Santri Cendekia
Home » Tadabbur Asmaul Husna (Al-Khaliq)

Tadabbur Asmaul Husna (Al-Khaliq)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Definisi ‘Ulama

Al-Khaliq berarti Allah ‘Azza wa Jalla adalah satu-satunya Dzat yang mampu menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada (Wujud)[1]. Lalu, menurut Dr. Ali Abdul Mun’im, ketika Allah menciptakan makhluk, maka Allah menyertakan Amr (ketentuan) bersama penciptaan makhluk tersebut. Oleh karena itu, Allah tidak hanya menciptakan wujud fisik dari makhluk-Nya, tapi Allah juga menciptakannya bersamaan dengan tabiat dan perangkat-perangkat non fisik dari setiap makhluk-Nya. Ibarat mesin atau robot yang tidak mungkin beroperasi jika tidak ada program ataupun sistem listrik yang disetting di dalamnya.

Pembahasan

Manusia, apapun karya dan teknologi canggih yang dihasilkan dari tangannya, tidak bisa disebut sebagai pencipta. Karena yang manusia lakukan bukan memunculkan eksistensi hal-hal tersebut dari ketiadaan, melainkan hanya merangkai, mengolah, merakit, mensintesa, menggabungkan, mengubah, ataupun proses-proses lain yang tidak mungkin penulis sebutkan di sini karena terlalu banyak. Karena definisi yang paling haq menurut syari’at dari perbuatan menciptakan adalah perbuatan memunculkan sesuatu dari ketiadaan menjadi ada (wujud). Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu memunculkan sesuatu dari ketiadaan menjadi ada (wujud).

Ibarat pembuat bakwan, ia mencampur terigu, wortel, bawang, kol, garam, dan meletakannya dalam minyak yang bersuhu panas. Minyak tersebut dipanaskan oleh api yang berasal dari kompor. Pada hakikatnya, ia bukan pencipta bakwan, karena ia tidak mungkin bisa membuat bakwan jika bahan-bahan baku yang ia gunakan bahkan tidak pernah Allah ciptakan. Terigu, wortel, bawang, kol, garam, minyak, tapi itu Allah yang menciptakan, manusia hanya mencampur atau mengolahnya. Sehingga hanya Allah yang pantas disebut sebagai Pencipta atau Khaliq.

Lalu, terkait dengan penjelasan Dr. Ali Abdul Mun’im dalam bab pembahasan ulama, kita perlu mengambil suatu kaidah penting dalam memahami dan membaca segala sesuatu yang ada di dunia ini. Bahwa karena Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini, baik fisik maupun tabiatnya, maka Allah-lah Yang Maha Tahu tentang ciptaan-Nya. Oleh karena itu, world view manusia dalam memandang segala sesuatu apapun di dunia ini harus sesuai dan masih dalam kerangka yang Allah ijinkan dan Allah tentukan.

Baca juga:  Berquban dan Donasi Covid-19: Memahami Nalar Ijtihad Muhammadiyah

Itulah mengapa ayat yang menjadi kick off dari dimulainya dien dan peradaban islam yang besar ini, adalah ayat yang begitu singkat namun padat makna, “Iqra’! bismirabbikalladzi khalaq!” (bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan!). Bacalah! Berilmulah kalian! Belajarlah kalian! Berobservasilah kalian! Bertadabburlah kalian! Tapi jangan sembarang! Bacalah dan amatilah segala sesuatu ini dengan kesadaran penuh bahwa Tuhanmu yang Al-Alim dan Al-Hakim itu yang menciptakan segala sesuatu ini. Tentu Tuhanmu Yang Alim dan Hakim ini yang paling dan lebih tahu tentang hakikat seluruh alam semesta ini.

Jika hanya menggunakan iqra’, tanpa menggunakan bismirabbikalladzi khalaq, filosof-filosof barat dan pemikir-pemikir nyeleneh lainnya pun sudah melakukannya. Mereka semua berpikir dan bertadabbur tentang banyak hal, tapi karena tanpa menyertakan eksistensi Allah, Aturan, dan Sifat-Sifat-Nya, proses berpikir mereka liar dan kesimpulan yang muncul dari hasil pemikiran mereka pun menjadi liar dan menyesatkan.

Begitupun orang-orang yang selalu melempar wacana bahwa Al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan hermeunetika misalnya, mereka juga orang-orang yang iqra’ tanpa bismirabbikalladzi khalaq. Mereka tidak peduli bahwa hermeunetika adalah disiplin ilmu yang muncul akibat problem terhadap otentisitas bible, yang tentu hal ini tidak terjadi pada Al-Qur’an. Mereka berusaha memahami rujukan utama syariat islam dengan metode yang salah. Tentu hasilnya pasti salah.

Hikmah

  1. Manusia tidak boleh sombong terhadap segala macam karya dan teknologi yang berhasil ia buat dan melupakan bahwa Allah lah Yang Menciptakan semua itu.
  2. Manusia tidak boleh merasa lebih tahu dan lebih benar dari syariat-syariat Allah dalam segala sesuatu, karena pencipta tentu lebih mengetahui apa-apa yang ia ciptakan dibandingkan pemakainya.
  3. Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan amru (perintah dan ketentuan). Pada dasarnya, perintah dan ketentuan yang paling dasar yang ada pada setiap makhluknya adalah berlepas diri kepada Allah. Hanya manusia yang sering berbuat durhaka dan merusak fitrahnya.
Baca juga:  Surat Cinta untuk Sang Pedang Allah

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Ali imran : 83)

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi:

[1] “Al-Asmaul Al-Husna”, Prof. Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar