengan tokoh Asyariyah, Ibnu Furak, mengenai persoalan takwil. Karya Abu Ya’la Aqidah Qadiriyah sempat dipersoalkan oleh beberapa kalangan, namun mendapatkan dukungan dari ahli hadis Syafi’iyyah, Abu Hasan al-Qazwini, maupun hakim Syafi’iyyah, Abu Thayyib al-Thabari yang mendampinginya di hadapan Khalifah al-Qaim.

Penolakan terhadap teologi falsafi itu diteruskan oleh Ibnu Qudamah hingga Ibnu Taimiyah. Ibnu Qudamah memiliki karya-karya fikih dan ushul yang diakui luas oleh berbagai kalangan. Namun, karya-karya akidahnya sangat bernuansa Hanbali dan ia juga terlibat polemik-polemik mengenai persoalan sifat.

Ibnu Taimiyah secara khusus mengkritik pokok-pokok pandangan Fakhr al-Din al-Razi dalam  karyanya Dar’ Ta’arudl al-Aql wa al-Naql atau Muwafaqah Shahih al-Manqul li Sharih al-Ma’qul. Karya tersebut menunjukkan keluasan pemahaman dan kemampuan diskursus Ibnu Taimiyah dimana ia memperbandingkan dan menguji berbagai pandangan di kalangan Asyariyah sendiri.

Karya teologis Ibnu Taimiyah Aqidah Hamawiyah yang mencoba untuk mengangkat kembali akidah salaf menimbulkan kritik dari banyak ulama, namun lolos dalam uji yang dilakukan oleh para hakim dan ulama, termasuk ulama Syafiiyyah di Syiria dan di Mesir.

Ibnu Taimiyah juga menekankan kepada tafwidh atau penyerahan penjelasan kaif atau how mengenai sifat Allah kepada Allah sendiri dan menekankan pemahaman secara umum serta keimanan. Dalam al-Aqidah al-Wasithiyah ia menekankan jalan tengah dalam perdebatan mengenai sifat Allah antara kelompok yang mengabaikan sifat Allah secara afirmatif dan kelompok yang memahami sifat Allah laiknya unsur fisik (mujassimah).

Ciri khas karya akidah Hanbali adalah argmentasi dengan nash dan minim argumentasi logika. Ciri demikian juga terlihat dalam Kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab, meski karya tersebut tidak membahas tema-tema dasar tentang Alquran dan sifat Allah yang menjadi pokok bahasan ulama Hanbali sebelumnya.

Kelebihan karya akidah Hanbali adalah banyaknya rujukan nash di dalamnya dan tidak adanya pemilahan wilayah akidah, syariah, dan tasawwuf. Ketiganya adalah perwujudan dari keimanan secara tidak terpisahkan karena tidak ada makna esoteris tersembunyi dalam nash. Jadi, iman Islam dan ihsan ada dalam satu tarikan nafas.

Baca juga:  Luka Palestina adalah Ujian bagi Semua Muslimin!

Posisi Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah sendiri tampaknya tidak banyak terlibat dalam perkara ilmu kalam. Spirit puritanisme di Muhammadiyah lebih merupakan suatu upaya agar Islam tidak terbebani dengan aneka tuntutan ajaran yang tidak menjadi perintah pokoknya sehingga warga persyarikatan bisa fokus untuk kemajuan.

Muhammad Abduh mengatakan al-Islamu mahjubun bil muslimin, bahwa Islam seringkali tertutup oleh orang-orang Islam.

Akidah Islam itu sederhana sebenarnya. Barangsiapa mengucapkan laailaha illallah masuk surga. Namun setelah mengucapkan laa ilaaha illallah ada jalan yang harus ditempuh, yakni ittiba’ Rasulullah sebagai konsekuensi syahadat kedua, yaitu bersaksi bahwa Muhammad utusan Alah.

Oleh karena itu, iman, Islam dan ihsan adalah satu rangkaian jalan orang beriman sebagaimana dialog Nabi Muhamad dengan Jibril dalam hadis.

Dalam _Himpunan Putusan Tarjih_ (HPT) persoalan  akidah dikemukakan secara sederhana. Persoalan Akidah dibahas dalam Kitab Iman sebagai keputusan Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929. Uraian Kitab Iman mirip dengan cara penulisan Hanbali, persoalan  akidah dijelaskan melalui ayat-ayat dan hadis.

Kitab Iman dibangun di atas landasan rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam dan diikuti dengan dalil-dalil yang meneguhkan keimanan dan keyakinan umat.

Diktum keimanan itu ditambah dengan pernyataan bahwa alam adalah creatio ex nihilo bahwa alam itu diciptakan dari tiada dan akhirnya nanti akan musnah. Pemahaman mengenai alam sebagai sarana memperoleh pengertian tentang Allah hukumnya adalah wajib.

Kitab Iman dalam HPT  pada pokoknya menjelaskan mengenai rukun iman dan ajaran-ajaran keimanan dalam Alquran dan sunnah. Dalam bab mengenai “Iman Kepada Allah Yang Maha Mulia” dikemukakan beberapa sifat Allah sebagaimana umum dalam sifat 20, dengan catatan bahwa Allah tidak menyuruh kita untuk membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal, sehingga cukuplah berpikir mengenai makhluk-Nya untuk membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.

Kitab Iman juga mengutip satu hadis tentang terpecah-pecahnya umat Islam dalam kelompok-kelompok. Semua masuk neraka kecuali satu: “Ialah mereka yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.”

Hadis tersebut sering ditafsirkan bahwa satu kelompok yang selamat itu adalah ahlussunnah wal jamaah dan ada pula yang menafsirkannya sebagai firqah najiyah, kelompok yang selamat.

Tafsir-tafsir itu tidak salah meski hadis itu tidak pula memaksudkan kelompok tertentu karena penjelasannya bersifat umum. Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak secara eksplisit mengklaim sebagai kelompok yang dimaksud hadis tersebut karena ittiba’ Rasul dan jalan sahabat adalah proses terbuka yang harus ditempuh orang-orang yang beriman.

Label tertentu tidak otomatis membuat orang menjadi paling benar Islamnya dan bisa mengklaim diri paling benar (truth claim). Yang terpenting adalah selalu waspada apakah jalan keimanan yang kita tempuh sudah sesuai dengan jalan Rasul dan para sahabatnya.

Ahwan Fanani

Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah

3 komentar

Tinggalkan komentar

  • Salah satu tulisan yang cukup mendalam pada upaya mengidentifikasi posisi Muhammadiyah dalam pergulatan pemikiran mengenai tauhid dan cara mendefinisikan Islam.
    Salah satu karya tulis yang cukup baik meski harus diakui bahwa mesti menambahkan karya para pemikir Muhammadiyah yang otoritatif seperti KH. Ahmad Dahlan dan para pemikir utama lainnya.

    • setuju, saya bingung apakah aqidah muhammadiyah itu sama dengan aqidah salafiyah dari univ madinah. karena kalau sekilas saya lihat berbeda, dimana muhammadiyah memegang manhaj tafwidh, sementara salafiyyah memegang manhaj itsbat. butuh pencerahan lebih lanjut. wallahualam